03. Bukan Berarti Membuka Hati

5.6K 550 27
                                    

Sore di SMA Lentera Ilmu. Semilir angin menjatuhkan daun akasia di halaman sekolah. Cahaya matahari di sebelah barat menyembul kemerahan di balik awan. Dua murid keluar dari kelas 2B. Tampaknya murid terakhir yang pulang hari ini. Disusul kemudian seorang guru berjilbab coklat susu keluar dari kelas yang sama sambil membawa berkas di tangannya.

Guru itu langsung menuju kantor setelah memberikan jam tambahan untuk dua muridnya yang bandel. Sepi. Para guru telah meninggalkan tempat. Namun di mejanya, guru itu melihat Sasa yang sedang menekuni laptop.

"Ngapain, Sa?" tanya Rani, guru berjilbab yang juga kakak ipar Sasa.

Sasa yang terlihat sibuk mengabaikan pertanyaan Rani.

Sasa tidak sering berada di sekolah yang dikelola ayahnya ini. Hanya saja tadi ia diminta berbagi tentang pengalaman menulisnya kepada anak-anak. Daripada langsung pulang, ia memilih menunggu kakak iparnya yang merupakan guru di sekolah ini.

Sebenarnya Ayah juga meminta Sasa untuk ikut mengajar di sekolah ini, tetapi ia belum mengiyakan. Rasanya ia belum siap mental menjadi seorang pendidik. Jika hanya mengajar, mungkin bisa. Namun mendidik juga berarti mendewasakan orang lain melalui proses mengajar itu. Sasa merasa belum sanggup seperti ayahnya yang dipandang sebagai salah satu tokoh pendidikan ternama di negeri ini. Farel, kakaknya sendiri pun memilih menjadi dokter. Kakak iparnya yang justru mewarisi jiwa pendidik itu.

Rani melongok ke laptop Sasa. Dia mengernyit ketika melihat hasil browsing Sasa. "Aryasatya?"

"Heem," jawab Sasa tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. Matanya membaca informasi yang ada di dalamnya.

"Aku mau ketemu dia. Jadi cari info dulu," lanjut Sasa menjawab keingintahuan Rani.

"Oh. Riset novel baru?" tebak Rani yang tahu kebiasaan Sasa tiap mengerjakan proyek menulisnya.

Sasa menggeleng. "Ayah minta aku ketemu orang ini," jelasnya, masih dengan mata membaca informasi yang ditampilkan Google.

Kening Rani mengernyit. "Aku kepo, nih. Ngapain kamu cari-cari info soal Arya. Kalau nggak salah, dia itu dulu kakak tingkatku waktu kuliah, lho."

"Hah? Yang bener?" tanya Sasa. Ucapan Rani berhasil membuatnya mengalihkan pandangan.

Rani menganggukkan kepala.

"Gimana orangnya?" tanya Sasa penasaran.

"Sebenarnya aku nggak terlalu kenal, sih. Soalnya dia sudah semester akhir waktu aku masuk. Tetapi aku inget banget tentang Arya ini, soalnya teman-teman sering ngomongin dia," jawab Rani.

"Kenapa memang?" tanya Sasa lagi.

"Tampan dan dingin. Perpaduan yang sangat disukai gadis-gadis, kan?" Rani terkekeh.

Kali ini Sasa yang mengernyitkan dahinya. Kemudian dia menarik Rani duduk di sebelahnya.

"Lihat deh, Mbak. Info prestasi orang ini memang banyak. Tapi ... rumor tentang dia juga tak kalah banyak." Sasa menunjukkan beberapa berita hasil browsingnya.

Rani tampak berpikir setelah melihat beberapa berita di internet.

"Gay, ya? Kupikir bukan seperti itu. Meskipun dia agak dingin, tetapi ...." Rani berhenti sejenak. Sasa menahan nafas menantikan kelanjutan cerita kakak iparnya. "Aku pernah mendengar rumor tentang kekasihnya," lanjut Rani yang kemudian terdiam lagi, seperti sedang mengingat-ingat kejadian yang terlewat.

"Kenapa dengan kekasihnya?" tuntut Sasa.

"Meninggal. Bunuh diri," kata Rani seolah tercekik.

Mereka terdiam beberapa saat. Itu bukan informasi yang enak untuk dibahas. Namun, Sasa juga ingin tahu. "Kenapa?" tanyanya pelan.

I LOVE YOU -- Terbit -- Lotus Publisher Donde viven las historias. Descúbrelo ahora