22.32 PM

23 8 34
                                    

"Nah, sekarang, save nomer saya ya. Saya udah nelpon kamu tadi," ucapnya enteng membuat Envira malah mendelik kesal.

"Gue gak tahu ya kalau lo ternyata tukang meras," balas Envira tak terima. Pandangannya berlalih pada handphone-nya yang telah dikembalikan, ia melihat dengan jelas terdapat nomer asing di sana.

Ia mengotak-atiknya, menyimpan nomernya dengan tiga kata.

Kloningannya Mas Raka.

"Saya bukan tukang meras, saya cuma tukang manfaatin keadaan," jawabnya dengan senyuman sialan itu lagi. Andaikan ia tidak tersenyum, mungkin Envira mampu menaboknya sekarang juga.

"Itu cuma pemanis," timpal Envira angkuh. "Aslinya mah sama aja."

"Sial," umpatnya pelan membuat gadis sebelahnya terkekeh kecil.

Ramai berganti senyap ketika Envira memutuskan untuk menonton anime yang baru-baru ini begitu hangat. Cerita mengenai segerombolan anak panti asuhan dengan segala misteri di dalamnya.

Jujur saja, Envira termasuk sosok penggila misteri. Jangankan mengenai anime, mungkin saat orang-orang bertanya mengenai sebuah novel, film, atau kejadian nyata mengenai detektif dan pembunuhan, ia bisa menjawabnya dengan mudah. Luar biasa, bukan?

Tetapi sayang, mengenai sosok di sebelahnya, ia sama sekali tidak tahu jawabannya. Jawaban dari pertanyaan yang mengakar di hatinya hingga sekarang.

Apakah Erlangga memang bukan Mas Raka? Bagaimana kalau mereka bertemu? Atau bahkan ... Kak Acha yang bertemu? Apa yang akan terjadi?

Dan bodohnya, gadis itu tidak mampu menjawabnya sama sekali.

Kalau ini merupakan cerita misteri, mungkin ia bisa berspekulasi banyak hal. Tentang Erlangga sebenarnya, Mas Raka, dan Kak Acha. Dan yang paling bisa ia tebak sekarang adalah ... akhir dari cerita ini. Tentangnya, dan tentang ...

Envira melirik sosok tampan di sampingnya, lelaki itu tersenyum memperhatikan layar bening dan bersinar digenggamannya. Entah melihat apa, gadis itu tak tahu.

Ia yakin mengenai bagian ending-nya. Ia tahu, akhir dari cerita misteri tak selalu berakhir dengan baik. Ada empat kemungkinan cerita ini akan berakhir.

Yang pertama, jelas akhir bahagia.

Ia bisa berkenalan dengan Erlangga lebih jauh, atau sekedar bersapa dalam jarak yang tak diketahui jaraknya. Mungkin saja mereka menjadi akrab, atau bisa menjadi lebih pada waktunya.  Bahkan ... mereka saling jatuh cinta, lalu menikah?

Envira terkekeh pelan, itu hal yang paling tidak mungkin terjadi. Karena itu terjadi jika kakaknya san Mas Raka menyetujui hubungan ini. Bagaimana kalau tertukar? Bisa merepotkan!

Gadis itu terkekeh kecil, lalu kembali memasuki alam pikirannya.

Selanjutnya adalah akhir yang menyedihkan. Akhir yang menyedihkan ini juga dibagi menjadi dua, yaitu ketika mereka tak mungkin bersama—entah karena dirinya bertepuk sebelah tangan ataukah tidak direstui dan ketika Erlangga merupakan Mas Raka yang asli. Mungkin pilihan pertama dalam akhir yang menyedihkan ini lebih baik ketimbang yang kedua. Mau ditaruh di mana mukanya kalau begitu?

Lalu yang terakhir? Envira tersenyum kecil.

Ending menggantung. Tidak akan terjadi apapun, semuanya seolah tidak pernah terjadi. Bisa juga karena gadis itu melupakannya dan Erlangga juga sama. Seperti awalnya, terasa asing, seakan tak pernah beucap kata.

Setelah dari sini, mereka akan menjalani kehidupan masing-masing. Tidak akan ada hubungan setelah itu. Kalau jodoh, biar takdir yang menentukan. Namun, bukankah itu menyakitkan?

Envira terkekeh, namun langsung tersadar. Ia barusan memikirkan apa?! Ia gila atau bagaimana? Bisa-bisanya ia mulai memikirkan mengenai hidup bersama Erlangga. Ingat, gadis kecil, Erlangga itu hanyalah orang asing. Kalian belum mengenal sama sekali!

Namun dia tahu, ini tidak serumit dan sesederhana itu. Hidupnya bukanlah sebuah novel maupun cerita yang akan diceritakan turun menurun. Mungkin ending terakhir lebih tepat. Atau bahkan ... takdir memberi sebuah plot twist tak terduga?

"Envira."

Seseorang memanggil namanya, ia masih menggenggam ponselnya sedari tadi—belum sempat menonton anime baru kesukaannya itu.

"Ya?"

"Ada apa? Kayanya kamu lagi kepikiran sesuatu," curiganya pada gadis itu. Sungguh, ia lupa kalau lelaki sebelahnya ini merupakan jelmaan Einstein! Bagaimana lelaki itu bisa tidak peka dengan wajah murung dan sendu miliknya itu?

"Gakpapa."

"Jangan bohong, kamu gak pinter bohong, tahu!" jujurnya pada Envira yang menatapnya gemas. Sungguh, lelaki itu semakin tampan saja malam ini.

"Menurut lo ..." Envira menatap ke langit-langit kereta. "Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Maksudmu?"

"Akhir dari ini semua, apa yang akan terjadi nanti?"

Erlangga tersenyum, ia mulai mengerti dengan maksud sosok sebelahnya.

"Kamu tahu? Kata orang-orang, seseorang sudah pernah bertemu cinta sejatinya ketika berumur 16 sampai 17 tahun." Erlangga mulai berbicara, gadis itu memalingkan wajahnya pada kegelapan malam.

"Tapi kita baru ketemu saat kamu umur 19 dan saya 22, jadi menurutmu gimana?"

Envira terdiam, ia tahu maksudnya. Lalu sedetik kemudian tertawa manis—memperlihatkan lesung pipinya itu.

"Cukup simple. Kita akan kembali ke kehidupan masing-masing, lalu saling melupakan," jawab gadis itu enteng, namun segera disambut gelengan kepala oleh Erlangga.

"Bukan itu."

"Eh, terus?"

Erlangga tersenyum, memajukan wajahnya ke arah gadis yang pipinya mulai terbakar api neraka. "Artinya, orang-orang yang bicara begitu, sudah pasti salah."

***

"Sebentar, sebentar. Maksudnya apa?"

"Masuk, 'kan?"

Double YouWhere stories live. Discover now