10 | malu

46 9 0
                                    

"Kenapa lo—"

"Lo tahu sendiri kenapa. Kenapa lo harus tanya apa yang lo sendiri udah tahu?" Potong Tino seusai Sera pergi menyembunyikan dirinya dari mereka di kamar mandi.

Sejujurnya, tak ada setitik pun rasa penyesalan di hatinya akan aksinya tadi itu. Tino hanya bisa merasakan ledakan kegembiraan dan rasanya jatuh cinta lagi dan lagi di kala kembang api meletus di hatinya dan kupu-kupu berterbangan di perutnya.

"Gua sayang sama dia, Rom. Cinta. Gua cinta dia." Gumam Tino yang masih menatap ke arah di mana punggung Sera menggilang.

"Tapi lo gak bisa sembarangan kayak gitu dong!" Protes sang kakak dengan volume suara yang masih terkendali.

"Jangan salahin gua kalau emang lo-nya aja yang lambat. Gua gak mau lagi kalau dia sampai direbut orang lain." Sahut Tino dengan nada dingin yang seragam dengan ekspresi di wajahnya. Kini pandangannya ia alihkan kepada kembarannya, memperlihatkan segala yang ia rasakan kepada Romeo melalui maniknya yang hitam mengkilap itu.

"Jadi...jadi sekarang kita harus gimana?" Tanya Romeo yang terdengar ragu, tapi itu semua bukanlah suatu masalah buat adiknya sama sekali karena itu terdengar seperti persetujuaan bagi Tino. Persetujuan bagi mereka untuk mengakui Sera sebagai milik mereka dan membanjiri gadis itu dengan segala cinta yang sepatutnya ia terima.

Tino terdiam namun senyum kecil di wajahnya mengatakan semuanya.

• • •

Sera menutup pintu kamar mandi rapat-rapat dengan deguban keras di jantungnya. Rasa panas kian menjulur dari pipi sampai ke seluruh wajahnya hingga leher, namun itu semua hanyalah efek alkohol--atau setidaknya itulah yang ia kira.

"Sh!t," umpat gadis itu pelan sembari memperhatikan wajahnya di depan cermin. Wajahnya begitu merah dan bibirnya terlihat merona. Seketika bayangan semenit lalu terlintas di kepalanya. Tino mencium bibirnya!

"Dasar anak kurang ajar! Dia kira gara-gara gua mabok, gua jadi gampangan hah?!" Omelnya pada bayangannya di cermin dengan volume suara terkendali.

Tangannya terangkat untuk mengacak rambutnya dengan kesal. Di hatinya terasa sekali beribu-ribu rasa tercampur aduk di hatinya, tapi yang paling dominan adalah rasa malunya.

Untuk seorang Sera, malu adalah perasaan sia-sia. Rasa malu itu hanyalah penghambat segala sesuatu. Penghambat untuk bersosialisasi, penghambat untuk mengerti materi pelajaran, penghambat untuk menyatakan perasaan dan sebagainya. Tapi tidak pernah terpikirkan olehnya kalau rasa malu yang ia rasakan kala ini bakal jadi penghambatnya untuk bertatapan wajah dengan si kembar, terutama Tino.

Tanpa ada alasan yang ia bisa jelaskan, entah kenapa ia merasa malu begini. Ada-ada saja hati tolol ini. Umpat Sera dalam hati.

Dengan perasaan malu dan malasnya, ia pun membasuh wajahnya dengan air di westafel. Seusainya ia mengelap wajahnya dengan handuk putih kecil yabg selalu tersedia di kamar mandi tersebut.

Sera keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan dan perlahan, berusaha agar tidak menarik perhatian. Namun apa daya di dalam unit apartemen yang terisi tiga orang itu, Sera telah menjadi bintang di antara mereka semua. Bintang di hati mereka.

"Se, udah enakan? Apa perlu minum aspirin? Mau gua beliin?" Tanya Tino dengan nada lembutnya. Senyuman di wajahnya nampak bersinar bagai telah memenangkan lotere miliyaran.

Tangan kanan Sera terangkat tepat di wajah Tino tanpa menoleh kearah lelaki itu . Ia beserta kakak kembarnya, yang berdiri di sampingnya saling berpandangan dengan tatapan kebingungan.

"Gua mau lo keluar dari tempat gua sekarang juga." Pinta Sera dengan nada dinginnya.

Hati Tino rasanya langsung mencelos. Senyumannya pudar sedikit walaupun di detik berikutnya kembali bersinar dengan intensitas yang sama.

"Ooh, iya udah. Lo mau istirahatkan? Yaudah gua sama Romeo pamit dulu ya. Jaga diri baik-baik, Se. Bye! Nanti kalo gua udah sampe rumah gua telepon lo ya." Tino masih saja mempertahankan nada suaranya.

Begitu ia maju untuk memeluk gadis itu pamit, Sera langsung mundur. Terlihat jelas sekali dari bahasa tubuh gadis itu kalau ia sama sekali tidak mau disentuh. Lagi-lagi kelakuan Sera itu membuat Tino kagok dan perasaan canggung sedikit tumbuh di hatinya. Tapi Tino adalah Tino, ia masih saja tersenyum dan mempertahankan pesona khasnya itu. 

Romeo yang menatap interaksi kedua insan dalam diam itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Di satu sisi, memang betul tingkah Tino itu sungguh pecicilan karena ia tak tahu kapan harus menyerah ketika Sera sudah memberikan bahu dingin padanya. Namun Sera sendiri juga terlalu dingin pada adik kembarnya itu. Melihat itu semua, mau tak mau Romeo pada akhirnya pun ikut ambil andil juga.

"Yaudah ya, Se. Gua balik sama Tino." Pamit Romeo dengan nada lebih kaku dari pada yang biasanya.

Ketika ia melihat kalau adik kembarnya itu akan membuka mulut besarnya lagi, Romeo langsung memelototi Tino dengan tatapan tajamnya, seolah berkata jangan-macem-macem-lagi-deh dan itu sukses membuat Tino bungkam.

Sera hanya berdeham dengan lipatan tangan di depan dadanya. Menoleh ke arah mereka pun ia tak mau, tapi itu semua hanyalah karena setiap kali melihat Tino, kejadian itu terulang-ulang seperti kaset rusak di pikirannya. Ia takut kalau mereka bisa melihat semburat merahnya nanti kalau ketiganya saling bertatapan. dan lagi, ia benar-benar merasa tidak enak dengan Romeo. Ia merasa tidak adil, dan ia merasa bagai telah mengingkari janjinya. ia tak mau kalau harus memilih.

Begitu kedua kakak-beradik kembar itu pergi, Sera menunggu sampai sekiranya sepuluh menit untuk berteriak dari lubuk hatinya yang paling dalam. Semburat merah langsung muncul dan terlukis dengan jelas di kedua pipi gadis itu. 

"Tino goblok!" Teriaknya dengan sepenuh tenaga. Lalu ia terduduk di sofa-nya dengan wajah memerah.

Tiba-tiba pintu apartement-nya kembali terbuka dan itu membuat Sera kaget setengah mati. Tapi ketika wajah yang muncul adalah wajah Siena, dengan lega gadis itu menghembuskan napasnya lega.

"Kok lo bisa masuk?" Tanya Sera setelah menyadari hal itu.

"Tadi gua ketemu antek-antek lo di lobi, terus mereka kasih gua kartu apartment lo. Jadi gua bisa masuk deh." Jelas Siena dengan senyuman seribu watt.

"Terus lo di sini mau ngapain?"

"Ya ngegosip lah!" Seru temannya itu dengan sangat bersemangat. Dengan santai ia membawa dirinya untuk duduk di sofa tepat di sebelah Sera.

"Eh, gua gak usah minum apa-apa paling gua di sini cuma sebentaran aja."

"Bªcot! Gua gak nawarin!" Seruan Sera membuat Siena terkikik senang bukan main.

"Ehehe...eh jadi ya Phine berkat akun gosip gua, sekarang jadi ada dua kepercayaan. Ada yang percaya kalau lo itu beneran ena-ena sama si Hector, tapi yang percaya kalo itu semua hoax juga gak sedikit." Ujar Siena, kali ini dengan nada seriusnya.

"Jadi gua harus gimana menurut lu, Na?" Tanya Sera setelah diam sejenak.

Siena menoleh ke arah Sera dan mengangkat alisnya sebelah, "ya...beraktivitas kayak biasa aja sih menurut gua. Kayak, bertindak seolah-olah emang gak pernah ada aja gosip itu. Tetap jadi diri lo yang emang cuek bebek sama gosip."

Gadis itu pun membalas tatapan temannya. Ia terdiam sejenak sebelum mengangguk dalam diamnya.

"Makasih banget ya, Na—"

"Eheheheh...bayarannya gua minta ditraktir Starbucks 1 minggu."

"Dasar tukang cari kesempatan!" Umpat Sera yang hanya bisa pasrah. Itu semua hanyalah karena ia berhutang budi pada temannya yang satu ini.

• • •

to be continued

GeminiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora