Dua

6.5K 253 7
                                    

Suasana riuh menghampiri kelas XI IPA 4. Mereka semua terkejut melihat sosok murid baru yang sangat asing, sangat memukau, dan limited edition.

Aida terus menggerakkan pundak Rara yang tak kunjung bangun dari tidurnya.

“Duh, nih anak masih pagi udah tidur.” Gerutu Aida yang sudah menyerah membangunkan Rara.

“Ya, bapak tidak perlu kasih tau jika kalian kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan dirimu.”

“Perkenalkan nama saya…" Ia menjedah, "Raka…”

Mendengar nama itu sontak Rara bangkit dari tidurnya. Namun tak sesuai dengan yang ia harapkan.

Orang yang telah menyebut namanya ‘Raka' itu bukanlah Raka yang telah mati dan bukan pula Raka yang tidak Rara kenal.

“Canda, nama saya Willy Fernanda.”

Rara tercekat. Jantungnya berdegup kencang melihat wajah murid baru itu. Wajah yang akan ia lihat setiap hari. Dan mungkin akan membunuhnya kapan saja. Wajah yang sudah membuatnya terlibat dalam masalah besar. Murid baru itu adalah…

“Pembunuh.” gumam Rara tercengoh.

Aida mengangkat tangan dengan riangnya. Semua orang sudah menebak bahwa teman sebangku Rara telah terpukau dengan ketampanan Willy.

“Kamu asli orang Korea, kan? Nama Korea mu siapa?” tanya Aida tersenyum.

“Oh gak, saya campuran Indonesia-Korea. Nama Korea saya Jo Young Min.”

Seluruh murid pun mengangguk dengan serempak. Mereka sangat puas dengan jawaban Young Min alias Willy alias entahlah gue juga bingung tapi karena di Indonesia yasudah deh panggil Willy aja.

“Silahkan kamu duduk di kursi kosong itu.” ucap Pak Kepala Sekolah lalu pergi.

“Yes, dia duduk belakang kita, Ra.” ucap Aida penuh semangat.

Aida bahagia, Rara syok.

“Tamatlah riwayatku.” 

Secara perlahan ia menoleh ke belakang. Dan ternyata cowok itu sedang memandangnya dengan tatapan membunuh. Perlahan Rara kembali menghadap ke depan. Ia hanya bisa menelan saliva melihat kisah hidupnya yang seperti film horor.

***

Kkkkrrrriiiingggg…

Bel pulang pun berbunyi…

“Tumben gak ketiduran lagi, Ra.” gumam Aida sembari memasukkan buku dalam tasnya.

“A-aku kan gak setiap hari ketiduran terus.” ucap Rara terbatah-batah.

“Ayok pulang.”

“Duluan aja.”

“Kenapa?”

“Gak apa. Lagi males aja keluar kelas.” tirtah Rara tersenyum maksa.

Aida menggelengkan kepalanya melihat tingkah aneh Rara. Ia pun pamit dan pergi meninggalkan Rara. Dan saat itu juga Rara langsung menoleh ke belakang. Akhirnya setelah sekian lama ia bisa bernapas lega. Cowok yang telah mengaku namanya Willy itu sudah pulang duluan. Dengan santai Rara berjalan keluar kelas menuju parkiran motor. Parkiran lumayan sepi memungkinkan motor Rara bisa lewat.

“Hai.”

“Hai.” balas Rara tanpa memandang wajah orang yang sudah menyapanya. Rara kinj sibuk mencari kunci motor dalam ransel ungunya.

“Mau pulang?”

“Iya.” jawab Rara acuh masih fokus mencari kunci motornya dalam tas.

“Bareng yuk!!!”

Rara terdiam. Ia pun menatap orang itu. Tubuhnya kaku. Matanya tak berkedip. Ia bahkan tak sadar sedang menahan napas. Entah motor mereka yang bersampingan atau Willy yang menghampirinya. Rara tidak mengerti. Yang ia inginkan saat ini adalah menghilang dari hadapan Willy.

 Secara perlahan Rara turun dari motornya dan berlari sekencang mungkin.

“Mau kemana?” teriak Willy.

Willy menyalakan motornya dan menancap gas. Ia menghampiri Rara yang berusaha lari darinya. Ia tertawa geli melihat tingkah gadis aneh itu. Lari melawan kecepatan motor sudah pasti menang motor. Ia pun menghalang Rara yang belum sempat sampai di gerbang sekolah.

Rara langsung membalikkan badannya berlari menuju parkiran. Willy semakin menikmati kekonyolan Rara. Kembali ke parkiran sama saja dengan bunuh diri. Ia tetap bisa didapat.

Begitu sampai di lapangan parkir Rara langsung berteriak ketakutan.

“Sebenarnya apa mau mu?” teriak Rara histeris.

“Pulang bareng.” jawab Willy enteng.

“Denger ya, kamu boleh nyiksa aku di sekolah tapi jangan pernah ngikutin aku sampai rumah.”

“Memangnya kenapa?”

Rara tak mengherani ucapan Willy. Cepat ia menaiki motornya dan langsung menancap gas berharap Willy tak mengikutinya. Namun harapannya lupus. Tepat di belakangnya sosok Willy kini tengah mengikutinya.

Entah mengapa Rara menyalakan reting  kiri dan belok memasuki gang yang bukan ke arah rumahnya. Gang yang mengingatkannya akan masa lalu, dimana dirinya pernah mengikuti Raka hingga sampai ke rumah.

Rara terkejut melihat sebuah motor yang tak asing di matanya tengah melewatinya. KT motor itu sama dengan motor Raka. Dan di belakang motor terdapat mobil sedan putih. Rara melihat penumpang mobil itu adalah kakak Raka dan kedua orang tuanya. Rara bingung. Ia semakin menancap gas menuju rumah Raka. Rumah itu kini telah terkunci rapat dan tak berpenghuni lagi. Keluarga Raka telah pindah rumah.

“Jadi ini rumahmu?”

Rara terkejut. Ia terhanyut dalam kenangannya hingga lupa bahwa Willy sedang mengikutinya.

“Bukan,” jawab Rara lirih, “Ini rumah orang yang sudah kamu bunuh.”

Rara berjalan perlahan menuju pintu yang terkunci rapat. Ia mengetuknya. Terus mengetuknya berharap pintu terbuka dan Raka muncul sembari tersenyum menyambut kedatangannya.

“Raka, buka pintunya. Selama dua tahun ini aku cuman bisa mandangin kamu dari luar. Aku belum pernah ngerasain masuk di rumahmu. Raka buka!!! Harusnya kamu nyuruh aku masuk. Kenapa sih kamu selalu nutup pintu buat aku? Buka, Ka…”

Rara pun menangis. Ia tak perduli lagi dengan cowok pembunuh yang tengah melihat tingkah anehnya. Ia sudah tak tahan memendam kesedihannya yang terlarut amat dalam. Rasa sakit yang tak bisa dibandingi dengan apapun. Bahkan semuanya tidak ternilai dengan penderitaannya jika cowok pembunuh itu akan membunuhnya sekarang juga.

“Jadi… kamu menyukainya?” tanya Willy iba.

“Dan kamu membunuhnya.” balas Rara datar, “Dan mungkin korban selanjutnya aku.”

“Tenang, aku gak akan melakukan hal itu. Aku cuman mengawasimu. Karena kamu saksi dari masalah ini.”

“Kalau aku buka mulut?”

Willy terdiam. Tiba-tiba pikirannya berhenti bekerja. Tak ada satu katapun yang bisa ia lontarkan.

“Aku mau pulang. Jangan ikutin aku!!!” ketus Rara dan pergi.

Rasa sedih semakin melanda batin Rara membuatnya masa bodoh dengan keberadaan Willy.

Psikopat [REVISI] ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora