Part 1 - Wafer harga dua ribu

381K 14.1K 2.2K
                                    

"Arsen!"

Perempuan itu berlari.

"Arsen."

Perempuan itu berlari semakin cepat sambil memanggil sosok laki-laki yang berjalan sekitar sepuluh meter di depannya.

"Arsen!" ulangnya. Ia yakin laki-laki itu mendengar panggilannya. Dan dia tahu yang dipanggil sengaja menulikan telinga.

"Isssh," desisnya sebal. Dia menarik napas yang terasa menipis setelah berlari dari gerbang sekolah hingga koridor kelas 11. Itu bukan jarak yang dekat mengingat betapa luas sekolah mereka.

Perempuan yang bisa dipanggil Amanda oleh teman-teman terdekatnya memilih untuk berhenti mengejar laki-laki itu. Perempuan itu selalu tersenyum ceria walau cuaca panas, cerah bahkan mendung. Kini Dia duduk di kursi permanen yang dilapisi keramik yang ada di depan kelas ... entahlah, Amanda tidak tahu di depan kelas berapa tepatnya ia sedang duduk.

"Arsen!" Bukan, ini bukan suara Amanda. Kali ini bukan Amanda yang memanggil nama Arsen.

Amanda menoleh dan mencari tahu siapa yang memanggil nama yang sejak tadi ia panggil dengan lantang. Mata Amanda menyipit. Dia mendengus tanda betapa tidak sukanya ia karena ada seorang perempuan menyuarakan nama Arsen selain dirinya.

"Laura?" Yang bernama Arsen itu berhenti lalu menoleh dan tersenyum tipis pada orang yang memanggilnya.

Kampret! Amanda memanggil nama Arsen sejak dari gerbang sekolah hingga koridor, namun laki-laki itu tidak menoleh sama sekali. Sementara si perempuan yang bernama Laura itu hanya dengan sekali sebut saja membuat Arsen langsung menoleh, bahkan tersenyum tipis.

Laura berlari kecil menghampiri Arsen. Entah menyadari kehadiran Amanda atau tidak sama sekali, perempuan itu berlari melintasi Amanda begitu saja ketika akan menghampiri Arsen. Amanda mengucap berbagai doa penguat hati saat Laura dan Arsen berbincang akrab, kedua saling melempar senyum kemudian melenggang pergi begitu saja.

"Dasar songong!" ucap Amanda pelan. Harga dirinya kembali tercabik-cabik, lagi.

"Woi bayi dugong, ngapain lo di sini?"

Teman satu kelas Amanda yang kebetulan melintas menghampirinya. Sebut saja namanya Lila, teman satu kelas Amanda yang merangkap sebagai teman satu mejanya. Mereka akrab bagai sahabat kepompong seperti yang ada di lagu yang pernah hits pada masanya.

Amanda melirik malas pada Lila. Ekpresi wajah si kawan membuat Lila dapat dengan mudah menebak apa yang baru terjadi pada Amanda hingga membuat temannya itu merenggut tak jelas.

"Dikacangin Arsen lagi?" tanya Lila.

Amanda mengangguk.

"Ya udah kali, lo memang nggak jodoh sama dia. Atau tepatnya dia yang nggak mau berjodoh sama lo." Amanda melotot garang mendengar penuturan Lila. Kok perkataan Lila ini agak nyakitin, ya?

"Mana mau Arsen ngelirik lo kalau tingkah lo bar-bar kayak singa betina," lanjut Lila.

Amanda menarik satu alisnya ke bawah. "Bagian mana dari sikap gue yang lo bilang bar-bar?"

Lila memutar bola matanya. "Yang bikin kaca kelas pecah, siapa?"

Amanda diam.

"Yang lempar bola pas pelajaran volly trus kena kepala Pak Budi, siapa?" Well, Pak Budi adalah guru olahraga mereka.

"Yang suka nyolong jambu yang ada di belakang perpustakaan, siapa?"

"Yang suka tidur waktu jam pelajaran, siapa?"

Amanda membuang napas kasar. "Iya! Iya! Itu gue," akui Amanda.

"Dan lo itu bodoh."

"Heboh."

Amanda [END - SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang