゛two.〃

4.3K 597 59
                                    

Dua sosok mirip satu sama lain melangkah membelah jalan setapak. Jalan pintas katanya. Mereka tidak memilih melewati jalan raya walau selalu lenggang. Ini jalur langganan kedua Miya bersaudara. Tidak, tidak. Mungkin tepatnya hanya Miya Osamu. Dengan sederhananya pemuda itu kadang melewati jalur ini memakai sepeda.

Sementara Atsumu, biasanya menggunakan jalur sisian jalan raya.

[Full name] gadis yang digiring kedua kembaran itu ternyata baru menyadari, bahwa rumah mereka bertiga berletak sama. Menghadap ke luasnya laut.

"[Name]," Atsumu memanggil seraya menghentikan langkah. Pemilik nama tersebut ikut demikian, sementara satu pemuda lain terus berjalan dengan cuek. "Bantu aku beli bahan makanan dulu, yuk." kata Atsumu, ibu jarinya menunjuk supermaket sederhana di sampingnya.

Gadis yang ditawarkan tanpa pikir panjang mengiyakan, membuat Atsumu merespon dengan senyuman. Pemuda itu selanjutnya menggulirkan atensi, "Samu, beli bahan makanan dulu," ucapnya agak keras lantaran lawan bicaranya terus memperjauh jarak.

Namun Osamu, pemuda itu tetap memperpanjang jarak. Tak menoleh sama sekali. Ia hanya mengendikan bahu. Sampai Atsumu hanya bisa menghela nafas melihatnya.

"Atsumu... Apa Osamu tidak suka aku menganggu anjingnya?" gadis di sana bertanya. Menatap satu sisanya dari dua makhluk kembar yang berhelai jingga.

Atsumu memindahkan kembali atensi, wajah tak enak ia dapati dari raut [name]. Mencoba memperbaiki, Atsumu melukis senyum. Kemudian menjawab seraya terkekeh, "gak kok. Udah kubilang Osamu orangnya memang seperti itu. Tapi baik kok, agak nyebelin aja juteknya."

"Benar? Aku tidak maksa, sih, buat liat anjingnya," balas [name] lagi. Rela menghapus niat modusnya yang tidak baik demi kenyamanan sang tuan rumah.

"Gak apa-apa," Atsumu tetap meyakinkan. Berpikir mungkin [name] akan ragu terus saat ini, pemuda itu tanpa aba-aba menarik pergelangan si gadis untuk diajakinya masuk ke dalam supermarket. "Ayo, sekalian kita makan malam."

Demikianlah akhirnya. Dengan sentuhan di pergelangannya, [name] memusnahkan semua rasa tidak enaknya. Berikutnya dikuasai ego untuk tetap bersama makluk berhelai jingga ini.

"Kau bisa masak?"

Atsumu mengangguk, memilih saus kalengan mana yang telihat enak, "ya, hidup berdua mengharuskanku bisa masak."

"Hm, kupikir Osamu yang bisa masak. Kelas sepuluh dulu aku kadang lihat dia suka bawa bekal," [name] tak ikut memilih. Lagipula menu direncanakan oleh tuan rumah, dirinya hanya berinisiatif untuk membantu membawakan ranjang.

"Yaah, Osamu emang bisa. Tapi dia gak segampang itu mau buatin aku sarapan..."

"Wah, beneran?"

"Udah kubilang Osamu itu nyebelin."

[Name] terkekeh. Kini merasa senang.

Bagaimana tidak?

Perasaannya untuk Atsumu sudah tumbuh sejak kelas sepuluh. Walau mereka berbeda kelas, [name] tetap mendapatkan eksistensi sang Miya berambut jingga. Tampak akrab dalam setiap gerombolan, kakak kelas, adik kelas, bahkan murid kelasnya. Itulah yang membuat Atsumu terlihat bersinar.

[Name] sering melihat senyum pemuda itu yang disebarkan kala si empunya berbincang di koridor dengan temannya.

Hanya saja waktu itu, [name] tak lebih berani untuk menyapa. Sehingga hanya melihat dari jauhlah yang ia lakukan. Namun di kelas sebelas ini, tanpa basi Atsumu menyapanya. Menyapa setiap teman sekelasnya. Mendapat kesempatan itu, tentu saja [full name] memakainya dengan baik. Dia ingin selalu dilempar senyum itu.

ebb and flow » osamu miya.Where stories live. Discover now