Aisya pulang

996 124 12
                                    

Setelah beberapa hari berada di rumah sakit, Aisya sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Warna. Sejak di rumah sakit, dokter cantik itu lah yang merawatnya dengan telaten. Aisya merasa sudah seperti teman sendiri, karena Dokter Warna sangat humble padanya.

Saat sampai dirumah, Aisya hendak beranjak berjalan sendiri karena dirasa badannya sudah sehat. Tapi Syarif langsung mencegahnya, dia berlari ke pintu mobil sebelah kiri lalu mengangkat tubuh perempuan itu hingga berada di gendongannya. Ibundanya dan Marzia hanya tersenyum geli melihat aksi Syarif yang baru dirasakan oleh mereka setelah menikah, laki-laki itu awalnya sangat-sangat lempeng.

"Kamu ih, jadi malu sama yang lain." Ucap Aisya yang sudah bersemu merah pipinya.

"Daripada kamu capek. Pilih mana?"

"Aku gak mau milih, pilihanku sejak dulu cuma kamu kok." Jawab Aisya jauh lebih receh. "Kamu gak berat gendong aku, Kak? Aku ngerasa berat badanku makin nambah setelah beberapa hari ini kerjaanya cuma makan aja."

"Tuh kamu paham akhirnya." Jawab Syarif yang dapat cubitan di pipinya.

"Gak ikhlas nih ceritanyaaa?"

"Ikhlas, Humairakuu." Ucap Syarif setelah meletakkan tubuh Aisya diatas ranjang dengan perlahan. "Kamu istirahat dulu ya, aku anter bunda sama Marzia pulang dulu. Sehabis itu aku masakin buat kamu, mau makan apa?" Tambahnya sembari mengusap puncak kepala Aisya yang sedang terbaring.

Namun pandangan perempuan itu berubah nanar, "Kak, sejak kapan kamu gak istirahat?" Tanyanya sembari mengusap peluh yang ada dikening laki-laki tercintanya. "Aku mau kamu istirahat disini," ucapnya sembari menepuk ranjang disampingnya. "Kamu terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini karenaku. Aku gak mau saat aku sudah sehat, kamu masih melakukan itu semua." Ucap Aisya yang merasa sangat memberatkan Syarif.

Syarif tersenyum, dia mencium kening Aisya dengan penuh kasih sayang, ya Aisya bisa merasakan itu. Syarif sangat menyayanginya, dan dia sangat beruntung memiliki laki-laki itu. Sangat beruntung.

"Aku mencintaimu. Aku pergi dulu ya jangan kemana-mana, Assalamualaikum." Syarif berpamitan, tidak menghiraukan ucapan panjang Aisya tadi.

Bukannya tidak menghiraukan, tapi memang Syarif paling tidak suka kalau Aisya sudah membicarakan porsi pekerjaannya dibanding Aisya didalam rumah. Syarif tidak pernah mempermasalahkan hal itu.

***

"Assalamualaikum." Syarif sudah selesai mengantar ibu dan adiknya pulang, diambang pintu dia sudah menguluk salam. Tapi tidak ada suara yang menyahut. Tiba-tiba ada rasa khawatir, apa mungkin Aisya tertidur? Tapi jika iya, meskipun telat perempuan itu tetap akan menjawab. Tapi kali ini tidak, Syarif sudah menunggu jawaban salam dari Aisya, tapi tidak kunjung didengarnya.

Syarif pun bergegas lari kedalam rumah dan menuju kamar. Dibuka pintunya sesegera mungkin, tapi tidak mendapati Aisya didalam. Kemudian dia berlari menuju dapur, tiba-tiba pikirannya langsung mengingat lagi bagaimana Aisya terduduk dilantai dapur dan darah sangat banyak waktu itu. Takut. Ada rasa takut kejadian itu terulang lagi.

Tapi ketika melewati musholla kecil yang memang sengaja dibuat mereka dekat kamar, Syarif terhenti karena melihat Aisya sedang melaksanakan sholat sunnah dhuha. Perempuan itu dengan khidmat mensejajarkan kedua tangannya didepan dada, menahan suaranya yang serak.

"Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim... terimakasih Engkau telah hadirkan suami hamba dalam hidup hamba, terimakasih telah memilihkan imam yang sungguh luar biasa bagi hamba. Kesabarannya, ketangguhannya, cinta tulusnya, hamba mencintainya. Tapi mengapa hamba tidak bisa membalasnya sedikitpun, Ya Allah? Hamba hanya bisa memberatkan bebannya. Bahkan memberikan seorang anak untuk menghibur dirinya ketika penat pun, hamba tidak bisa. Ya Allah, berikanlah jalan-Mu." Suaranya serak dikala menutup doanya. Syarif yang menguping dari belakang hanya bisa menghela napas lemah.

"Kenapa kamu selalu berpikir kamu adalah beban, Sya? Aku mencintaimu, dan aku tidak pernah merasa diberatkan oleh kamu. Mengertilah, dengan bersamamu itu sudah menjadi hal luar biasa dalam hidupku." Ucap Syarif dalam hatinya, dia masih membiarkan perempuan itu membereskan mukenah dan sajadahnya.

Ketika berbalik, "Loh Kak, sejak kapan kamu disini?" Aisya menjadi salah tingkah, dia khawatir Syarif mendengarkan semua doanya.

Syarif yang tadinya berwajah lesu dan membuat Aisya sangat was-was berubah tersenyum. "Barusan aja, aku kaget kamu gak ada dikamar. Jadi nyariin kamu."

"Ooh..." Aisya yakin laki-laki itu tidak mendengar doanya.

"Gimana?"

"Gimana apanya Kak?" Tanya Aisya bingung.

"Kamu mau makan apa? Kita masak bareng." Ucap Syarif yang mulai memahami Aisya. Jika dia bilang akan memasak sendiri, Aisya akan memprotes lagi.

"Bareng? Beneran Kak?"

"Memangnya aku pernah berbohong?" Tanya Syarif balik dan dijawab Aisya dengan gelengan. "Yaudah langsung ke dapur aja ya. Kamu mau makan apa jadinya?" Syarif menuntun Aisya ke arah dapur.

"Nasi goreng aja deh." Jawab Aisya. "Oh ya, telornya kan habis?" Tanyanya.

"Udah beli kemarin, Sayang." Syarif membawa Aisya menuju kursi yang disiapkannya. "Kamu duduk disini, nanti kalo aku butuhin sesuatu, kamu ambilin di depan kamu itu ya." Jelas Syarif yang buat Aisya mengangguk mengerti. Perempuan itu tersenyum melihat semuanya.

"Kamu udah siapin semuanya didepan ini? Dan minta bantuanku ambilin? Gak guna banget sih aku." Ucapnya tapi dengan tawa. Dia melihat usaha Syarif untuk membuatnya berguna sedikit menggelikan.

"Udah diem."

***

"Gimana masakan kita?" Tanya Syarif setelah melihat Aisya selesai makan dan mereka mampu menghabiskan nasi goreng semuanya yang mereka buat.

"Masakan kamu kali kak, aku mah cuma ngeliat." Ucapnya juga masih dengan tawa. Lucu saja cara suaminya itu.

"Kan kamu ikut kerja juga, Humairakuu." Jawabnya.

"Iya deh. Oh ya Kak, besok kamu ngajar?" Tanya Aisya.

"Iya, ada rapat juga untuk ujian minggu depan." Jawab Syarif. "Kenapa?"

"Mmm, kalo aku ijin gak masuk dulu gimana, Kak?" Tanya Aisya.

"Ya gak masalah lah, Sayang. Kan kamu memang belum sembuh total. Guru-guru juga mengerti lah." Jawab Syarif.

Aisya tersenyum. Itu artinya dia bisa beraksi besok.

Tiba-tiba suara bel berbunyi, ada seseorang sedang bertamu. Syarif pun beranjak untuk membuka pintu, dan setelah sampai di pintu dan membukanya, dia melihat perempuan cantik tersenyum sumringah kearahnya.

"Assalamualaikum, siang Pak Syarif." Ucap perempuan itu.

"Waalaikumsalam, Dokter Warna. Ada yang bisa dibantu?" Tanya Syarif setelah melihat siapa tamunya.

"Mmm, begini, saya kesini cuma mau ngasih makanan, ini udah jam makan siang, tadi kebetulan lewat dan kepikiran Aisya. Gak mungkin ada yang masak dirumah kan. Jadi, ini makanan untuk kalian." Ucap Warna sembari menyodorkan dua kotak makanan.

"Tapi barusan kita sudah makan, Dok." Jawab Syarif.

"Oh gitu, terus gimana ini ya.. udah terlanjur saya beliin juga." Ucap Warna yang dari tadi wajahnya terlihat grogi.

"Yasudah kita makan bareng aja Dok, mari kedalam," ucap seseorang dari samping Syarif. "Kak gimana sih ada Dokter Warna kok gak dipersilahkan masuk." Aisya sudah membawa perempuan itu masuk kedalam rumah.

Syarif mengernyitkan alisnya untuk kesekian kali melihat sikap Warna. Ada yang aneh. Memang Warna pernah bilang bahwa mereka pernah berteman waktu SMP, tapi kenapa rasanya sekarang dia sengaja masuk terlalu jauh, jika dikata hanya seorang dokter yang merawat Aisya. Toh, Aisya sudah sembuh, dan hanya perlu check up seminggu sekali.

***

Hae gaeeees.
AiSyarif hadir juga loooh.
Kok aku ngerasa peminat mereka mulai berkurang ya? Kenapa ya? Padahal aku nunggu votenya 100+ untuk update, eh gak sampek segitu ternyata udah update wkwk.

Tunggu part selanjutnya yaaa❤❤

Regards,

Umi Masrifah

Warna di Selat GibraltarHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin