40. Lo ber-Hak

2.3K 97 0
                                    

"Ada masalah apa lagi?" Aslan menatap Sean yang duduk di atas motornya.

Sean tersenyum melihat kedatangan Aslan yang terlihat kaku dan penuh emosi dari nada bicaranya. Sean berdiri dan mendekat ke arah Aslan. Ia menepuk pundak Aslan.

"Makasih Lan,"

Suasana yang tadinya bersitegang langsung berubah menjadi penuh perdamaian. Aslan juga membalas senyuman dari Sean. Sudah lama juga rasanya Aslan tidak melihat senyum Sean.

"Gue minta maaf Ian, dulu waktu lo minta gue deketin Karin buat jomblangin lu malah gue jadi suka beneran sama doi. Tapi gue janji mulai hari ini. Gue ga akan nyoba buat deketin Karin lagi. Gue juga harus ngerasain apa yang dulu lo rasain pas Angel milih gue dari pada lo dulu." jelas Aslan, ia melangkah ke motornya dan pergi meninggalkan Sean yang masih terpatung.

Sean tersenyum sebentar, ia kembali masuk ke dalam sekolah. Mencari seseorang yang sangat ingin ia temui sekarang saat ini.

Karin sendiri sedang berjalan di koridor sendirian. Sean ingin sekali langsung menggoda Karin tapi ia menyedari bahwa tingkah lakunya sangat dingin dari kemarin. Sean tanpa pikir panjang langsung berdiri di depan Karin. Ia menghalangi jalan koridor agar Karin tak bisa melewati dirinya. Karin menatap Sean dengan maksud bertanya ada apa.

"Pulang sama aku. Mereka semua udah tau tentang kamu." ucap Sean dengan tatapan dinginnya. Sean benar benar menahan tawanya saat itu ketika harus berubah menjadi lebih dingin dari biasanya.

Karin menatap Sean dengan aneh, entah apa yang habis Sean makan tadi saat istirahat. Tiba tiba saja Karin di ajak pulang bareng Sean.

Sean yang melihat tatapan Karin yang menatap dirinya aneh langsung saja berbalik badan.

"Kalao kamu ga mau ikut aku pulang, sok aja. Tapi ntar kalau di jalan ada apa apa jangan telpon aku." Sean tetep berdiri membelakangi Karin.

Karin tersenyum menahan ketawa ketika melihat tingkah Sean, ia langsung maju beberapa langkah dan menatap mata Sean.

"Yaudah anterin aku pulang," ucap Karin dengan senyum manisnya.

***

Sean menghentikan motornya tepat di depan halaman rumah Karin, ia mendapati kembali helm miliknya yang habis di kenakan Karin tadi. Rasa senang menyelimuti hati Sean saat ini bisa dapat mengantar Karin pulang ke rumah.

"Makasih ya Ian," ucap Karin.

"Buat?"

"Udah anterin aku pulang,"

"Mulai sekarang selalu kabarin aku kalau kamu ada apa apa," Sean menatap mata Karin dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Iya,"

Karin berbalik badan dan berjalan memasuki rumahnya, belum sampai masuk. Karin berbalik kepada Sean dan wajahnya terlihat sedikit murung.

"Kamu bukan penyebab berubahnya Aslan ke aku kan?" Karin menundukkan kepalanya takut.

"Aku ga tau apa yang terjadi sama Aslan, tapi kalau kamu pikir aku adalah orang yang ngebuat dia berubah ke kamu. Buang jauh jauh pikiran itu mulai sekarang,"

Sean memakai helmnya dan melajukan motornya meninggalkan Karin.

Karin menatap kepergian Sean setelah di rasanya sudah tak terlihat lagi keberadaan Sean. Karin masuk ke dalam rumah. Ia melihat suasana rumah yang tenang. Ibunya sedang memasak di dapur dan ayahnya sedang membaca koran di belakang rumah. Karin langsung memutuskan memasuki kamarnya dan membuka hpnya. Ia mengecek chat terakhir dan Aslan. Nyatanya belum ada pesan terbaru dari Aslan.

"Kamu kenapa Lan?" gumam Karin.

***

Aslan duduk meratapi semua kejadian beruntun yang berlalu. Ia mencoba memahami semua kesalahan yang telah terbuat. Mencoba untuk bertahan dengan apa yang terjadi sekarang. Bahkan saat ini keberadaan Bagas dan Jeffry tak berarti bagi Aslan. Ia terus merenung.

Jauh di lubuk hati Aslan, ia benar benar menyayangi Karin. Karin sudah bisa membuat Aslan yang selalu menutup mata kini perlahan membuka matanya.

Entah harus menyalahkan siapa lagi Aslan. Ia selalu saja mencintai perempuan yang di cintai Sean. Selalu saja begitu.

"Kenapa? Lo nyesel sama keputusan lo?" ucap Bagas membuyarkan lamunan Aslan.

"Kalau lo nyesel sama keputusan lo saat ini, sekarang belum terlambat buat lo nyatain rasa sayang lo sama Karin." Jeffry menepuk pundak Aslan agar ia lebih tegar.

"Gue brengsek Gas, Jeff. Gue selalu ngerusak pertemanan kita semua. Gue ga bisa biarin diri gue menang lagi kali ini. Gue harus ikhlasin Karin untuk Sean." Aslan menunduk lesu.

"Satu hal yang pasti di dunia ini Lan, cinta ga bisa di paksa. Gue pikir perasaan Sean bakal sia sia kalau perasaan Karin malah ke lo saat Karin sama Sean." jelas Jeffry.

"Belum terlambat," lanjut Jeffry.

Aslan memejamkan matanya dan menarik kasar napasnya. Aslan mencoba mengumpulkan keberanian dalam dirinya. Aslan rasa ia juga masih punya hak dalam hidup Karin.

Aslan tau betul bahwa Sean sangat sangat menyayangi Karin, tapi Aslan sekarang sadar. Perasaanya ke Karin juga tidak bisa di abaikan begitu saja. Bukan soal masa lalu, karena masa depan adalah soal cara kita memperbaiki masa lalu.

"Toko bunga perempatan depan biasanya jam segini bunga mawar putihnya belum abis," celetuk Bagas.

Aslan bangun dan keluar dari kamar Jeffry, ia langsung melajukan motornya menuju rumah Karin. Aslan harus menjelaskan semuanya pada Karin. Ia memang salah tapi perasaan Aslan tidak bisa di salahkan begitu saja.

Setelahnya sampai di depan rumah Karin, Aslan sedikit terpaku tak bisa beranjak dari atas motornya hingga seorang perempuan sedikit tua keluar dari rumah itu.

"Siapa? Temennya Karin ya? Masuk dulu dek,"

"Iya Tante," Aslan membalas dengan senyuman di bibirnya, ia yakin orang itu adalah ibu Karin. Mirip. Itu alasannya.

Aslan masuk ke dalam rumah Karin, ia melihat suasana nuansa ruang tamu di rumah Karin benar benar sangat nyaman.

Aslan duduk menunggu Karin keluar dari kamarnya, ibu Karin tadi berkata akan memanggil Karin.

Aslan terkejut ketika Karin berteriak dari dalam kamar, "Ga mau mah, Karin lagi males ketemu sama orang! Karin benar benar badmood,"

Ibu Karin lalu memberi tahu Aslan dengan tidak enak bahwa Karin sedang tidak enak badan. Aslan mengangguk dan pergi dari rumah Karin dengan sedikit kecewa.

Apa Karin tau bahwa dirinya datang dan ia tak mau menemui dirinya?

Pemikiran itu terus berputar di otak Aslan. Haruskah ia kembali dengan Angel saat hatinya berteriak nama Karin? Haruskah ia mengalah pada Sean?

Aslan menancapkan gasnya dan mengendarai motornya dengan cepat membelah keramaian malam di kota Jakarta.

"Teman? Soal perasaan emang suka bikin lupa teman,"

Aslan menambahkan kecepatan motornya lagi, ia benar benar marah malam ini tapi entah harus kemana.
Ingin rasanya Aslan mengubur dirinya hidup hidup untuk sementara waktu ini.

SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang