十五 | sandwich

88 5 0
                                    

smut alert
+
change of point of view

• • •

Aku menatap layar ponselku dengan tatapan bosan, masih ada di posisi yang sama, bersandar pada dada Tino. Aku tahu betul ia memperhatikan layarku juga, aku dengan jelas bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat di keruk leherku. Sesekali aku merasakan tengkukku meremang karenanya.

"Eh, jangan scroll dulu gua masih lihat video yang tadi." protesnya pelan. ini sudah kelima kalinya ia berkata demikian. lama-lama aku menjadi risih karenanya.

"Ya makanya, pake hape lo sendiri dong!" Seruku dengan gemas dan aku merasakan lirikan dari arah Romeo. 

Tiba-tiba Romeo membuka mulutnya, "tuh kan! Lo tuh cuma bisa gangguin Sera doang. Udahlah mending Sera senderan sini sama gua."

Sebelum aku bisa menyuarakan ketidaksetujuanku, lelaki itu mengangat tubuhku dengan mudahnya dan membiarkan aku bersandar pada dada bidangnya di sudut sofa yang lain.

Bukannya aku terlalu senang berada di pelukkannya, tapi nampaknya aku memang terlalu senang ada di pelukkannya. dadanya terasa begitu hangat, dan ia mengenakan sweater hitam favoritku dari koleksinya itu benar-benar membuat segalanya seratus kali lipat terasa lebih nyaman.

Nampaknya mereka mengerti isi hatiku, dan itu terlihat dari sungutannya Tino dan senyuman kemenangannya Romeo.

Di kala aku sibuk dengan denyut jantungku sendiri, tiba-tiba aku merasakan kecupan hangat di pipi kiriku, dan kalau bukan dari Romeo ya siapa lagi?

Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk memukuli wajah tampannya itu, tapi adiknya malah bergerak cepat untuk mengecup pipi kananku. Ah, tak perlu kulihat di cermin, aku sudah tahu kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus.

Rasa kesal dan malu bercampur aduk, aku memutuskan untuk menyembunyikan wajahku di perut Romeo yang terbalut sweater hangat. Sedangkan, kedua lelaki itu tos dengan penuh kebanggaan dan kemenangan.

Seusai menyembunyikan wajahku, aku mengangkat kepalaku dan berencana untuk kabur dari ruang tamu, tapi tentu itu tidak semudah itu.

Seketika saja, aku terperangkap dalam sandwich tubuh si kembar. Dengan Romeo di kananku, dan Tino di kiriku. Mereka berdua memegangiku begitu erat.

"Apaan sih?!" Protesku yang jelas merasa tidak nyaman berada di sana. Walaupun sebenarnya aku tahu di lubuk hatiku yang terdalam aku tak keberatan dengan situasi ini.

"Lo cantik banget, kadang sampe gua gak bisa lihat ke arah Lo. Karena gua tahu jantung gua bakal berdebar gila, dan gua malu kalau sampai Lo tahu itu." Gumam Romeo dengan rendah. Napas hangatnya di pipiku benar-benar tak menolong situasiku.

Sejak kapan sih, Romeo yang dingin dan cuek jadi seromantis ini?

Aku menghembuskan napasku perlahan, lalu menoleh ke arahnya. Jarak wajah kami begitu dekat, seolah kalau dia maju satu milimeter saja dari posisinya itu, bibirnya akan menyentuh bibirku.

Aku meneguk salivaku dengan gugup, lalu aku merasakan napas hangat di pipiku yang lain.

"Sera, gua juga ada di sini. Kok cuma Romeo doang sih yang Lo perhatiin? Katanya Lo gak mau milih." Sungut Tino dengan suaranya yang mendadak lebih berat.

Suasana di apartemenku ini tiba-tiba terasa lebih sensual dan itu membuat jantungku berdebar tak karuan.

Sejak kapan bocah-bocah ini tubuh menjadi laki-laki dewasa?

Entah apa yang merasukiku, tapi tanganku bergerak untuk membelai rahang tegas milik Tino dan memiringkan kepalanya secara perlahan dan sensual. Aku menatap matanya dalam-dalam dan aku bisa melihat tubuhnya bergetar dalam sentuhan aku. Aku menahan senyuman miringku melihatnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 23, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GeminiWhere stories live. Discover now