22.58 PM

26 7 5
                                    

"Maksud lo apaan sih, gue bingung." Gadis itu menghela nafasnya, kedua tangannya memeluk tubuhnya—ia sedikit kedinginan oleh AC yang seakan-akan menginginkan penderitaannya. Dia yang memakai hoodie seperti ini saja kedinginan. Apalagi Erlangga yang ... hanya memakai kaos abu-abu terang nan tipis itu?

Terdengar helaan nafas yang hampir sama di sebelahnya. Bedanya, lelaki sebelahnya menghela nafas pasrah akibat kejadian lalu. Tatapannya menyinis, Envira itu ... sengaja pura-pura tidak tahu dan tidak peduli?

Lelaki tampan itu menengadah, ia memilih memejamkan mata sejenak, sebelum sebuah suara mengintrupsinya.

"Lo gak kedinginan?" tanya Envira dengan gumaman halus. Ia takut untuk memulai pembicaraan yang sedikit sensitif, apalagi ucapannya barusan semacam tanda bahwa ia peduli.

Padahal dia hanya kasihan dengan lelaki itu.

"Itu kode biar saya meluk kamu, gitu? Saya peka loh." Oke, Envira kembali memutar bola matanya malas. Sepertinya ia sudah paham arah permainan lelaki di sebelahnya.

"Lo bawa jaket gak? Gue punya jaket satu lagi di tas," jujur Envira sembari mengambil jaket itu di tasnya tanpa menunggu persetujuan Erlangga yang terbengong.

Senyuman Erlangga mulai terbentuk, menerima jaket abu tua itu dengan senang hati. Ia tahu, gadis manis ini sengaja mengalihkan pembicaraannya. Tak apa, belum waktunya.

"Kamu suka warna abu-abu sama hitam?"

"Tahu dari mana?" tanya Envira heran, sedangkan Erlangga malah terkekeh kecil.

"Hoodie kamu abu-abu gelap, handphone kamu hitam, tas kamu campuran abu-abu sama hitam, celana panjang kamu juga hitam, ini lagi jaket abu-abu punyamu, pasti kesayangan." Lelaki itu menggumam pelan, Envira tidak mengerti ucapannya. "Saya pakai baju abu-abu nih, gak mau suka sama saya?"

Sepik lelaki ini keterlaluan, dahsyat, langsung to-the-point, pikir gadis itu dengan delikan. Padahal Envira tidak melakukan apapun.

"Gak," jawab gadis itu padat dan jelas.

Lelaki itu memakai jaket kesayangan miliknya dengan senyuman andalannya. Smirk itu ... Envira meneguk ludahnya sendiri. Seharusnya tidak begitu! Ia belum pernah meminjamkan jaket hadiah almarhum sahabatnya dahulu pada siapapun. Tetapi dengan mudah ia meminjamkannya kepada Erlangga. Apa maksud ini semua?

Dia pasti sudah gila.

Suara kling di handphone-nya menandakan ada pesan masuk. Biasanya yang mengirimkan Envira pesan lewat SMS adalah keluarganya saja. Yah, hal itu dikarenakan teman-temannya yang lebih memilih menggunakan aplikasi chat. Di zaman sekarang ini, mereka mana mau menghabiskan uang demi membeli pulsa?

Kuota lebih penting, bagi mereka, bagi banyak orang.

Kuota = hidupnya.

Tanpa kuota = mati.

Beli kuota = hidup lagi.

Kuota habis sementara = mati suri.

Ibuk
Dek, sampai mana?

Envira tersenyum melihat kalimat itu. Ibunya, gadis itu sungguh merindukan segala hal tentangnya.

Me
Gak tau, buk, hehe.

Ibuk
Kok gak tau?

"Cepat sekali ibu jawab, beliau lagi ngapain ya?" batin Envira dalam diamnya. Ia melirik ke samping kanannya, Erlangga berdiri, dan berlalu dari sana. Sepertinya ia ingin ke kamar kecil.

Me
Sekitaran Jawa Barat, buk. Aku males ngecek ini, hehe :'')

Ibuk
Kebiasaan kamu!
Nanti kalau sudah dekat Solo, bilang ya, biar ibu, bapak, sama mbakmu ikut jemput.

Me
Iya, Buk.

Envira kembali tersenyum. Ia semakin sayang pada orang tuanya itu. Tak kenal lelah, bahkan ketika usianya sudah menginjak senja hari. Sayangnya, dari dirinya dan kakaknya, Mbak Acha, belum ada yang menikah. Maka

Mata gadis itu terbuka lebar, hampir copot dari tempatnya. Ibunya memberinya pesan lagi, hatinya serasa terlepaa dari raga.

Ibuk
Katanya mbakmu, Raka juga lagi perjalanan dari Jakarta naik kereta. Mungkin kamu tau, Nduk? Ketemu nggak?

Nafas Envira tercekat, jantungnya berdetak cepat. Diliriknya tempat duduk kosong di sebelahnya. T-Tidak mungkin, 'kan? Ini sama sekali tidak lucu!

Me

Wah, kereta apa buk? Vira pakai argolawu. Jangan-jangan emang sekereta ini, hehe.

Ibuk
Katanya sih berangkatnya juga kaya kamu, jam 8 tadi, Nduk.

Oke, sekarang tatapan Envira berubah nanar—tidak percaya.

Me
Lah, buk? Bentar, Mas Raka ke Jakarta ngapain? Kok aku baru tau ಥ_ಥ

Ibuk
Masmu itu kerja, Nduk. Pinter nyari nafkah lho! Makanya, ibuk sama bapak ngrestuin mbakmu.

Mata Envira memanas, hampir menjatuhkan sesuatu dari sana ketika seseorang yang memenuhi pikirannya kembali datang, duduk lagi, seolah tak terjadi apapun.

Enviea mengerjap, ia berusaha tenang. Mungkin hanya kebetulan.

Me
Buk, bisa tanyain, Mas Raka gerbong berapa?

Ibuk
Tak tanyain ke mbakmu.

Me
Oke^^

Sorot mata gadis itu melemah, tak mampu mencerna semua hal yang terjadi. Ini terlalu nyata untuk sekedar kebetulan, bukan seperti yang ia pikirkan, bukan?

"Hei, Erlangga."

Erlangga sedikit terkejut ketika gadis itu memanggilnya secara tiba-tiba.

"Hm?"

"Mau tahu plot twist dari cerita ini?" tanya gadis itu dengan wajah polos, namun terlihat misterius—mencurigakan.

Erlangga menyernyit bingung, ia tidak mengerti. "Maksudmu?"

"Gimana kalau ternyata semua yang lo ucapin cuma kebohongan?"

"Ha?" Erlangga membeo, ia bingung berat.

Envira menyeringai, tatapannya mengkilat tajam. Satu tangannya terulur, berusaha tenang dengan situasi ini. "Halo Mas Raka, apa kabar?"

***

"Bunuh gue sekarang juga."

"..."

Double YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang