Keempat: Pantulan Lipstik

3.9K 489 96
                                    

*4*

Jam weker di kamar Lani sudah menunjukkan pukul enam. Setelah sholat subuh, gadis dua puluh tahun itu menapak lantai menuju dapur. Tak ada orang lain di sana. Sampai akhirnya adik pertamanya, Farabi datang dengan beberapa asap dari mulut.

"Habis begadang sambil merokok lagi?" tanya Lani, lembut.

"Iya, kenapa?! Mbak tidak usah ikut campur," jawab lelaki jangkung yang berdiri di hadapan lemari perabotan makan. Seketus mungkin.

"Bukan begitu. Abi, Ibu sudah melarangmu berulang kali untuk tidak merokok. Lagipula umurmu masih delapan belas tahun, apalagi kamu sekamar dengan Nararya. Dia masih kecil, dan bisa saja mengikutimu. Mbak--"

"Ah, sudahlah Mbak. Baru pagi-pagi sudah sibuk menceramah," kata Farabi sembari membuka lemari kaca dan mengambil gelas plastik. Sementara Lani mulai menyapu di sekitar dapur.

Lelaki yang memiliki wajah oriental tersebut memang tidak menyukai Lani. Kakak yang suka ikut campur, sibuk mengomentari kebiasaan adiknya menjadi beberapa penyebabnya. Untuk hal merokok pun, memang Farabi sudah beberapa tahun belakangan ini bersekutu dengan tembakau, dia mulai mengenal sejak bergaul dengan geng motor di kota.

Lani juga sebenarnya tidak bermaksud untuk ikut campur, tapi kewajiban seorang kakak untuk menjaga adiknya menuntutnya. Dan Nararya juga ikut-ikutan penasaran, padahal umurnya masih sepuluh tahun. Tetapi bagaimana pun perkataannya, tetap tak digubris.

Kini Farabi melangkah ke kulkas. Tak jauh, karena terletak tepat di samping lemari kaca. Jari-jari kanan sudah menggenggam gagangnya. Menunduk segera saat mengambil ancang-ancang untuk membuka. Dan ketika suara gertakan pintu kulkas terdengar, sesuatu mendorongnya hingga pintu kulkas tersebut terbuka lebar, mengeluarkan sebuah tubuh pria paruh baya tak bernyawa. Ribuan belatung menggeliat di sekitarnya seolah sarangnya sedang diacak-acak.

Gelas dalam genggaman Farabi jatuh setelah jantungnya dipompa dengan sangat kencang. Kemudian tubuhnya bergetar hingga menyusul gelas yang terkulai di lantai.

Lani ada di sana. Mengalihkan pandangannya dari sapu saat mendengar dentuman keras. Dia langsung menjerit sangat nyaring ketika melihat sebuah mayat penuh belatung di hadapan Farabi. Tubuh kakunya jatuh ke lantai. Ketika sorot matanya mulai fokus, ternyata mayat tersebut ....

"AYAAAHHH!"

Teriakan Lani yang begitu nyaring membuat seluruh penghuni rumah panik dan segera menuju dapur. Sekarang seluruh pasang mata menyaksikannya. Tidak menunggu lama, tangis mereka pecah. Dan anehnya, Anggun malah meninggalkan dapur tanpa ekspresi seolah tidak peduli.

Nek Adanu menyadari keganjilan tersebut. Dan nenek yang sudah menginjak enam puluh tahun itu ingin segera menyusul anak semata wayangnya ketika Praja duduk menggenggam betisnya. Terlihat si bungsu menutup telinga sambil menangis. Lalu Nek Adanu menunduk, mengusap air mata cucunya dan mengelus ubun-ubunnya. Melenggang pergi setelah berhasil menenangkannya.

Lantai tua dan dinding-dinding usang mengiringi langkah Nek Adanu ke kamar yang terletak tidak jauh dari dapur. Pintu kayu berwarna coklat tua dibuka perlahan, engselnya berdecit nyaring seolah sambutan mistis. Membingkai seorang wanita yang duduk di meja rias samping jendela berukuran besar.

"Anggun?" panggil Nek Adanu, masih belum masuk ke kamar.

Anggun senyap. Meja rias kayu antik itu sudah terisi barang-barang tata rias miliknya. Terdapat cermin di hadapan, memantulkan dirinya yang sedang menikmati goresan lipstik merah darah.

Akhirnya Nek Adanu memberanikan masuk. Melangkah kecil-kecil sambil terus menatap Anggun dari samping. Saat sudah beberapa meter, dia memanggil sekali lagi, "Anggun? Ada apa denganmu, Nak?"

Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]Where stories live. Discover now