*11*
Lani bergeming. Menatap lekat-lekat wajah putih bersih dan mulut gendut yang beberapa detik tadi menutup rapat di hadapannya. Sadar. "Kamu Rintih, kan? Sahabat Praja?" Gadis itu mengangguk perlahan, lalu tersenyum. Entah kenapa Lani malah merinding. Bukan karena mengetahui yang ditemukan menangis adalah Rintih, tetapi jalanan sepi, tidak ada pemukiman, mobil mogok, dan malam semakin larut. "Rintih, kenapa kamu sendiri di tengah jalan begini? Malam pula. Dan kenapa kamu menangis?"
Matanya berenang dengan air mata. "Tadi saat Kakak pergi, Bi Anggun memarahiku. Dia melarangku untuk ke rumah Nek Adanu lagi, dan tidak bermain dengan Praja," jawabnya dengan nada mengeluh. "Padahal aku sangat ingin bermain dengan Praja. Dia satu-satunya sahabatku di kampung ini." Suara mungilnya sangat ribut seperti hanya mereka berdua di situ.
"Tidak, Rintih. Mungkin maksud kamu, Bi Anggun itu menyuruhmu pulang, karena sudah sore. Jangan diambil hati yah, kamu boleh bermain dengan Praja kapan pun. Kalau begitu, kakak akan mengantarmu pulang. Rumahmu di dekat sini?"
"Iya, tinggal jalan saja. Ayo, Kak!" Wajah Rintih berubah seketika. Cerah dan sangat bersemangat. Baru kali ini dia menemukan orang baik selain kedua orangtuanya.
"Tunggu Rintih. Kakak tidak bisa pergi, mobil kakak mogok. Di sana juga ada Praja," kata Lani saat tangannya sudah ditarik.
Dia tersenyum simpul. "Mobil Kakak disimpan di situ saja. Tempat ini aman. Lagipula rumahku tidak jauh dari sini, ajak Praja juga, Kak." Rintih menunjuk ke belakang. "Itu rumahku."
Lani membelokkan mata. Menajamkannya. Gadis kecil itu memang benar. Dari jarak yang belum melebihi satu meter, wujud rumah bertingkat yang sangat mewah berdiri di samping jalanan dengan jelas.
Tanpa berpikir panjang, Lani menuju ke mobil. Mengeluarkan Praja, saat itulah terdengar percakapan serius dengan Rintih.
"Kita akan ke rumahku. Kamu senang?"
"Aku senang, tetapi bukan karena itu."
"Terus karena apa?"
"Karena sebentar lagi Kakakku akan tahu sesuatu."
"Oh yah? Apa kamu sudah beritahu yang kukatakan di pemakaman tadi?"
Praja menggeleng sambil memutar jari telunjuknya. "Belum. Tapi akan aku beritahu setelah tahu yang kumaksud."
"Baiklah."
Lani tidak mendengar percakapan tersebut. Dia sibuk dengan barang-barang yang ingin dibawanya. Dompet hitam dan kunci mobil berada digenggamannya saat selesai menutup pintu. Kemudian, dia mengikuti Rintih yang berjalan bersama Praja. Mereka berdua sangat akrab hingga berjalan saja sambil bergandengan tangan.
Bulan semakin berusaha memancarkan sinar temaramnya. Waktu boleh menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Nararya masih sibuk dengan game androidnya di ruang tamu.
YOU ARE READING
Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]
Horror🏅5 besar di Nominasi Scarlet Pen Award 2020 dalam kategori Best Novel dan Best Crime Drama & Thriller [SUDAH TERBIT] 😱Follow Dulu Sebelum Dibaca😱 Ibu adalah sosok yang paling berharga, tetapi bagaimana jika sesuatu memaksamu untuk membunuhnya? Ke...