Pasar Malam

640 66 15
                                    

"Sudah, berhenti nangisnya. Aku tidak memarahimu, atau menegurmu. Tapi dari tadi kamu terus-terusan menangis." Ucap Syarif yang ada disamping Aisya.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang, sedangkan Warna pamit lebih dulu ketika tau Syarif menghampiri mereka dirumah Alfa.

Dan Aisya terus menangis sesenggukan, bahkan Rubi gadis kecilnya Alfa berusaha menghiburnya agar tersenyum. Perempuan itu merasa menyesal telah meragukan cinta Syarif yang begitu besar padanya, hingga berusaha mencari perempuan sebagai penggantinya memberi keturunan. Tapi sekarang dia sadar, bukan itu yang diinginkan suaminya. Laki-laki itu menerima Aisya sebagaimana istri sempurna dalam hidupnya.

"Maafin aku, Kak.." Aisya menenggelamkan wajahnya di lengan Syarif yang sedang menyetir. "Aku sangat menyesal. Aku mencintaimu."

Kini lengan Syarif bergetar, sehingga membuat Aisya mendongak untuk melihatnya.

Sembari menghapus ingusnya yang hendak keluar, dan menahannya agar tidak menempel di lengan kemeja Syarif, perempuan itu bertanya "Kenapa?"

"Sudah berapa kali kamu bilang cinta? Aku tau kamu sangat mencintaiku, Sya. Sudahlaah." Ucap Syarif yang malah ingin tertawa melihat istrinya menangis.

"Tapi aku hampir saja kehilanganmu..." Aisya berhenti berbicara ketika Syarif menatapnya.

"Tidak ada yang akan kehilangan. Mengerti? Sudah, sekarang hapus airmatamu. Kamu mau kemana?" Tanya Syarif mengalihkan pembicaraan.

Akhir-akhir ini mereka memang jarang pergi berdua, apalagi sejak kejadian Aisya keguguran. Perempuan itu memilih berada dirumah dan diam-diam menghubungi Alfa.
Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi lagi setelah mengetahui langsung jawaban Alfa. Perempuan yang memiliki satu putri tersebut sadar bahwa tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta Syarif, dan menerima tawaran Aisya sama saja membuatnya menjadi duri dalam hubungan keduanya.

"Aku gak tau." Aisya berusaha menghapus airmatanya seperti perintah Syarif.

"WBL? Wego? pilih mana?" Tanya Syarif coba memberi referensi perempuan itu.

Setelah menangis, otaknya tidak bisa diajak berpikir keras.

"Wego? Kenapa tidak." Ucapnya sembari masih menahan ingusnya yang hendak keluar lagi. "Kak tisu kita habis?" Dia mencari tisu yang selalu disediakan dalam mobil, tapi ternyata kali itu tersisa hanya tempatnya saja.

"Iya kayaknya," dia melirik tempat tisu yang ditenteng Aisya, dan benar tempat itu kosong. "Kita mampir supermarket dulu. Kamu sih kebanyakan nangis, ingusnya ikutan keluar kan. Hmm."

"Kak, berhenti menggerutunya dan cepat sampai ke supermarket. Aku nggak bisa gini terus." Ucapnya.

Syarif pun menoleh dan melihat perempuan itu menahan ingusnya dengan kerudung yang dia pakai. Sembari bergidik ngeri, Syarif pun tancap gas. "Kita balik ke rumah dulu aja, aku nggak mau bawa anak kecil yang ingusnya dimana-mana."

Mendengar itu, Aisya pun menatap kerudungnya sudah penuh dengan bekas ingus. Ah menjijikan juga pikirnya. Sudah seperti anak kecil.

Akhirnya mereka kembali ke rumah sebelum pergi ke liburan dadakan mereka.

Sekarang tidak ada lagi memaksa Syarif menerima perempuan lain, atau juga tidak ada lagi mencari perempuan pengganti. Tidak akan ada. Aisya akan tetap menjadi satu-satunya perempuan yang dicintai Syarif. Meski dengan kekurangannya, Aisya akan berusaha menjadi istri sempurna bagi laki-laki itu.
Jika Syarif sudah menjadi suami sempurna, kenapa dia juga tidak melakukannya sebagai istri.

***

"Kak, ada dramulun. Naik itu yuk." Aisya menarik tangan laki-laki itu untuk mengikutinya.

Warna di Selat GibraltarWhere stories live. Discover now