#As2. Bagian 08

10.8K 1K 45
                                    


Jangan dibaca di waktu-waktu solat:)

Sebelumnya, yang belum ikutan PO AHNAF (1) dan minat untuk ikutan yuk gercep yaa..
PO akan berakhir tanggal 16 Maret❤

°°°

"Bhi, tadi ada yang nyariin kamu." Bhira menghentikan aktivitas membacanya kemudian menatap teman sekelasnya itu penuh keheranan.

"Siapa?" gadis yang berjilbab sama besarnya dengan kepunyaan Bhira itu menggeleng. "Aku nggak tahu, namanya sih kayak ada Vlan-nya gitu. Vlan.. Vlan, ish siapa gitu lupa aku."

Kening Bhira mengkerut seketika. "Di mana, Fa?"

"Di kantin. Kamu sih pakek nggak ikut segala. Oh ya," Fatimah-gadis itu-merogoh sakunya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku tersebut.

"Nih, dari dia." Sejenak Bhira terdiam seraya memandang bingung benda yang tengah diulurkan kepadanya oleh Fatimah. "Ambil," kata Fatimah.

"Apaan nih, siapa sih? Nggak jelas banget," gerutunya. Fatimah justru mengendikkan bahunya, acuh. Tanpa berlanjut obrolan lagi, Fatimah langsung bergegas keluar perpustakaan. Meninggalkan Bhira yang masih termenung dengan sebuah buku dihadapannya.

Bhira bukanlah tipikal nerd maupun introvert. Ia lebih memilih ke perpustakaan ketika jam istirahat tiba bukan sebab tanpa alasan. Ia lapar, tentu saja. Bhira juga tidak terbiasa membawa bekal ke sekolah. Namun ia lebih memilih ke perpustakaan daripada harus ke kantin yang sudah pasti akan berdesak-desakan.

Bhira hanya tidak mau memenuhi nafsunya untuk makan sampai harus rela berdesakan terlebih tidak hanya perempuan saja, melainkan juga laki-laki. Kalau sudah desak-desakan, apa ia bisa untuk tidak menyentuh yang bukan mahrom? Bhira bisa saja menghindar, tetapi siapa yang tahu jika tiba-tiba ada yang mendorongnya bahkan menyentuhnya.

Oleh sebab itu ia merelakan rasa laparnya dan menggantinya dengan 'memakan' ilmu saja di perpus. Toh, nanti kalau masih ada waktu dan suasan kantin sudah longgar ia juga bisa membeli makanan. Begitulah pemikiran gadis ini.

Kembali ke awal. Bhira masih menatap lekat-lekat sebuah permen karet di tangannya. Ya, sebuah permen karet yang diberikan Fatimah kepadanya. Bukan-bukan, lebih tepatnya dari seseorang melalui perantara Fatimah.

Bhira baru saja hendak membuang permen itu ke tempat sampah. Tapi, pekikan seseorang seketika mengurungkan niatnya untuk membuang permen karet tersebut.

"Jangan dibuangggg!!"

Bhira terlonjak kaget, begitu pula dengan beberapa siswa yang tadinya membaca dengan tenang kini harus menghentikan aktivitas membacanya mendengar riuhan itu.

"Jangan dibuang, Bhi!!" ujarnya dengan lantang seraya berlari ke arah Bhira. Sementara yang dipanggil namanya tidak bisa menahan diri untuk tidak melotokan matanya.

"Woy, bisa diem gak sih?! Ke lapangan sana kalau mau teriak-teriak!" sahut seorang siswa yang jelas terganggu dengan suara orang itu. Bukannya merasa bersalah, lelaki yang kini sudah berada didepan meja Bhira itu justru tersenyum lebar.

"Kaka! Ngapain sih?!" sembur Bhira seketika. "Ngapain-ngapain, kamu tuh yang ngapain. Udah enak dikasih eh malah mau dibuang. Kamu nggak sayang apa?" balasnya sedikit murung.

"Nggak. Buat apa permen karet? Lagi pun aku nggak suka."

"Kretek-kretek. Duaarr!!"

"Apaan sih?!"

"Sesuatu dari balik dadaku tiba-tiba pecah mendengar sebuah pengakuan pahit." Kaka menyentuh dadanya, mendramatisir keadaan.

"Kalau kamu sama permen karet aja nggak ada sayang-sayangnya bahkan nggak suka, gimana kalau sama yang ngasih?" ucapnya yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bhira.

"Jadi kamu kan yang ngasih ini?" Kaka mengangguk. "Gak ada kerjaan emang, huh?" Kaka menggeleng.

"Gak ada, makanya aku cari kerjaan. Daripada mikirin kamu yang belum halal buat aku dan bikin dosa, nah hayo?"

"Nggak lucu. Kamu aneh tahu, Ka. Uanehnya minta ampun sampe pengin aku tenggelamin di laut." Bhira mendorong kursinya ke belakang lalu beranjak pergi meninggalkan Kaka beserta permen karet itu.

Kaka menatap kepergian Bhira dengan wajah datar. Kemudian mencebikkan bibirnya sembari memungut permen karet diatas meja.

"Kasihan, ditolak ya kamu. Moga aja cuma kamu yang ditolak sama dia bukan aku," katanya seakan berbicara pada permen karet yang ia pegang.

***


Siang hari sebenarnya bukanlah waktu yang tepat untuk menyiram bunga. Akan tetapi lain halnya dengan Ahnaf, pria ini justru membuat teori sendiri bahwa bunga yang disiram pada siang hari akan lebih cepat tumbuh segar. Berulang kali Hanna sudah melarang Ahnaf, tapi tetap saja suaminya itu tidak mau meninggalkan sifat keukeuh-nya.

Di saat orang lain tidak mau berpanas-panasan di bawah sinar matahari siang, Ahnaf justru balik menantang. Tidak tanggung-tanggung, Ahnaf bahkan masih mengenakan kaos hitam dan enggan menggantinya. Entah tubuhnya terbuat dari apa. Apa rasa panas tidak terasa baginya? Itulah yang sejak tadi ada di pikiran Hanna.

"Mas, udahan dong. Nggak panas apa?" ujar Hanna yang setia duduk di kursi depan rumah.

"Hm. Kasihan ini bunga, nanti kalau haus kena terik matahari gimana? Terus layu dan mati, kamu mau?" Hanna menghembuskan napasnya.

"Justru kalau Mas Ahnaf siram terik-terik begini bakalan cepet mati." Ahnaf menoleh ke belakang, di mana istrinya yang sedari tadi tidak ada hentinya mengoceh.

"Mana ada? Kamu kalau kepanasan otomatis pasti haus kan? Apa yang kamu lakukan kalau udah haus?"

"Minumlah."

"Nah itu tahu. Bunga kan gak bisa minum sendiri, jadi sebagai manusia yang bertanggung jawab aku bertugas untuk menyiraminya."

"Itu tanaman, Mas, bukan manusia!"

Ahnaf mengangkat bahunya acuh. Tidak mau lagi berdebat dengan Hanna.

"Mas, kamu gak takut punggungmu gosong? Mana lagi pake hitam-hitam," Hanna bersuara kembali. Terkadang Ahnaf juga heran, hobi sekali istrinya itu mengomel. Kalau bukan istrinya, ibu dari anaknya, mungkin sudah ia asingkan.

"Astaghfirullah," Ahnaf sontak mengucap istighfar ketika pikiran aneh itu mulai menyelubungi otaknya. "Diam, Hanna. Tenang aja, gak akan gosong kok. Lagian ngapain takut gosong karena panasnya matahari? Bukankah lebih takut jika wajah kita gosong di akhirat nanti?"

Hanna diam setelah mendapat jawaban yang membuat hatinya mencelos. Benar, bahkan panasnya di dunia saja ia sudah mengeluh. Bagaimana kelak di akhirat? Dengan cepat Hanna beristighfar, menyebut nama-Nya.

"Iya, Mas. Tapi bukan gitu maksud Hanna. Nanti sore aja kan bisa, kalau sekarang bukan cuma kasihan sama Mas yang rela panas-panasan. Tapi juga sama bunganya nanti mati."

"Hidup dan mati kan cuma Allah yang tahu."

Salahkah jika Hanna ingin berteriak sekarang?

"Terserah, Hanna terima aja deh."

Mengalah. Opsi terakhir yang akan Hanna lakukan saat berbicara dengan suaminya. Sudah tidak usah berlama-lama. Bisa-bisa ia dibuat naik darah saking gregetnya.

Doa Hanna hanya satu. 'Tambahkan kesabarannya dan tabahkan hatinya untuk menghadapi sikap Ahnaf', itu saja.

👑👑


Mohon maaf jika terkesan aneh dan garing:)

"AHNAF" ( الزوج المثالي )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang