OPERA | Undecim

2.2K 427 49
                                    

Aku menghadapi dua teka-teki kini. Nyata dan semu. Teror dan detakan. Yang nyata membuatku gelisah, yang semu membuatku lelah, lelah mencari ujungnya, aku jatuh cinta.

🌻

Ada apa?

Lessa memasuki rumah, ruang tamunya hening.

"Ayah?" panggil Lessa mencari keberadaan Dahlan.

Gadis itu menuju ruang keluarga, suara televisi semakin keras. Ia melihat ayahnya tengah duduk bersandar di sofa beludru warna ungu dengan corak balok menarik.

"Sudah pulang?" tanya Dahlan tersenyum, membuat kerutan di matanya semakin terlihat jelas.

Lessa menghampiri lantas mengecup punggung tangan ayahnya. "Sudah," jawab Lessa sopan.

"Sini duduk sama Ayah!" Dahlan menepuk-nepuk kursi kosong disebelahnya, ia lantas mengusap rambut panjang putri satu-satunya itu.

"Kamu sudah besar," ucap Dahlan bangga menatap Lessa.

Lessa hanya balas tersenyum, "Ibu kenapa, Yah?" tanya gadis itu penasaran.

Ayahnya mendesah pelan, lantas melepas kacamata yang semula bertengger di hidungnya.

"Jika remaja, mungkin Ayah sedang patah hati." Dahlan terkekeh hambar.

Bibir Lessa tidak bergeming sedikitpun untuk tersenyum, sebuah luka tersirat dari wajah ayahnya.

"Ayah kenapa?" tanya gadis itu semakin penasaran.

"Ayah titip, kamu perempuan. Harus bisa menjaga kehormatan, kepercayaan, dan harga diri." Bukannya menjawab, Dahlan justru menasehati Lessa.

"Iya Yah, Lessa ngerti."

"Ayah rindu ibumu."

Mata Lessa memanas kini, kacamata yang dipakai gadis itu kini beruap. Hatinya tersayat kecil, ia lantas memeluk Dahlan. "Lessa juga rindu Ibu." Satu cairan bening berhasil lolos di pipinya.

Mana mungkin ia tidak merindukan sosok malaikatnya. Yang selalu ada dalam kondisi apapun, selalu mendukung Lessa, selalu tersenyum dalam segala keadaan, masakannya yang selalu terasa lezat, bahkan kata-kata cerewet yang keluar dari sosok ibu. Sayangnya, Lessa tidak diizinkan Tuhan untuk mengenal ibunya lebih lama.

Dahlan mengusap punggung anaknya yang mulai terisak. "Maafkan Ayah ya? Tidak bisa menghadirkan sosok ibu yang kamu butuhkan." Ia mengusap air mata Lessa.

Gadis itu menggeleng, "Lessa masih bersyukur punya Ayah." Ia berkata sedikit terbata.

Setelah beberapa saat berbincang, Lessa pamit untuk memasuki kamarnya. Rencana gadis itu, ia akan mencari kotak paket yang dikirim hari ini. Pasti Dahlan tidak akan membahas teror paket itu padanya.

Latifa tidak pulang malam ini, entah ia kemana. Lessa rasa, ada maupun tidak ada wanita itu, semuanya sama saja.

Lessa menatap langit-langit kamarnya. Lantas matanya membulat ketika ia melihat sebuah kunci tergantung pada salah satu sudut langit-langit. Kenapa ia baru menyadari ada sebuah kunci tergantung disana? Ia beranjak lantas mendorong kursi untuk dinaikan pada kasur. Ia menaiki kursi itu, belum sempat ia menggapai kunci, kursi itu bergoyang karena yang ditindihnya adalah kasur empuk.

Brukk!

Tidak bertahan lima detik, Lessa sudah terjerembab pada lantai, untung saja ubinnya beralaskan karpet tebal.

Gadis itu berkeringat, ia lantas mengusap dagu, sikut juga lututnya. Ia meringis kecil, kemudian kembali menatap kunci yang seakan melambaikan tangan untuk ia sambut. Ditengah lamunannya, ia tersentak, ponselnya berbunyi.

OPERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang