20.48 PM

35 6 74
                                    

"Hey?" Lelaki itu memiringkan kepalanya—memperhatikan seorang gadis yang menyembunyikan dirinya di hoodie dengan mata terpejam.

"Saya minta maaf, saya gak bermaksud untuk menyinggung perasaanmu."

Gadis itu masih diam, ia mulai mendesah frustrasi.

"Hah, ternyata perempuan memang serumit ini," celetuknya membuat beberapa perempuan di sana tersindir—menoleh ke arah lelaki itu.

"Makanya mas, jadi orang ngehargain perempuan kek, jahat banget sama pacar sendiri. Diputusin baru tau rasa," sindir seorang ibu-ibu sosialita yang duduk di seberang mereka. Lelaki itu mengernyit bingung seraya menatap sungkan wanita paruh baya di sana.

"Maaf, Bu. Tapi dia bukan pacar saya."

"Ah, semua cowok sama aja. Sekalinya nyakitin, ga mau ngakuin. Gini nih ciri-ciri buaya akhir zaman."

Oke, kini bukan hanya hati lelaki itu yang panas, tapi seluruh tubuhnya termasuk kepalanya seperti direbus.

"Bu, saya tekankan sekali lagi, perempuan sebelah saya ini cuma orang asing. Bukan--"

"Hiks, hiks."

Dia menoleh nanar—sedikit ngeri dengan sesosok gadis yang tiba-tiba menangis sendiri di dekatnya.

"Kamu ... nangis?"

"Nah, ceweknya kesinggung 'kan? Makanya mas, jadi pacar itu yang perhatian dong. Sok gak ngakuin lagi! Dapet karma baru tahu rasa!" celetuk ibu-ibu tadi memperkeruh suasana. Lelaki tampan itu ingin meledak saja rasanya.

Namun karena sudah kalut mendengar tangisan gadis sebelahnya, ia tak mampu marah. Bahkan rasa kesalnya memudar digantikan rasa bersalah.

"Saya gak tahu siapa kamu, jujur aja, saya gak terlalu tahu tentang perempuan," jujurnya dari hati ke hati sembari menatap gadis yang berlinang air mata sembari memejamkan mata.

"Tapi saya memang salah tadi, saya benar-benar minta maaf. Maaf, saya udah nyakitin kamu. Saya gak bermaksud, beneran! Saya cuma mau bercanda, tapi keterlaluan, itu masalahnya."

Gadis itu semakin menangis sedikit meraung, membuat beberapa penumpang terganggu. Adapula ibu-ibu sebelah yang masih menyindirnya, namun tidak ia dengarkan. Capek, ibu-ibu itu tipe orang yang selalu benar, ia tidak bisa melawannya.

"Hiks, hiks ..., Le," lirih gadis itu kecil, membuatnya reflek menoleh bingung.

"Le? Lele? Kamu ngidam? Gimana sih?" celetuk lelaki itu frustrasi, dia mengacak rambutnya, mulai mendengarkan dengan seksama.

"Le ...," lirih gadis itu, mulai membuka matanya perlahan. Entah mengapa, lelaki itu menahan nafasnya saat ini.

"Levi-ku ..., Levi Ackerman-ku! Meninggal! Huaaa!" tangis gadis itu langsung beranjak ke bahu lelaki di sampingnya dan mengelap semua ingusnya di sana.

"Gue kepikiran Levi mati barusan. Dia belum mati, 'kan? Belum 'kan?" Gadis itu sesenggukan, lelaki yang menjadi korban di sebelahnya menatap tidak percaya. "Plis, bangunin gue kalau ini mimpi!"

Lelaki itu masih berusaha mencerna sesuatu di pikirannya. Jadi sedari tadi ... gadis itu diam karena tidur? Dan ia menangis karena ... sosok Levi Ackerman meninggal?

Bukannya ia penggemar anime, tetapi dia sendiri pernah mendengar bahwa sosok Levi merupakan karakter idola di anime terkenal. Ada titan-titannya kalau tidak salah.

"Kamu nangis ... karena tokoh anime doang?"

Dengan wajah kacau, gadis itu mengangguk, lalu mulai mengambil tisu dari tas ranselnya di bawah sana.

"Maaf ya, baju lo kotor. Mau gue pinjemin baju gue?"

Dengan tatapan horor sekaligus ngeri, lelaki itu menggeleng. Jujur saja, ia tidak mau. Masa dia meminjam baju perempuan? Orang asing lagi! Apa kata dunia?

"Ah, gue bawa kaos panjang kok, lo mau?"

Lelaki itu masih terdiam, hanya memandang dengan ekspresi tak percaya.

"Maaf ya, ini kebiasaan gue kalau lagi kehilangan. Suka lupa diri, nangis sendiri."

Tidak, kata maafnya belum cukup membuat mata elang itu berhenti mematung.

"Gue gak marah sama lo kok, cuma kesel aja." Gadis itu mendelik, masih sedikit mengatur nafas sehabis menangis. "Bercandaan lo gak lucu, gue gak sebodoh yang lo pikirin!"

Gadis itu berapi-api—menatap lelaki di sampingnya dengan pandangan remeh. "Bentar lagi gue juga kerja, lihat aja! Siapa yang lebih sukses, gue atau lo."

Envira langsung menyumpal kedua telinganya dengan headset. Dia tidak sadar, ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan seksama. Lalu lelaki itu mulai menarik ujung bibirnya.

"Oke, saya terima tantangan kamu."

***

"Menarik."

"Mampus, ngapain gue nangis di bajunya sambil ngelap ingus di sana? Dia gak jijik apa ya?"

Double YouWhere stories live. Discover now