Ketiga Belas: IBU (DAN) MATI!

2.8K 359 75
                                    

*13*

"Lani? Hei, kamu kenapa, Nak?" ujar Atikah, sangat panik sambil mengguncangkan tubuh wanita yang terbaring di ranjang tamu.

Tiba-tiba wanita itu langsung saja terduduk dan memekik, "IBUUU!"

"Nak, a-apa yang terjadi dengan Ibumu? Kamu pasti bermimpi buruk tentangnya." Tidak ada jawaban. Lani hanya terus mendesah, mengatur tempo pernapasannya diikuti tangan yang mengusap-usap peluhnya, "ayo berbaring, Nak. Tenangkan dirimu," pinta Atikah. Wajahnya masih mengernyit.

Lalu tubuh Lani mengikuti tangan yang menyentuhnya dengan lembut, menuntunnya berbaring.

Setelah itu matanya berbelok menatap wajah wanita yang sangat cantik tanpa kerutan yang duduk di samping ranjang. "Bi, se-sebenarnya apa--"

"Kamu pingsan," potong Atikah singkat. "Sekarang kamu berada di kamar tamu. Suami saya yang mengangkatmu ke sini. Saya tahu, kamu pasti kecapean dan stres dengan masalah keluargamu. Sebenarnya saya sangat ingin membantumu, tetapi saya bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain, Mas Dirga juga melarang saya untuk berlama-lama memberimu tumpangan di sini. Maaf Nak, sebaiknya kamu pulang."

Lani tersenyum kecut. Betulkah tadi dia hanya bermimpi?

"Biar saya jelaskan, foto itu diambil kurang lebih sudah puluhan tahun. Saat itu kami memang sedang bertengkar, Ibumu baru saja jadian dengan orang yang saya cintai. Tetapi pertengkaran kita tidak berlangsung lama, karena sehari setelah itu dia putus dari Ibumu dan melamar saya."

Perkataan itu sangat jelas di benaknya. Sebuah alasan yang ambigu. Tetapi jika bukan mimpi, berarti itu adalah sebuah pertanda.

"Ibu? Ibuku dalam bahaya. Aku harus pulang, Bi."

Lani segera bangun, tidak menghiraukan ekspresi Atikah yang seolah menertawakan kegelisahannya. Bergulut-gulut keluar kamar, lalu ke teras. Dia terpaku di tengah pintu, melotot saat menemukan mobil milik Ayah yang terpakir rapi di sana. Praja sudah ada di bangku depan, menatap seolah menyuruhnya untuk cepat-cepat.

"Mas Dirga yang memindahkan mobilmu di depan rumah. Dia juga sudah memperbaikinya. Lani, memang kami tidak bisa membantumu untuk keluar dari masalah keluargamu, tetapi kami bisa memberimu jalan untuk itu. Kembalilah ke sini, ketika kamu membutuhkan kami. Dan terimakasih sudah membawa Rintih kembali."

Lani lantas beralih memandang Atikah yang berdiri di belakang. Kemudian melirik kumpulan foto di atas perapian. Tidak ada. Memang lenyap, karena terdapat celah di antara barisan-barisan foto yang rapat. Dia merasa kejadian semalam bukan mimpi. Tetapi aspirasinya tidak ada dan malah berakhir dengan senyum palsu. Masuk ke mobil tanpa sepatah katapun, namun sempat memberi salam perpisahan dengan lambaian tangannya.

Praja membiarkan jendela mobil terbuka lebar. Poninya melayang-layang ke atas menghias wajah datar yang memandang ke luar. Kedua tangannya berada di masing-masing paha dan jarinya membentuk angka tiga. Lani yang duduk di kursi kemudi jadi beberapa kali mencuri pandang akibat penasaran. Memang posisi yang aneh, tetapi tidak mengherankan jika mengingat Praja adalah anak autis sekaligus indigo.

"Kamu suka pemandangannya, Ja?"

Praja menggeleng. Sebenarnya jawaban anak itu memang benar. Pemandangan di luar sama sekali tidak ada yang menarik. Hanya rimbunan pohon yang berbaris, jalanan beraspal yang pecah, dan beberapa mobil tua yang terlihat ketinggalan jaman.

"Kalau begitu, mungkin kamu suka dengan udara pagi di sini, bukan?" tanya Lani sekali lagi sembari mencuri pandang.

Tiba-tiba tanpa menengok, Praja malah balik bertanya, "Kita mau kemana, Kak?"

Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]Where stories live. Discover now