Delapan

4.2K 163 3
                                    

Untuk kesekian kalinya, Rara menghembuskan napas membuang semua kerisauannya bersama hembusan angin.

Dengan lesuh Rara meletakkan kepalanya asal ke meja sekolahnya tanpa berpaling dari layar ponsel yang sedang eror, menunggu waktu bisa membuka kembali kuncinya. Sudah tiga hari Rara mencobanya, ia sudah mencapai bulan Maret tanggal tujuh, namun tak ada satupun angka yang berhasil membuka kuncinya.

"Ra..."

"Apvah?" balas Rara lesuh.

"Kamu akhir-akhir ini aneh!!!" tirtah Aida seraya melirik Rara miris.

"Hmmm.... Gimana kencanmu dengan Kwang Min?"

"Kwang Min?" Aida mengerutkan kening heran.

"Waktu pensi kau dan Kwang Min kan sedang berkencan."

"Oh itu, menurutmu Kwang Min seperti apa?"

"Dia sama menyebalkannya seperti Willy," Rara menatap serius Aida, "Bagaimana? Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi."

"Seru! Sangat seru, hehehe..."

Suasana kembali hening
Rara menelungkupkan wajahnya di meja. Hari ini ia sangat bad mood.

"Tumbenan kamu gak antusias soal Raka," Aida memulai obrolan lagi.

Rara mengangkat kepalanya, menatap Aida bingung. Raka?

"Biasanya kalau ada info tentang Raka langsung heboh."

Rara dan Aida satu kelas bahkan sebangku sejak kelas sepuluh. Kedekatan mereka membuat Rara terbuka dan suka curhat dengan Aida, begitupun sebaliknya. Dan hanya Aida lah yang mengetahui perasaan Rara terhadap Raka, bagaimana antusiasnya Rara jika tau tentang info terbaru Raka, reaksi Rara saat tanpa sengaja berpapasan dengan Raka, bahkan kegilaan Rara saat Raka tersenyum padanya.

Aida tau semua aib Rara. Namun akhir-akhir ini ia seperti melihat Rara yang lain.

"Raka tiba-tiba menghilang tanpa ada info kalau mau pindah sekolah. Jadi semua guru bingung, gak ada satupun yang tau dimana Raka sekarang." jelas Aida.

Rara tercengoh. Beribu pertanyaan semakin nafsu melanda pikirannya.

"Loh, kamu gak tau? Raka kan sudah men..."

"Hah? Cowok nggak bisa men kali, Ra. Makin aneh nih anak!!!" gerutu Aida seraya mengelus kedua tangannya yang mulai merinding melihat sikap aneh Rara.

"Ish, maksudku tuh men... Men... Ya itulah!!!"

"Men apa? Kalau ngomong jangan nanggung, nanti jodohnya kumisnya nanggung juga loh, mau?"

"Men..."

"Men-nikah?"

Rara menggeleng.

"Men-nipu?"

Rara menggeleng lagi.

"Men-nangkap buaya? E, Raka kan buaya!!!"

Kali ini Rara menoyor kepala Aida tak terima Raka dibilangi buaya.

"TERUS APA?"

Rara menghela napas, ia kembali lesuh, "Kamu itu kurang update atau emang gak tau info?"

"Justru semua murid SMA Seven sekarang ini lagi gempar gara-gara Raka yang hilang tiba-tiba, kamu yang gak tau info!!!"

Rara berkedip, ia semakin bingung dengan pernyataan Aida. Rara menoleh ke belakang, namun hanya ada bangku kosong berhias ransel hitam di atasnya. Rara hendak keluar mencari Willy, namun Aida menahannya.

"Men apa? Aku masih penasaran."

"Men... Merantau maksudnya." Aida tercengoh. Rara semakin aneh dimatanya, "Merantau ke tempat yang jauh."

Aida tertawa, "Seperti meninggal saja ke tempat yang jauh."

Rara kaku. Seketika semangatnya luntur. Sepertinya semua murid SMA Seven termasuk teman dekatnya tak tau jika Raka sudah meninggal. Pantas saja tak ada yang berduka saat itu. Tak ada OSIS yang meminta sumbangan. Bahkan para penggemar Raka selain Rara pun tak ada menampakkan kesedihannya.

Tapi kenapa bisa? Bukankah sehabis membunuh Raka Willy langsung mengikutinya? Meninggalkan jasad Raka di sekolah.

Rara mempercepat langkahnya menghampiri Willy yang berada di kantin. Dilihatnya cowok campuran Indonesia-Korea itu tengah melahap bakso bersama teman sekelas.

Rara ingin menghampiri namun tertahan. Sekarang Willy termasuk murid tertampan di sekolah dan sangat populer. Rara tidak mau saat ia datang lalu tiba-tiba menyeret Willy justru membuat teman-temannya murka dan berpikir yang tidak-tidak, lalu menyebarkan gosip yang tidak benar. Bisa kelar hidup Rara. Sudah selalu diawasi oleh Psikopat, nambah lagi dengan berbagai cacian maki dan siksaan oleh para fans fanatik Willy.

Rara bergidik merinding membayangkannya. Bulu kuduknya berdiri tegak seketika. Ingin urungkan niat dan balik ke kelas, tiba-tiba sesuatu mengagetkannya, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Ngapain melamun di kantin?" tanya Willy seraya memasukkan pentol ke dalam mulutnya.

Rara berkedip. Ia memegang pipinya yang hangat karena mengkok bakso yang Willy tempelkan ke pipinya.

"A-ada yang ingin ku tanyakan. Tapi nanti." ucapnya lalu pergi.

***

"Hhooaaamm... Legahnya!!!"

Rara meregangkan kedua tangannya. Ia pandang sekeliling kelas, sunyi senyap. Sudah tiga jam yang lalu bel pulangan. Dengan santai Rara memasukkan semua barangnya ke dalam tas bersiap pulang, memanjakan kembali matanya.

"Mau tanya apa?"

"AAAAAAAAAAAAAAAA~"

Willy mendekap mulut Rara erat. Hampir saja Rara membuatnya sekarat lagi. Sudah cukup saat itu Rara membuatnya terbaring di rumah sakit, Willy tak mau merasakannya lagi.

Dengan takut Rara memundurkan bangkunya, menjaga jarak dari Willy. Saat ini hanya ada dirinya dan Willy, hanya mereka berdua. Rara perhatikan Willy dari ujung rambut hingga kaki, siap siaga kalau-kalau Willy membawa benda tajam. Hilangnya mayat Raka membuat Rara kembali takut dengan Willy, ternyata Willy lebih mengerikan dari yang Rara pikirkan.

"Mau tanya apa?"

"Kamu letakkan dimana mayat Raka?"

Willy berkedip lalu menatap langit-langit kelas seakan sedang berpikir, "Kemana, ya?" Willy tatap Rara dengan lekat, "Kalau aku bilang... Mayat Raka hilang, kamu percaya, gak?"

Detak jantung dan pernapasan Rara semakin cepat. Willy sangat mengerikan. Rara ambil tasnya memutuskan pergi. Berada di kelas hanya berdua membuat Rara takut, lebih lagi mendengar jawaban Willy yang semakin membuat Rara tercengang.

Sesampainya di parkiran Willy menarik tangan Rara yang dengan cepat dihempas oleh Rara.

"Aku beneran gak tau, Ra. Waktu itu kan aku ngikutin kamu sampai rumah. Pas balik kesini lagi, mayatnya sudah hilang. Bahkan darahnya yang bercucuran di lantai juga hilang. Semuanya hilang tanpa jejak."

Rara hanya diam. Ia bimbang, tatapan Willy menyiratkan tanda bahwa ia jujur, tapi tetap saja Rara ragu. Mayat Raka diculik maksudnya? Bagaimanapun juga penjelasan Willy diluar nalar. Sangat tidak masuk akal.

"Kalau hilang, siapa yang culik?"

Willy menggeleng, "Makanya sekolah yang elit dikit, CCTV aja gak punya!!!"

Rara menggelengkan kepala menatap kesal Willy. Disaat seperti ini pun Willy menyempatkan bergurau padanya.

"Jangan ikutin aku dan jangan datang ke rumahku!!! Aku lagi ingin sendiri." ketus Rara.

Kesal. Rara balik badan berjalan menuju motornya lalu menyalakan mesin dan pergi meninggalkan Willy seorang diri.

Psikopat [REVISI] ✓Where stories live. Discover now