Kedua belas: Dilema Terparah

2.7K 344 49
                                    

*12*

Tidak lama kemudian, setelah berjalan sekitar satu meter, mereka bertiga sampai di sebuah rumah bertingkat. Pagar besinya sudah berkarat, beberapa dinding juga berlumut, dan itu membuat Lani berpikir mustahil ada orang yang mendiami rumah tersebut. Di depan, rumah itu sangat lengang. Suara hewan malam ataupun angin diam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Tiba-tiba Rintih memecah keheningan, "Ini rumah aku, Kak." Gadis kecil itu menengok, mengacungkan jari telunjuknya ke hadapan rumah sepi tersebut.

"Rintih," Lani maju, berjongkok dan memperbaiki poni Rintih. Dia mengernyitkan wajah, menatap lekat-lekat kedua bola mata yang sebenarnya tidak asing, "sepertinya rumah ini kosong, Rintih."

Rintih menggeleng cepat. "Tidak, Kak. Ibu dan Ayah ada di dalam," Lalu berlari mengetuk pintu. "Ibu! Ayah! Rintih sudah pulang."

Beberapa detik kemudian, suara engsel berdecit. Menampakkan sebuah kepala yang menyembul tiba-tiba. Hal itu membuat Lani terkejut.

Pemilik kepala itu melihat ke bawah, mendapati Rintih yang sedang mendongak dengan senyum secerah sinar bulan purnama malam ini.

Pintu pun terbuka lebar, ternyata itu adalah Ibu Rintih. "Rintih? Kamu ke mana saja, Sayang? Ibu mencarimu ke mana-mana setelah pulang dari pemakaman warga kampung sebelah." tanyanya dengan degup kelegaan sembari memeluk Rintih.

Tanpa diduga, Praja ikut tersenyum lalu berlari memeluk Ibu Rintih yang langsung terkejut, tetapi wanita paruh baya itu malah membalas pelukannya sehangat mungkin. Bahagia. Gembira. Senang. Senyum Praja benar-benar bermekaran.

Lani heran, tidak biasanya adik terakhirnya itu memeluk orang asing, apalagi tidak ada yang menyuruhnya. Dan dia juga tidak pernah melihat Praja sebahagia itu. Satu pertanyaan lagi menambah puzzle di otak kecilnya sekarang.

"Mari, silahkan masuk." Suara Ibu Rintih yang ramah dan lemah lembut menembus terowongan pendengaran sangat pelan. Membuat Lani yang melamun, terbangun dengan seringaian yang jelas itu sebuah kebingungan. "Kamu pasti anak tertua Anggun?" tanyanya kemudian setelah mempersilahkan Lani duduk di ruang tamu minimalis. Sementara Rintih dan Praja sudah asyik bermain di kamar. Lani menggangguk.

"Maaf, nama Bibi ...."

"Nama saya Atikah. Panggil Bi Ati saja. Saya adalah sahabat Ibumu saat SMA di desa ini. Kamu tahu, kebetulan saya juga adalah bidan yang membantu proses kelahiranmu. Saya tidak menyangka sekarang kamu sudah tumbuh dewasa. Kalau tidak salah nama kamu Lani Larasati, kan?" Lani mengangguk sembari tersenyum. "Apalagi kamu sudah memiliki dua adik ...."

"Empat adik, Bi."

Atikah tertawa bernada naik turun. Tidak menyangka usianya semakin tua saja. "Oh ya? Ya ampun, saya dan Anggun makin tua saja," Sudut mulutnya muncul lagi, "ngomong-ngomong, bukannya kamu tinggal di kota, kenapa kalian kembali ke desa?"

"Ehhh ...." Lani ragu untuk menceritakan semua kejadian aneh sejak menginjakkan kaki di rumah Nek Adanu.

"Ayo, jangan sungkan untuk menceritakannya ke saya. Siapa tahu saya bisa membantumu."

Dengan tarikan napas panjang, Lani memutuskannya, "Jadi begini, Bi Ati. Kami sekeluarga mengunjungi rumah Nenek kami di desa ini. Tetapi, sebelum itu kami menabrak kucing hitam dan tidak menguburnya. Dan saat itulah, kejadian-kejadian aneh bermunculan, bahkan anggota keluargaku meninggal satu per satu di rumah Nenek."

"Menabrak kucing hitam tanpa dikubur?" Telapak tangan Atikah berkeringat. Terlebih lagi saat wanita di hadapannya mengangguk. "Keluargamu dalam bahaya. Menurut kepercayaan di daerah sini, diyakini bahwa setelah menabrak kucing hitam, maka arwah kucing hitam itu akan menghantui penabrak setiap hari hingga membuatnya tidak tenang. Bahkan seluruh anggota keluarga akan dibunuh."

Mata Lani seketika membelalak, itu benar-benar terjadi! "Se-sekarang ... apa yang harus dilakukan, Bi? Aku tidak mau keluargaku terpecah belah hanya karena kejadian itu."

"Tidak ada," Tiba-tiba suara Atikah menjadi sangat ketus, "saya mau ke dapur dulu, kamu di sini saja."

Dia memberikan setengah senyum dan meninggalkan Lani di ruang tamu sendirian.

Sebenarnya sejak tadi Lani diam-diam mencuri pandang ke sejumlah foto berukuran dua R yang ditata rapi di atas perapian. Ada yang tidak asing kelihatannya dari benda berbingkai putih tersebut. Apalagi sekarang Lani merasa semakin tidak enak hati. Rasa penasarannya semakin menanjak terhadap foto yang seolah merayu untuk ditatap dekat. Perlahan-lahan dia mengangkat bokongnya dan menuntun matanya mendekati foto itu.

Ada dua gadis remaja di dalam. Lani mengayunkan tangan kanannya mengambil salah satu foto yang membuat tanda tanya-nya menegang.

"A-apa ini foto Bi Ati dengan Ibuku?" desisnya, sedikit tidak percaya. Dia kembali memerhatikan benda persegi digenggamannya.

Ada dua gadis remaja berpakaian kurang lebih tahun sembilan puluhan. Salah satunya berambut panjang terurai, tersenyum sangat cerah, dan matanya sembab menatap kamera. Satunya lagi bibirnya sangat rapat, alisnya bertaut seolah kesal dipotret dengan gadis di sebelahnya, matanya pun tidak menatap kamera, malah seperti memutar menyiratkan kebencian. Kalau memang benar itu adalah foto Atikah dan Anggun, mengapa mereka berdua terlihat seperti bukan sepasang sahabat? Bahkan lebih mirip sepasang musuh.

"Ini membingungkan. Sepertinya ada yang aneh dengan foto ini."

"Apa yang aneh?" Tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah suara wanita paruh baya yang baru saja mengatakan kalau Anggun adalah sahabatnya.

Lani terkejut karena tidak menyadarinya. Dia cepat-cepat menaruh foto itu kembali dan menoleh. "Ma-maaf, Bi. Aku lancang mengutak-atik rumah Bibi." Dia terbata-bata hingga membuat tubuhnya gemetaran.

"Tidak apa-apa. Selagi kamu bisa menjaga pikiranmu tentang foto yang baru saja kamu lihat."

Lani seketika sulit menelan salivaki. Otaknya tidak begitu mengerti maksud perkataan Atikah yang datar.

"Biar saya jelaskan, foto itu diambil kurang lebih sudah puluhan tahun. Saat itu kami memang sedang bertengkar, Ibumu baru saja jadian dengan orang yang saya cintai. Tetapi pertengkaran kita tidak berlangsung lama, karena sehari setelah itu dia putus dari Ibumu dan melamar saya," jelas Atikah bergembira sekali, "jadi buang pikiran kotormu tentang foto itu, saya tidak bermaksud memperlihatkanmu."

Wajah Lani berkerut saat Atikah melewatinya dengan seringai misterius, berjalan mengambil foto itu lalu masuk kembali ke dapur. Aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dari penjelasan Atikah.

Lani kembali sendiri di ruang tamu itu. Kini dia merasa terganggu lagi, seperti ada yang mengawasinya dari kamar tamu di sebelah. Matanya segera membelok. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada pintu yang tertutup rapat. Pendengarannya kemudian menangkap suara orang merangkak. Seperti di lantai. Tetapi setelah suaranya semakin mendekat, lebih seperti suara orang merayap di langit-langit. Angin hangat berhembus meniup ubun-ubunnya. Lani terkesiap dan menelan salivaki berulang kali. Suara itu berada tepat di atasnya sekarang. Dia menaikkan matanya perlahan, disusul dengan kepala. Dalam satu hentakan, dia mendongak ke atas. Seketika itu juga dia menjerit sekeras mungkin.

"IBUUU!"

Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]Where stories live. Discover now