Kesepuluh: Malam Kelam

3.1K 349 115
                                    

*10*

Tidak ada yang aneh. Kemudian Lani buru-buru keluar dari bawah meja. Nek Adanu, Praja, dan Rintih malah menatapnya saat sudah duduk di kursi dengan wajah pucat.

"Kamu kenapa, Cu? Kenapa wajahmu pucat begitu? Napasmu juga ngos-ngosan? Ada apa?" tanya Nek Adanu, simpatik.

Bibir Lani membentuk huruf "U". Manis dan menenangkan seperti biasa. "Tidak ada apa-apa, Nek. Ayo lanjut makan."

Senja sebagai tanda kematian terjadi lagi di desa itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Senja sebagai tanda kematian terjadi lagi di desa itu. Sinar mentari berjalan menuju ke arah terbarat cakrawala seolah tidak ingin beranjak dari singgasana-nya, takut menghadirkan malam. Awan terpecah belah berbaris seperti lukisan artistik nan misterius. Terkadang terlihat seperti wajah monster, bola mata, atau wajah seseorang yang akan meregang nyawa malam ini. Warna biru penuh keceriaan sepanjang hari kini berubah dengan formatur darah. Gradasi warna yang terpajang di langit nyaris tidak sempurna dan berakhir dengan warna yang paling berhakikat dekat dengan matahari.

Lani meletakkan koper terakhir di bagasi mobil hitam milik Ayahnya. Hentakan penuh tenaga membuat pintu bagasi yang sedikit berkarat itu bernada tinggi.

"Semua sudah masuk, Nek?" tanya wanita yang sudah berdress kuning matahari serta rambut sebahu yang ditata rapi itu. Disambut anggukan hangat dari Nenek yang sejak tadi berada di samping anaknya, Anggun. "Kalau begitu, ayo berangkat, Nek."

Setelah itu, Lani memandang kebaya putih ber-renda polos yang melekat sempurna di tubuh Nek Adanu. Tangan panjang yang diselimuti kain katun minyak bersalaman dengan Anggun, lalu berpelukan hangat, terlihat juga senyuman haru di sana. Nararya yang berada di sebelah juga ikut bersalaman dengan wanita bangkot itu, tetapi tetap saja matanya tidak lepas dari ponsel androidnya. Benar-benar sebuah kecanduan.

Suara sibakan sarung bermotif khas jawa berirama saat Nek Adanu melangkah menghampiri mobil, masuk ke kursi tengah setelah Lani membukakan pintu. Praja juga berada di kursi tersebut. Entah kenapa anak itu merengek ingin ikut, padahal Rintih masih belum pulang. Gadis kecil itu duduk di ayunan kayu sambil tersenyum penuh makna. Toh, Anggun dan Lani pun tidak keberatan.

"Bu, Arya, aku berangkat dulu," ujar Lani, merentangkan bibir sambil melambaikan tangan. Anggun membalasnya dengan sangat bahagia.

"Itu bukan pikiran yang aneh, tetapi sebuah fakta. Kita diteror dengan Ibu, awalnya aku berpikir demikian, tetapi setelah aku menemukan hal ganjil semalam, aku tahu itu bukan mitos."

Suara nyaring Farabi kembali terdengar di kepala Lani. Membuatnya bertanya-tanya apakah itu benar atau hanya omong kosong, tetapi fakta menunjukkan kalau Farabi ingin membunuh Ibu. Sampai saat ini tidak ada penjelasan meski sejak tadi Lani mencoba memberinya kesempatan, namun adik pertamanya itu menolak dan mengurung diri di kamar.

Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]Where stories live. Discover now