Minaduki Rui

210 23 0
                                    

"Uh, kenapa aku selalu mengantuk―"

Tanganmu bergerak, mengucek matamu sembari berusaha memperhatikan skripsi-skripsi kuliahmu. Kau menguap, menahan kantuk yang selalu saja menghinggapimu.

Padahal tidurmu cukup tetapi selalu merasa mengantuk.

"Mungkin aku harus refreshing sejenak ke cafe," gumammu lalu memasukkan kertas-kertas penentu nilai itu ke dalam ranselmu.

Irismu mendapati sebuah cafe yang bertuliskan, Tsukino Cafe. Cukup menarik perhatianmu sehingga kakimu melangkah, membawamu kesana tanpa kau sadari.

Di dekat pintu masuk, pria bersurai hijau tua berdiri sembari menatapmu. Ia memakai pakaian butler dengan beberapa brosur yang dipegangnya.

Penasaran, kau pun mendekatinya, berusaha untuk mengajaknya bicara―tatapannya yang sayu itu menarikmu untuk membuka mulutmu.

"Permisi, apa kau salah satu butler-nya?" tanyamu dengan nada sedikit pelan, berhati-hati.

Perhatiannya teralihkan, irisnya melirikmu, ia pun mengangguk dengan tatapan datar dan polos.

Oh, aku ini kenapa malah menanyakan sesuatu yang sudah jelas, batinmu facepalm.

Kau menegak salivamu, menggaruk pipimu yang sama sekali tidak gatal, kepalamu agak sedikit menunduk. Entah kenapa, kau tidak berani menatapnya.

"Ano... apa sedang butuh sesuatu?" tanyanya pelan.

"E-eh tentu saja butuh. Aku ingin tempat kosong yang agak sepi―kelihatannya dalam cafe banyak pengunjung. Habis mengerjakan tugasku, aku butuh tempat yang agak tenang."

Rui berpikir sejenak, "hm..."

"Seingatku, tempat di dekat piano agak sepi... dan apa kau tidak apa-apa? Kau kelihatan kurang sehat..." Ia memberimu pertanyaan, tatapan datarnya ia layangkan.

Kekehan kecil keluar dari mulutmu, yah, kau menertawakan pemuda di hadapanmu yang khawatir. Entah karena penampilanmu yang memang seperti zombie―kantung mata yang sudah besar juga hitam dan tatapan mengantuk.

Tentu saja, orang yang pertama kali melihat wajahmu akan bertanya seperti itu.

Hah, mengantuk sekali, batinmu.

Sang butler itu mengajakmu, menuntun ke tempat yang kau pesan lalu mempersilahkan dirimu untuk duduk. Beristirahat sejenak sama seperti tujuan awal dirimu datang ke cafe ini.

Desain cafe ini lumayan, tidak mewah dan juga tidak buruk―intinya mampu membuat mata para pengunjung disini nyaman.

Terutama dirimu yang butuh ketenangan dan juga kedamaian―beruntunglah karena area dekat piano ini sepi pengunjung.

Ingin rasanya kau tidur, menangkupkan kedua tanganmu diatas meja sembari menikmati indahnya dunia mimpi. Sepertinya kau memang harus beristirahat sejenak.

Tepat seperti apa yang berada di pikiranmu, kau melakukannya. Namun baru saja matamu hendak menutupkan kelopaknya―sebuah alunan nada terdengar―menghilangkan rasa tidur yang mencoba menguasai diri.

Butler itu, memainkan piano dengan sangat lihai. Mencampurkan perasaan ke dalam permainannya, membuat takjub dirimu hingga terus memperhatikannya selama main.

"Apa yang ingin kau pesan, nona?" tanya pemuda bersurai coklat, Kannaduki Iku, begitulah tulisan di nametag yang ia kenakan.

Kau tersentak, berpikir keras kemudian berucap, "uh... apa saja yang tidak membuat mengantuk asal jangan kopi―aku tidak suka bau kopi."

Iku mengerjap kemudian mengangguk dengan cepat, mencatat pesanan darimu lalu berjalan ke arah piano.

"Rui, tolong ambilkan pesanan teh hitam pada meja nomor enam," pinta Iku.

Rui menghentikan permainannya, mengangguk pelan lalu meninggalkan piano. Tentu saja kemana lagi dirinya jika tidak membuatkan pesanan darimu.

Cukup lama kau menunggu, ditemani dengan layar handphone yang cukup menghiburmu dalam menghabiskan waktu―menunggu pesanan.

"Boo!"

Tersentak kaget, tanganmu hampir saja bertemu dengan pipi sang pelaku―jika bukan karena Rui, pemuda polos itu, maka kau tidak akan segan untuk menamparnya.

"Ah... maaf, Shun bilang aku harus melakukan itu padamu." Irisnya melirik, menatap pemuda bersurai putih yang tengah tersenyum di dekat pintu masuk.

"Dan kau mempercayainya...? Astaga," gumammu sembari menatap tidak percaya.

"Ini, pesananmu."

Dahimu mengerut ketika melihat minuman tersebut. "Hitam? B-bukan kopi 'kan?"

Rui menggeleng, menjawab pertanyaanmu. Ia membuka daftar menu kemudian menunjuk sebuah minuman yang berada di dalam daftar teh. Teh hitam―itulah nama minumannya.

"Baguslah, terimakasih―uhm, Rui-kun."

Rui mengangguk, lalu berujar, "jika ada yang kau perlukan, silahkan panggil aku saja... nona."

Rui pergi, menyimpan nampannya lalu kembali ke piano. Ia memainkannya lagi, mencoba menghibur para pengunjung lewat permainan musiknya.

Sangat tenang, itulah yang kau rasakan. Permainan butler bersurai hijau tua itu sungguh menenangkan pikiranmu dari tugas-tugas kuliah yang menyiksa. Apalagi ketika kau meminum teh ini, entah kenapa rasanya kantukmu menghilang.

"Padahal kafein kopi lebih tinggi, tapi kenapa teh ini..." Kau berpikir.

Lalu terbesit di pikiranmu, kau tersenyum karena mendapatkan ide yang menurutmu cemerlang itu.

"Kapan-kapan kalau mau ngerjain tugas disini aja, deh. Haha, pianonya bagus juga tehnya enak," ujarmu yang tertawa sendiri.

Yah, sepertinya kau tidak menyadari bahwa alasanmu untuk selalu datang ke cafe ini bukanlah karena dua hal itu, melainkan sang butler.

Tsukino Cafe! [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang