18

80.3K 3.2K 90
                                    


"Guyss, ngerasa gak kalau---" ucap Muti terpotong karena sebuah tangan menimpuk kepalanya pelan, membuatnya kesal. Siapa lagi kalau bukan Jihan, si pemilik tangan jahil itu.

"Gak sopan banget sih lo jadi orang! Kebangetan emang dah," maki Muti mendapat kekehan kencang dari Fera.

"Lo sih, sok jadi orang indigo. Pake ngomong ngerasa-ngerasa. Emang ada aura negatif di kelas ini?" omel Jihan dengan sedikit melirik sebelah kanan kirinya.

"Ji, lo sarapan apa sih tadi?" tanya Fera seraya berusaha menahan tawanya.

"Kayak biasanya, telor dadar sama kecap.”

"Oh pantesan" Fera memanggut-manggutkan kepala, tanda mengerti. Namun di lubuk hatinya, ia tertawa karena tingkah polos Jihan.

"Pantesan apaan?" tanya Jihan penuh rasa penasaran.

"Pagi semua," sapa seorang gadis berambut hitam pekat se bahu tanpa dikucir. Ia meletakkan tasnya di samping Muti. Lalu duduk. Membuat perhatian Fera, Muti dan Jihan beralih padanya.

"Tumben lo berangkat jam segini?" heran Jihan sambil menatap jam tangan miliknya lalu beralih menatap Nadia.

Nadia menatap dengan senyuman kecil. "Tadi gue bangunnya agak kesiangan," jawabnya.

"Tapi lo sempetin buat mandi kan?" delik Jihan. Saking gemasnya, Muti dan Fera ingin menyumpal mulut itu dengan segera.

"Nad, lo bawa air?"

"Enggak, mau minum?” tanyanya.

"Gue butuh air buat nyiram otaknya Jihan, biar gumpalan yang menyumbat saluran di syaraf otaknya itu hilang. Kasian dia kalau gini terus, bisa merugikan orang sekitarnya" jelas Muti.

"Lo kira gue kena kanker otak? Dih amit-amit"cibir Jihan dengan mengetuk tangannya di kepala lalu diketukan ke meja tiga kali. Aneh, memang. Tapi patut disyukuri. Karena di dunia ini semakin banyak yang langka.

Muti dan Nadia terkikik geli melihat ke bobrokan Jihan, bahkan Muti lupa untuk melanjutkan perkataan yang akan ia ucapkan tadi.

Karena mereka asyik becanda, sampai tidak mendengar bahwa bel masuk sudah berbunyi. Itu tandanya waktu pelajaran tiba.

"Selamat pagi anak-anak" sapa seorang guru, wanita berumur sekitar 22 tahun yang merupakan guru termuda di SMA Darmawangsa. Beliau mengajar di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namanya adalah Della Faranisa, guru yang membuat Fera merasa tidak suka setiap kali melihatnya. Singkat cerita, saat itu dengan isengnya Fera mewarnai rambutnya dengan cat rambut berwarna blue black. Karena, di SMA Darmawangsa tidak melarang siswa mengecat rambutnya.

Kebetulan saat itu pertama kali bu Della mengajar di kelas XI IPA 2, waktu itu Fera dipanggil untuk maju ke depan kelas. Dan tanpa diduga, bu Della mengeluarkan gunting dari tasnya lalu memangkas rambut Fera yang di cat itu. Fera cuma bisa diam meski sangat merasa kesal dengan kelakuan bu Della. Ia memangkas rambutnya hingga sebahu, padahal susah payah Fera menjaga rambutnya agar panjang. Alasan bu Della saat itu tidak masuk akal, ia berkata bahwa "Saya tidak suka warna rambut baru kamu," itulah ucapnya. Bikin kesel kan?

Seperti itulah warna rambut Fera ketika pertama kali masuk di kelas XI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti itulah warna rambut Fera ketika pertama kali masuk di kelas XI.

Ingin sekali Fera melaporkan kejadian itu kepada pihak sekolah, namun niatnya ia urungkan. Karena, Fera tak mau berurusan dengan bu Della. Lagi pula sekarang rambut Fera lumayan agak panjang.

Setelah meletakkan tasnya di kursi guru. Bu Della langsung berdiri di depan kelas.
"Hari ini siapa yang piket?" tanyanya menatap satu persatu murid.

"Saya, Oja, Rani sama Fia Bu" sahut Aldo.

"Kenapa sampah di depan kelas itu tidak dibuang?" tegurnya.

"Biasanya kan dibersihin pak Hendra Bu," timpal Fera.

"Saya peringati ya, semua warga sekolah itu wajib membersihkan lingkungan sekolah. Tidak cuma pak Hendra yang membersihkannya sendiri. Dan kamu Fera, segera buang semua sampah yang penuh di tong sampah itu sekarang ke tempat pembuangan!" titahnya, menunjuk Fera.

"Lah kok saya Bu, hari ini kan bukan jadwal piket saya" protes Fera tidak terima.

"Kamu gak dengar peringatan saya tadi?!"

"Ya maaf Bu, kalau saya gak dengar peringatan Bu Della.” 

"Karena telinga saya ini agak sensitif kalau denger suara Ibu" lanjut Fera dalam hati.

"Cepat kamu buang!" suruh nya seenak hati.

Fera berjalan keluar kelas dengan sengaja menendang pintu kelas untuk mewakili rasa kesalnya tanpa perduli tatapan bu Della.

"Tau gini tadi gue bawa korek api dah. Biar bisa bakar sampah disini,"gumam Fera seraya mengumpulkan sampah yang berserakan di bawah karena tong sampah sudah penuh. Lagi pula kenapa mereka membuang sampah di tong yang sudah penuh? Lama-lama sekolah ini bisa dicap sebagai sekolah terkotor dan terjorok.

Fera mengangkat tong sampah itu sendirian, padahal lumayan berat dan kotor. Mau bagaimana lagi? Ia tak mau mendengar ocehan si kacang kedelai itu.

Ingin sekali menyeret tong sampah, tapi nantinya sampahnya jatuh semua kan berabe.

"Berasa artis lewat deh gue," ucapnya ketika menjadi pusat perhatian saat melewati beberapa kelas.

"Yaampun Neng, kok bawanya sendiri?" tegur pak Hendra, tukang kebun sekolah. Lalu ikut membantu Fera membawa tong sampah itu.

"Iya nih Pak, gak ada yang bantuin soalnya. Tpi gapapa, nyari pahala" ucap Fera dengan kekehan kecil.

"Betul juga ya Neng, berarti Bapak kalau kerja sendiri dapat pahala besar ya?" tanya pak Hendra membuat Fera menahan tawanya.

"Ya pasti itu Pak, makanya sering kerja sendiri."

"Lah Eneng, malah becandain Bapak balik.” Pak Hendra tertawa pelan.

Setelah membuang sampah, Fera kembali membawa tong sampah itu menuju kelasnya.

"Udah makan Neng?" tanya seseorang di belakang Fera.

"Alhamdulillah, udah Pak" jawab Fera terlebih dahulu tanpa melihat siapa yang bertanya. Karena ia menduga yang bertanya itu adalah pak Hendra.

"Gimana Neng?"

"Gimana apanya Pak?" tanya Fera lalu menoleh ke belakang dan sedikit terkejut.

"Gak kangen sama Bapak?" tanya Yoga dengan melempar pandangan geli kearah Fera.

"Enggak sih Pak," jawab Fera.

"Oh gitu ya, beneran gak kangen nih Neng?"

"Hayo? Bapak tadi nguping kan?" delik Fera dengan senyum mengejek.

"Saya gak nguping, cuma gak salah denger suara kamu aja" ucap Yoga membela dirinya.

"Yaudah, Fera pamit dulu Pak. Nanti kena marah kedelai hitam. Maaf ya Pak, Fera gak salim. Tangan Fera kotor," kata Fera lalu berlari dengan menyeret tong sampah hingga menimbulkan suara nyaring.

Yoga menatap Fera dengan mengeleng heran. "Kedelai hitam? Siapa sih?" gumamnya penasaran.

My Husband Is A Math Teacher Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang