05 : Salam dari Surat Pembawa Petaka

491 79 126
                                    

Juli, Akhir Musim Hujan, 2020

Tanganku masih gemetar saat baris demi baris isi surat Pengadilan Agama tercerna. Aku ragu, perihal melanjutkan kalimat berikutnya atau memilih menyudahinya. Sebab, tanpa aku inginkan, memori yang terbawa oleh surat ini berkejaran dalam ingatan. Menampilkan sebuah frasa baru, perihal menyesal memanglah selalu tak memiliki arti apapun. Demikian pula dengan kisah yang aku gambar sendiri.

Andai ... aku tidak pernah memilih pulang bersama Sean hari itu. Andai ... aku tidak memilih menyanggupi keinginannya menjemputku menuju sekolah. Ah ... andai aku masih bisa berandai-andai. Aku tidak akan menemukan diriku berada dalam kubangan yang penuh dengan harapan yang telah pupus. Berbalur penyesalan, aku terus tersaruk dalam hidup yang sama sekali tidak pernah terpikirkan akan menjadi jalan takdirku.

"Mama."

Sebuah tangan mungil menarik sweater berwarna cokelat yang telah 'berbulu' karena terlalu sering digunakan. Menariknya pelan, sangat lembut. Aku menoleh dan mendapatinya telah mengambil alih kesadaran. Padahal, belum genap setengah jam ia tertidur.

"Mama," ulangnya. Ia menarik sweater lebih kuat. Nada panggilannya yang disertai rengekan mulai terdengar. Bibirnya gemetar. Matanya berkaca-kaca.

Aku meraihnya dalam pelukan. Mengusap rambutnya yang hitam dan panjang. Menepuk-nepuk punggungnya pelan. Berusaha membuat ia kembali tidur. Sebab, mataku perih. Berembun dan siap meluncur melewati pipi dalam bentuk kristal. Membawa sesak yang menyeruak. Dan haram bagi si kecil manis dalam pelukanku melihat hal itu terjadi.

"Mama Yeye haus."

Aku kembali meletakkan tubuh kecil Yeye –panggilan kesayanganku– di atas tempat tidur. Bergegas mengambil air minum yang diminta Yeye. Dan yang terjadi adalah tangisku ruah, di dapur, sendirian. Seluruh hal menyesakkan akhirnya keluar tanpa bisa ditahan. Aku memukul-mukul dadaku, berharap nyeri yang ada di dada, tercungkil keluar. Agar tak terasa berat, agar tak semakin penat.

Surat dari Pengadilan Agama membuat hatiku kembali ketar-ketir. Sebab, jangankan menyerahkan Yeye pada keluarga mantan suamiku, berpisah sehari saja dengannya bisa membuatku gila. Bagiku, Yeye segalanya. Satu-satunya yang aku punya saat ini. Dan harta berhargaku yang hanya satu ini, pun ingin direbut oleh keluarga mantan suamiku. Apa mereka tak terlalu kejam padaku?

"Mama?" Suara Ayesha menginterupsi. Gadis kecilku yang dalam sebulan akan berulang tahun yang keempat itu menatapku heran. "Mama nangis?"

Ayesha gadis yang pintar. Ia perasa dan mudah mengetahui apa yang aku rasakan. Seperti kali ini, sekeras apapun aku berjuang agar ia tak melihat sisiku yang ini, nyatanya ia masih menemukannya.

"Ini, Yeye mau minum, kan?" Aku menyodorkan gelas berisi air putih pada Ayesha. Ia meraihnya dan meneguknya hingga tandas. Setelah memberikan gelasnya padaku, Ayesha memeluk kakiku.

"Mama jangan nangis. Yeye sedih." Ayesha memelukku dengan erat.

"Mama cuma kelilipan. Yeye mau buah? Biar Mama kupas ya." Aku massih mencoba berkilah. Nyatanya, Ayesha sama sekali tidak melepaskan pelukannya: ia bergeming. "Kenapa sayang?"

"Mama jangan marah ya? Janji?"

Aku mengernyit. Aku berjongkok di hadapan Ayesha, kutatap matanya yang berwarna emerald. Mata indah yang entah ia dapat dari mana. "Janji. Tapi kenapa sayang?"

Ayesha nampak berpikir sejenak. Sepertinya ia ragu mengatakan apa yang ada dalam benaknya. Namun setelah aku mengecup pipinya yang chubby, Ayesha tersenyum dan mau melanjutkan pembicaraan.

"Kemarin Yeye main sama Putri, anaknya Bude Yati yang punya warung itu. Waktu ayahnya Putri pulang, dia dikasih mainan boneka barbie sama ayahnya."

How to be a Perfect Mama? [OSH x Krystal Jung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang