Satu

14.5K 375 14
                                    


Jika mimpi bisa diubah sesuka hati, bisakah aku memilih kisah kehidupanku sendiri? Kau terlihat ramah pada siapapun. Tapi mengapa tidak padaku? Dua tahun ini aku telah berjuang hanya untuk bersamamu. Kau sudah tau itu. Tapi kau berlagak seakan-akan tak tau apapun dan menganggapku tak ada.

Lalu kau pergi dan meninggalkan teka-teki besar untukku. Haruskah aku memecahkannya tanpa ada dirimu lagi?

***

Tubuh yang tegap itu…
Senyumannya…
Dan wajahnya yang terlihat bercahaya di mataku…
Ia seperti malaikat yang diturunkan untukku…

Kkkkrrrrriiiiinnggg…

Bel kebahagiaan telah berdering membuat seluruh murid SMA Seven berlari dengan riangnya pulang menuju rumah.

“Ra, bangun… RARA!!!” teriak Aida sembari menggoyangkan tubuh Rara yang tak kunjung membuka matanya.

“Hmmmm…”

Rara hanya bergumam. Matanya sangat berat untuk dibuka serasa menampung beban satu ton.

“Yasudah, aku pulang duluan. Nanti kalau udah bangun jangan salahin aku. Bye…”

Aida pun pergi meninggalkan Rara yang masih tertidur lelap. Satu per satu teman sekelas Rara mulai menghilang. Tinggallah ia seorang diri dalam ruangan yang hampa tak berpenghuni.

“Hhhuuuaaaa… legahnyaaa!!!” gumam Rara sembari meregangkan kedua tangannya, “Eh kok… sepi ya? Aidaaaaaa…”

Rara dengan buru-buru memasukkan semua buku dalam tasnya. Lalu mengecek kembali memastikan semuanya sudah masuk dalam tas. Setelahnya ia pun berlari menuju parkiran motor. Namun tepat di pintu kelas langkahnya terhenti. Ia tersontak kaget melihat dua cowok yang saling beradu pandang.

Raut wajah mereka terlihat berlawanan. Takut dan marah. Rara sudah menebak jika mereka punya masalah. Namun Rara tak menyangka jika masalah yang mereka hadapi sangatlah serius.

Rara melihatnya. Ia melihat semuanya hingga kedua bola matanya ingin keluar. Cowok dengan raut wajah marah itu menusuk perut temannya dua kali dengan pisau. Dalam sekejap darah pun bercucuran bagai air terjun. Mengalir deras tanpa henti. Terlalu takut hingga Rara tak sadar telah menampakkan dirinya. Cowok yang telah menusuk temannya itu pun melihatnya. Sontak Rara sembunyi kembali di balik pintu kelas berharap orang itu tak menghampirinya.

Cowok yang menusuk itu hendak melepaskan pisau yang tertancap di perut temannya. Namun temannya menahannya. Hingga terjadilah perebutan pisau yang akhirnya berhasil dilepaskan. Cowok yang telah membunuh temannya itu pun berjalan menuju kelas Rara. Ia langsung membuka pintu, namun tak ada siapapun. Ia pun mencari di sisi lain. Ia yakin cewek yang sudah melihatnya tak jauh darinya.

Beruntunglah Rara karena cowok itu berada di tempat yang berlawanan arah dengannya. Saat perebutan pisau tadi Rara mengambil kesempatan untuk keluar kelas dan pindah ke Mushola yang dekat dengan kelasnya. Rara keluar dari Mushola dan berlari sekencang mungkin. Ia terlalu panik hingga tak menyadari ada motor yang lewat. Beruntunglah ia hanya tersenggol dan tak ada luka serius.

Sosok yang menabraknya sangat familiar. Dalam sekejap ia sudah tau siapa orang itu.

"Raka…”

“Rara, kamu kenapa panik gitu?” tanya Raka sembari membantu Rara berdiri.

Perasaan takut Rara semakin menggebu. Ia takut jika Raka bekerjasama dengan cowok pembunuh itu. Sangat mustahil disaat seperti ini Raka tiba-tiba muncul dan masih mengenakan seragam sekolah. Padahal waktu pulangan sudah tiga jam yang lalu.

Rara menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat cowok pembunuh itu berjalan menghampirinya. Dengan sigap ia pun berlari sekencang mungkin meninggalkan Raka yang penuh tanda tanya. Tanpa sengaja kedua mata Raka menabrak sosok cowok yang berjalan sembari memandang Rara. Ia terkejut melihat tangan kanan cowok itu berlumuran darah. Raka pun langsung menyalakan motor dan menghampiri Rara.

“Naik, Ra.”

Rara hanya terdiam kaku.

“Cowok itu lagi ngejar kamu kan?”

“Kamu… bisa dipercaya?” tanya Rara hati-hati.

“Duh, naik aja. Kamu mau ditangkap dia?”

Tanpa ragu lagi Rara langsung menaiki motor Raka. Ia berteriak histeris melihat cowok pembunuh itu berlari mengejarnya. Raka pun langsung menancap gas dengan kecepatan penuh.

“Woy, berhenti!!! Sial gue gagal nangkap tuh cewek. Kacau!!!” gerutu cowok pembunuh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Thanks ya, Ka.” ujar Rara sesampainya di rumah.

“Iya sama-sama, Ra.”


“Tapi… gimana kalau dia tau rumahku?”

“Tenang, kan ada orang tuamu. Dia nggak bakal berani selama kamu di pengawasan orang tua.”

“Masalahnya… aku tinggal sendiri di rumah.”

“APA?”

****

“Memangnya gak papa kalau kamu nemani aku dirumah? Masalahnya nanti tetangga pasti ngomong yang enggak-enggak.” tanya Rara sembari memberikan segelas air putih pada Raka.

“Tenang aja. Kan kita diluar lain di dalam rumah. Emangnya orang tuamu kemana?”

“Kalau Mama sibuk jadi wanita karir. Kalau papa… kerjaannya gak nentu, suka pindah-pindah.”

Raka mengangguk. Terselip rasa iba pada Rara. Usianya memang beranjak remaja. Bagaimanapun Rara adalah seorang gadis yang masih butuh pengawasan dan juga kasih sayang dari kedua orang tuanya.

“Cowok itu… kenapa dia ngejar kamu?”

“Tadi aku ketiduran jadi pulang telat. Pas keluar kelas gak sengaja liat dia sama temannya lagi nahan emosi gitu. Tiba-tiba cowok itu nusuk temannya. Terus dia liatin aku jadi aku langsung sembunyi terus lari. Untung aja aku ketemu kamu.”

“Kamu liat siapa yang dia tusuk?”

Rara mengangguk sejenak  lalu tercengang.

“Yang dia tusuk itu…” Rara pun menatap Raka dengan tatapan tak percaya, “Kamu.”

Raka tertawa. Ia menganggap ucapan Rara hanyalah sebuah lelucon. Ia pun mengelus kepala Rara dan… tangannya menembus. Ia memegang pundak Rara juga menembus.

“Bagaimana bisa?” tanyanya sembari memandang kedua telapak tangannya.

“Rara… cepat ke bawa!!!” teriak tetangga Rara dengan tergesa-gesa.

Rara sontak turun dari rumahnya dan berlari ke bawah karena rumahnya yang terletak di atas bukit. Betapa terkejutnya ia melihat sosok Raka terbaring lemas. Darah tak henti-hentinya mengalir deras hingga membuat sekujur tubuhnya berlumuran darah. Rara menoleh ke kiri dan kanan. Raka yang tadi terlihat sehat-sehat saja sudah menghilang.

Dengan perlahan Rara melangkah menghampiri Raka yang sudah tak bernyawa lagi. Tepat di hadapannya ia melihat sekelebat cahaya yang adalah roh Raka. Kini Raka terlihat bersinar seperti malaikat.

“Kamu benar, Ra.” Ucap Raka tersenyum.

"Jangan pergi!" Pinta Rara seraya  menangis sesenggukkan. Raka hanya diam tersenyum memandangi Rara, "JANGAN PERGI!!!"

Secara perlahan roh Raka mulai menghilang dari pandangan Rara.

"Aaaarrggghhh..."

Psikopat [REVISI] ✓Where stories live. Discover now