OPERA 🎭 Quattuordecim

2.4K 443 57
                                    

Aku menunggu gelap ketika kamu justru menantikan cahaya. Aku berada pada senja dan kamu terletak pada fajar. Seolah semesta membenarkan, bahwa; Detik kita tidak pernah bersinggungan.

🎭

Brisia masih menangis. Dikelasnya, ia bahkan lupa pada ponsel yang ia bantingkan di kantin.

"Lo gak seharusnya lakuin itu." Braga berdiri di ambang pintu, menahan sebelah tangannya pada tiang penyangga.

Brisia melirik ke arahnya, "lo gak tau seberapa kacaunya gue!" bentak gadis itu.

Braga mendekat, duduk di meja depan Brisia. Meneliti gadis itu dari atas sampai bawah lantas mengangkat dagunya. Cowok itu mendekatkan wajahnya, dan Brisia tampak menegang ketika Braga mendaratkan satu ciuman, tepat di bibir gadis itu. Hanya sebentar, dan gadis itu tampak memanas, wajahnya merah padam.

"Mungkin kali ini lo bilang hidup lo kacau. Tapi, ada kehidupan kacau yang lo bikin lebih kacau." Braga berucap pelan namun jelas karena kondisi kelas yang kosong, setelahnya ia beranjak meninggalkan kelas.

Tepat saat sampai di pintu, ia melihat Anna. Satu paket dengan Lessa namun kedua tatapannya berbeda. "Bukan Brisia yang bikin hidup kacau gue semakin kacau Ga!" Lessa berucap sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar jika saja Braga tidak melihat gerak bibir itu. Mungkin, menutupi suaranya yang bergetar. Dan baru kali ini, Lessa memanggil dirinya 'gue' di hadapan Braga.

Lessa berbalik, berjalan dengan cepat seraya menunduk tanpa ingin dikejar. Bodoh! Memangnya siapa yang akan mengejar Lessa? Sekarang, ia hanya berharap agar tidak menabrak murid lain seperti orang tolol.

Anna kini melipat tangannya di bawah dada. Menatap Braga dengan tatapan galak lantas mencuri pandang pada Brisia yang kini menelungkupkan kepalanya diatas meja. Tanpa berucap, Anna hanya menghela napasnya kemudian masuk kedalam kelas tersebut.

"Lo berlebihan!" Anna berdesis pelan. Brisia lantas menatap Anna dengan tatapan yang menyengat. "Anak jalang!"

Anna sudah terbiasa. Ia sama sekali tidak sakit hati, meskipun ia mengakui bahwa Brisia adalah kakak satu ayah dengannya, tapi Anna juga tidak bisa menerima kehadiran Brisia. Begitupun sebaliknya.

"Lain kali, kalau lo mau maki, pake otak! Jangan kaya manusia tolol yang nampakin ketololanya di depan orang banyak!" Anna pergi setelah mengucapkan hal demikian. Ia keluar kelas lantas menemukan beberapa kakak kelas termasuk Nael yang sudah menunggu diluar untuk masuk. Tanpa peduli, Anna melangkah pergi seraya memainkan ponselnya, mencari keberadaan Lessa.

Biasanya, Anna akan berpikir Lessa baik-baik saja. Karena kalian ketahui sendiri, saat sedih Lessa justru tersenyum tidak menampakan sedikitpun raut kesedihan.

Pesan Anna tidak dibalas namun tebakan Anna benar. Lessa berada di perpustakaan sekarang. Menenggelamkan kepalanya di depan sebuah buku. Anna memerhatikan, dan langsung menarik wajah Lessa untuk menoleh ketika sebuah cairan bening menetes di atas kertas buku berbahan murah yang sedang Lessa baca. Jelas, kacamata gadis itu beruap sekarang.

"Lo nangis?" tanya Anna sedikit tidak percaya. Lessa menggeleng cepat kemudian tertawa hambar, yang jelas tidak bisa membohongi Anna.

Tanpa Lessa duga, kini Anna memeluknya. Mengusap punggung Lessa pelan. "Lo waras juga ternyata, gue bangga!" Ingin sekali Lessa memenggal kepala Anna sekarang. Namun itu tidak akan ia lakukan karena Lessa tahu, sahabatnya hanya berusaha menghibur.

Hari ini cukup kacau untuk Lessa karena setelah kejadian tersebut sampai pulang, ia diatap aneh oleh hampir semua siwa Araswara. Mana mungkin semua yang berhubungan dengan Brisia tidak menjadi trending topik di sekolah ini. Lessa merasa dirinya seperti pemain antagonis di sebuah sinetron ketika mendapat tatapan itu, yang kemudian orang-orang menyumpah serapah dirinya agar cepat mendapat azab.

OPERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang