23.18 PM

41 6 22
                                    

"Saya gak salah denger? Kamu panggil saya Raka, lagi?" Lelaki itu menatap Envira tak percaya, namun yang ditatap malah tersenyum—pura-pura baik-baik saja.

"Mas Raka nggak usah bohong deh," cicit gadis itu pelan dengan suara sedikit serak. "Emang keuntungannya bohongin aku apa sih?"

"Envira."

"Kalau kamu emang Mas Raka, gakpapa. Aku gak akan marah, beneran. Malah aku seneng ketemu Mas Raka setelah dua tahun lamanya," ungkap Envira dengan senyuman merekah—biasa ia gunakan untuk meyakinkan orang lain bahwa ia selalu baik-baik saja. Selalu.

"Envira, dengerin saya, dengerin." Tatapan Erlangga mengunci gadis itu—membuat Envira melemah sekujur tubuh, menunduk. Kedua tangan Erlangga meremas kedua bahu Envira—membuat si empu menengadah.

"Saya bukan Mas Raka," ungkap Erlangga dengan penekanan di setiap katanya.

"Nama saya Erlangga Nahreza, umur saya 22 tahun, lulusan D3 Sekolah Tinggi Akutansi Negara tahun lalu, kota kelahiran saya di Magelang lalu pindah di Solo sewaktu SMA." Hati Envira melemah, ia mendengarkan dengan seksama.

"Orang tua saya dokter, ibu saya meninggal 5 tahun yang lalu karena kanker, saya anak kedua, kakak saya laki-laki juga kerja di Jakarta."

"Kamu masih percaya kalau saya itu Raka?" Erlangga memperhatikan sekitar sebentar, ia mulai berkata lagi dengan setengah berbisik.

"Apa memang kamu berharap kalau saya adalah dia? Apa kamu masih cinta sama dia?" Lelaki itu menusuk pikiran Envira dengan berbagai pertanyaan gila yang ia sendiri tidak bisa menjawabnya.

Berharap Erlangga adalah Raka? Bahkan Envira sendiri tidak mau mempercayai fakta itu dan Erlangga ... mengatakan bahwa dia mengharapkannya?

Sungguh, ia tidak mencintai Mas Raka lagi. Sejauh ini, mungkin hanya obsesi memiliki ... atau entah.

"Ulang tahun lo?" Ia melepaskan kedua tangan Erlangga di pundaknya, lalu memandang lelaki itu dengan berkilat.  "Umur lo sama umur Mas Raka sama."

"22 Desember," jawab Erlangga dengan suara serak—membuat tatapan Envira melemah. "Hari ibu."

Ah, sial! Gue salah ngomong.

"Gue minta maaf," cicit Envira pelan dengan kedua tangan menangkup wajahnya, ia merasa bersalah menuduh Erlangga sembarangan. Apalagi belum ada bukti pasti tentang sosok Erlangga yang merupakan Raka. Itu hanya khayalannya 'kan? Lagipula, mana bisa fisik seseorang berubah dengan satu orang yang sama?

"Gue bener-bener minta maaf," lirih Envira pelan sembari menundukkan pandangannya. "Gue gak bermaksud apapun, gue cuma ... cuma ..."

"Gakpapa, gakpapa," balas Erlangga tulus. "Tapi kamu harus janji."

"Janji apa?" Envira menengadah.

"Selalu yakin kalau saya bukan Raka. Calon kakak ipar kamu itu berbeda dengan saya dan kami tidak mungkin sama."

"Kenapa harus janji?" kekeh gadis itu pelan, menertawai dirinya sendiri. "Lagipula setelah ini, kita juga gak bakalan ketemu lagi. Kita akan jalanin kehidupan masing-masing lalu--"

"Lalu membiarkanmu bersama dengan orang lain?" Mata Erlangga berkilat marah, mata elang itu menghunuskan pedangnya pada Envira.

"Cuih." Erlangga berakting seolah-olah sedang membuang ludah. "Saya mana sudi begitu."

"Kita orang asing, Erlangga. Jangan bikin gue marah," kesal Envira dengan geraman kecil. "Lo berkata seolah-olah kita bakalan bersama dikemudian hari. Kita berdua sama-sama orang asing, camkan itu!"

"Saya cuma mau berharap sama kamu, itu gak boleh? Lagipula, kamu masih anggap saya orang asing? Apa kata 'teman'-pun begitu sulit diucapkan?" Suara Erlangga berubah, sedikit serak, menahan emosi.

"Ya, sulit." Gadis itu meneguk ludahnya, berusaha tetap memasang ekspresi tegas. "Kita baru bertemu kurang lebih ..."

Envira terlihat berpikir sebentar. "3 jam dan lo secara gak langsung bilang kalau lo suka sama gue?"

"Cinta," ralat Erlangga cepat. "Saya cinta sama kamu."

"Itu terlalu cepet!" pekik Envira tertahan—ia takut seluruh penumpang kereta terbangun malam ini. "Lo gila ... atau gue yang gila karena ketemu sama lo?"

"Seseorang cuma butuh 90 detik sampai 4 menit untuk jatuh cinta, saya pernah baca web-nya."

"Tapi lo gak bisa menyimpulkan secepat itu kalau lo cinta sama gue. Mungkin itu semua cuma obsesi dan lo gak bisa bedain itu. Atau bahkan cuma nafsu aja," balas Envira tak mau kalah. "Lagipula, gue sama sekali gak percaya sama cinta pandangan pertama, itu semua cuma omong kosong belaka."

Erlangga berdehem, menghela napas dan menghembuskannya perlahan. "Yang pertama, saya masih sehat dan saya bisa bedain mana cinta, suka, obsesi, dan nafsu. Saya yang ngerasain, saya yang tahu."

Tatapan lelaki itu tepat pada manik mata Envira. "Saya juga gak percaya sama cinta pandangan pertama. Seperti yang kamu bilang, cinta pandangan pertama itu omong kosong."

Tatapan Envira mulai melunak.

"Cinta pada pandangan pertama bukanlah cinta sesungguhnya, itu nafsu. Neurotransmitter norepinephrine yang menyebabkan perasaan berdebar dan berkeringat pada telapak tangan. Semua berpikir bahwa hal itu merupakan tanda kita jatuh cinta pada pandangan pertama, itu salah. Itu cuma salah satu reflek saraf," ucap Erlangga membuat Envira membeo. Benar, Erlangga merupakan jelmaan Einstein ternyata.

"Setelah itu, orang yang berpikir kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama itu bakalan cepat bosan. Perasaan itu sementara, tidak akan tahan lama. Tapi perasaan saya beda, saya gak langsung jatuh cinta sama kamu pas pertama kali lihat kamu. Saya kesal malah, bahkan nganggap kamu orang aneh yang tiba-tiba nuduh sembarangan," jujur Erlangga yang membuat Envira berdecak kesal dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Terus inti dari lo ngomong sepanjang itu apa? Gue gak mungkin percaya gitu aja," celetuk Envira sombong. Lelaki di sebelahnya mendesah malas.

"Intinya ... hey! Saya cinta sama kamu. Pikiran pokoknya udah di awal pembahasan tadi, selanjutnya cuma deskripsi aja."

Envira mengumpat kecil. Kenapa jadi merambat ke arah sana? Pelajaran bahasa Indonesia? Yang benar saja?

Tiba-tiba Erlangga beranjak dari duduknya dan pergi, sepertinya ia hendak ke kamar kecil atau bagaimana?

Di sisi lain suara notifikasi pesan dari ibu Envira muncul. Dengan satu tarikan napas, gadis itu mulai menguatkan hatinya, dan membaca.

Ibuk
Nduk.

Me
Nggih, Buk?

Ibuk
Masmu itu.

Me
Maksudnya apa, Buk?

Ibuk
Argolawu gerbong 4.

Sebuah senyuman manis tertarik secara tidak sadar, ia bersyukur sekali. Entah untuk apa.

***

"Apa gue minta nomernya Mas Raka aja?"

"Dia suka minuman ringan kayak gini gak ya?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 08, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Double YouWhere stories live. Discover now