13

95.8K 4.2K 252
                                    

Fera berjalan malas ke arah ruangan Yoga. Sebenarnya ia tadi menolak, tapi karena ancaman yg diberikan Yoga membuat Fera mau tidak mau harus menuruti.

Tokk tokkk.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam, masuk aja." Sahut  Yoga di dalam sana yang dapat didengar Fera.

Fera masuk ke dalam ruangan lalu duduk di hadapan Yoga. Menatap Yoga yang duduk dengan menampilkan wajah datarnya membuat Fera bertanya-tanya.

"Bapak kenapa ya manggil saya?" tanya Fera.

Yoga menghembuskan nafas kasar lalu membuang muka kearah lain. Dan itu membuat Fera tambah binggung.

"Kamu tahu kesalahanmu apa?" tanya Yoga tanpa menoleh kearah Fera.

"Apa?"

"Sebentar lagi kita menikah, kamu malah asyik-asyikan boncengan bareng pria lain. Begini cara kamu tidak menghargai saya?"murka Yoga membuat Fera yang awalnya ingin bercanda ia urungkan.

"Cuma temen" balas Fera.

"Kamu tidak lihat cara dia memperlakukan kamu, apa ada rasa sahabat disana? Tidak Fera, tidak sama sekali." Yoga menatap tajam kearah Fera.

"Saya pikir kamu paham, bagaimana cara dia memperlakukan kamu" lanjutnya.

Fera malas, datang ke sini hanya untuk dimarahi gak jelas seperti ini. Benar ya kata Nando, cemburu itu bisa membutakan hati seseorang.

"Yaelah Pak, cewe kaya saya gak pantes dicemburuin." Fera merendahkan dirinya. Lagi pula, selama ini hidup Fera aman-aman aja tanpa cinta.

"Kata siapa?"

"Saya lah. Ngapain cemburu, ntar juga bakal nikah."

Yoga tersenyum miring. "Dan kamu bakal saya larang deket pria manapun."

"Larang aja, terserah Bapak."

Tiba-tiba Yoga beranjak dari kursinya lalu mendekati Fera dan menariknya ke dalam pelukannya, membuat Fera melebarkan matanya. Belum terbiasa.

"Saya gak suka kamu deket Reno lagi," bisik Yoga tepat di telinga Fera.

Fera gugup dengan keadaannya seperti ini, ia berusaha mendorong tubuh atletis Yoga namun gagal. Yoga semakin mempererat pelukannya dan menyandarkan dagunya di bahu Fera.

"Pak, Fera sesek" lirih Fera, membuat Yoga melepaskan pelukannya. Bukan merasa sesak, lebih tepatnya risih. Yoga baru sebagai calon, bukan suaminya. Seenaknya dia nempel seperti kutu.

Fera mengatur nafasnya, lalu menatap Yoga. "Mau bilang apa lagi?"

"Kamu harus ingat, sebentar lagi kamu jadi istri saya. Jangan berusaha dekat laki-laki lain, kamu pasti paham, gimana rasanya jadi saya. Jangan membangkang kalau dikasih tahu," celetuk Yoga terkesan egois.

Apa Yoga sudah jatuh cinta padanya? Entahlah, Fera bimbang. Terkadang Yoga bersikap manis padanya dan menunjukkan sikap seolah-olah sangat mencintainya. Mungkin Fera salah mengartikan semua sikap gurunya itu padanya. Tak ada ungkapan apapun dari mulut Yoga langsung, atau mungkin Yoga gengsi mengatakannya.

"Bapak masih marah sama saya?" tanya Fera dengan sejuta keberaniannya setelah melihat kemarahan Yoga yang hanya berdurasi beberapa detik lalu.

"Masih, saya kesel banget sama kamu. Apalagi liat kamu sama bocah tengil itu"

Fera terkekeh dalam hati melihat Yoga, rasanya ia ingin mendengar  Yoga menyatakan cinta padanya. Padahal dirinya sendiri tidak tahu bagimana isi hatinya sendiri.

Yoga mendekati Fera, menarik pinggangnya lalu menatap matanya intens. Namun mata Yoga beralih menatap bibir ranum milik Fera yang belum pernah ia sentuh.

"Saya gak suka berbagi, kamu itu milik saya."

Fera yang melihat perlakuan Yoga merasa suhu tubuhnya naik karena takut, bahkan Yoga semakin merapatkan tubuhnya. Menatapnya dengan begitu dalam, membuat jantung Fera berdetak lebih cepat dari biasanya.

Fera yang merasakan firasat buruk langsung mendorong Yoga menjauh dari dirinya, ---dan berhasil.

"Fera harus ke kelas Pak, sebentar lagi masuk" ucap Fera gelagapan lalu berlari keluar dari ruangan Yoga.

"Sabar, kalian belum sah. Jangan main nyosor aja bibirnya" batin Yoga sambil menepuk bibirnya pelan.

____

"Fera lo darimana aja?" tanya Jihan yang tengah mendapati Fera baru saja masuk ke dalam kelas setelah kepergiannya waktu istirahat tadi.

"Gue dari perpus, baca-baca buku biologi buat bekal ulangan besok" jawab Fera bohong. Untung saja ada banyak alasan yang terlintas di otak Fera. Seengaknya tidak menjadi hal yang unfaedah.

"Gue mah ulangan gak terlalu mikirin sih Fer, kan ada lo. Ya, bisalah lihat dikit-dikit." Muti terkekeh sambil menepuk pundak Fera dengan keras.

"Eh Fera, plisss ini gue di dm kakel kita" pekik Jihan histeris.

"Jangan lebay gitu deh Ji, ntar ilfeel tau kakel lihat lo gini" Muti merebut ponsel Jihan dan membaca isi dm instagramnya.

"Wait, ini serius. Gila men, kak Vigo." Muti melongo.

"Nembak lo?" Fera melayangkan pertanyaan itu pada Jihan.

"Enggak sih, ngajak nge-date aja. Tapi gue gak yakin, dia kan orangnya cuek, pendiem lagi. Terus gue pecicilan begini." Jihan tampak murung karena seolah dirinya itu buruk. Padahal mah banding-bandingin diri sendiri sama orang lain gak akan ada ujungnya.

"Lo samperin aja, masa ngajak nge-date lewat dm."

Jihan menimang-nimang ucapan Fera barusan. "Tapi temenin ya, soalnya kan temen dia ganteng-ganteng."

Muti menoyor kepala Jihan. "Dih, ngajak ketemunya sama kak Vigo aja. Pinter dikit sayang." 

"Pak Sri sebentar lagi sampai sini," seru salah seorang siswa yang duduk berada di pojok tepat di bawah jendela. Sehingga dirinya bisa memantau guru lewat jendela.

Semuanya langsung diam, lalu mengeluarkan buku pelajaran Ppkn. Dab berlagak seolah-olah sedang membaca materi sebelum pelajaran dimulai supaya mendapat apresiasi dari gurunya itu.

"Kalau mau mendapat pujian dari saya itu harus belajar yang bener, jangan pura-pura" celetuk pak Sri sambil berjalan menuju meja guru. Tak lupa menyertakan salam sebelum masuk kelas.

"Jangan heran, selain menjadi guru saya juga dukun" ucapnya membuat seisi kelas tertawa.

"Saya bisa mengetahui niat buruk kalian, apalagi mengurangi nilai kalian. Itu hal yang sangat mudah" kata pak Sri membuat seisi kelas bungkam dengan ancamannya.

"Yah gak seru pak Sri mah!" celetuk salah seorang siswi yang biasa menimpali guyonan dari guru nya itu.

"Minggu kemarin kalian kan selamat, gimana rasanya gak ada saya di kelas ini?"

"Jadi babu Pak, disuruh bersihin belakang sekolah sama pak kepsek."

"Makanya lain kali langsung ngerjain modul biar gak disuruh-suruh."

Inilah pak Sri, guru Ppkn yang bekerja sampingan sebagai dukun. Eh nggak deng, beliau hanya bercanda. Ia orang yang humoris. Karena hobinya menyanyi, ia bahkan menulis lirik lagu yang katanya trend di jaman mudanya. Lalu menyuruh para siswa maju ke depan satu-satu untuk menyanyi.

Tak jarang ada guru seperti dia. Kebanyakan guru mungkin hanya memberi tugas, belajar terus di kelas. Gimana murid mau semangat kalau gitu terus.

"Kalian tahu gak. Dulu saya itu kerja nya mijitin bule sebelum jadi guru. Dulu saya ikut kerja sama temen saya di Bali. Beh, tiap hari lihat yang bening-bening." Pak Sri mengatakan itu sambil tertawa. Itu mungkin salah satu alasan beliau jago bahasa Inggris tapi sayangnya dia lebih memilih mengajar ppkn.

"Kok istri Bapak bukan orang bule?"

Pak Sri tersenyum malu. "Kan saya suka nya yang hitam manis produk lokal."

My Husband Is A Math Teacher Where stories live. Discover now