Pengorbanan untuk kebahagiaan

466 39 9
                                    

Aisya menatap kedalam ruangan, terlihat sosok perempuan sedang terbaring disana. Beberapa waktu lalu Warna sudah siuman dan bisa dibesuk oleh kerabatnya, termasuk Aisya dan Syarif yang menjadi orang pertama tau kabarnya. Tapi Warna hanya diam dan tatapannya kosong kelangit-langit.
Kejadian yang menimpa perempuan itu, membuat mentalnya terguncang dan mengalami trauma, polisi pun kesulitan mendapatkan keterangan darinya. Sedangkan kedua orang tua Warna begitu sedih melihat kondisi putri semata wayangnya itu, yang hanya diam dan memilih menangis.

Syarif pun pamit untuk pulang karena sudah larut malam.

Dalam perjalanan pulang, Aisya masih berpikir dengan apa yang terjadi pada Warna.

"Sudah Sya, polisi sedang mengusutnya. Kita serahkan pada tim penyidik.." Ucap Syarif yang tidak ingin istrinya itu berpresepsi aneh-aneh.

"Tapi kamu ingatkan Mas, saksi mata yang ada ditempat kejadian bilang kalo Warna mengalami kecelakaan. Tapi apa masuk akal, jika kondisi tubuh Warna normal dan baik, kenapa psikisnya nggak?" Aisya masih merasa ada yang aneh dari kejadian itu.

Perempuan itu pun memutuskan untuk memanggil Syarif dengan embel-embel "Mas" tidak lagi "Kak" seperti biasa, alibinya panggilan itu terdengar lebih romantis. Dan laki-laki itu hanya mengiyakan saja, selama ini Aisya sudah berapa kali mengganti nama panggilan untuk Syarif, mulai dari Mons, Kak Mons, Monster Senja, Sayang, dan lain sebagainya, tapi ujung-ujungnya juga tetap kembali memanggil Syarif dengan Kak.

"Syaa, sudah.. kita liat besok ya, gimana hasil penyidikan dari polisi, dan semoga Warna bisa dimintai keterangan. Semoga nggak ada apa-apa dengannya." Ucap Syarif.

"Hmmm." Aisya menggumam, Syarif sudah memperingatinya dengan pelan, sudah saatnya dia berhenti bicara. Jangan sampai laki-laki itu menghadiahinya tatapan intimidasi.

"Kamu lapar nggak?" Tanya Syarif yang merasakan perutnya mulai melilit.

"Kok kamu tau sih Mas?" Tanya balik Aisya.

"Aku ini tanya, kok malah balik nanya." Gerutu laki-laki itu.

"Iya iya, aku lapar. Dari tadi malah." Jawab Aisya yang menekan perutnya dengan jari telunjuk.

"Yaudah kita cari makan dulu ya, aku juga lapar."

"Loooh sama dong. Berarti kita jodoh nih Mas." Aisya menyentil lengan Syarif, seolah menyuruh laki-laki itu untuk berbahagia karena mereka sehati.

"Tadi polisinya juga bilang lagi lapar, berarti jodoh juga dengan kamu?" Ucap Syarif yang membuat Aisya mengernyitkan alis bingung. "Katanya kalo sama, berarti jodoh." Laki-laki itu memperjelas lagi ucapannya.

Kenapa dengan perempuan itu sih, padahal dia yang mengatakannya sendiri, tapi kenapa Syarif yang harus repot menjelaskan.

"Ouh." Aisya mengerti maksudnya. Kemudian dia berbalik, dan menatap ke depan, ke jalanan yang petang dengan seberkas sinar dari lampu jalan.

"Sya, jangan mulai absurdnya." Syarif gemas sendiri. Ingin sekali menggigit istrinya itu.

Entah kenapa, kelakuan Aisya yang terkadang absurd itu membuat Syarif kesal sekaligus gemas. Andai tidak sedang menyetir, perempuan itu sudah ditariknya kedalam pelukan, dan mendekapnya dengan sangat-sangat erat.

"Lapar aku Mas, gak bisa ngomong." Ucap Aisya lesu. Seperti tidak bersemangat untuk mengeluarkan suaranya, ketika mendengar suara perutnya lebih kencang.

"Okee. Kita makan penyetan ya." Syarif melihat warung penyetan di pinggir jalan.

Mereka turun dari mobil, Aisya sudah mengambil alih tempat duduk dan Syarif memesan makanannya.

Warna di Selat GibraltarWhere stories live. Discover now