16

81.5K 3.5K 43
                                    

Fera tak henti-hentinya mencari cara untuk mengetahui siapa pemilik nomor itu di internet. Ia men-scroll halaman web yang menyediakan beragam cara pelacakan, namun yang ia bisa hanya melacak lokasi pendaftaran nomor itu.

Untuk mengetahui posisinya, Fera tidak bisa. Ia tidak mampu dalam bidang tersebut, mungkin ia butuh seseorang yang benar-benar ahli.

"Fer, lo kenapa?"

Fera tersentak, "Eh gpp kok Mut" jawabnya tersenyum singkat.

Muti menempelkan telapak tangannya di kening Fera, sedikit hangat. Itulah yang dirasa.

"Lo sakit?"

"Suhu tubuh hangat bukan berarti sakit Mut. Gue gapapa, jangan khawatir."

"Lo gak ngerasa pusing? Mual? Sakit perut?"

"Enggak."

"Lo mau bohong sama gue?" delik Muti.

Fera beranjak dari tempat duduknya, mendekat ke Muti lalu menarik kedua pipinya kencang.

"Lo perhatian banget sih, makin sayang deh sama lo," kekeh Fera lalu pergi keluar dari kelas membuat Muti melongo, heran.

"Woy, lo mau kemana?" teriak Muti.

"Kemana-mana hatiku senang," jawab Fera membuat Muti gregetan dan mengejarnya cepat.

"Ngapain lo ngikut gue?"

"Suka-suka gue lah. Sebenarnya lo mau kemana sih?"

Muti menyamakan langkahnya dengan Fera, berjalan ke suatu arah. Yang ia hafal, itu arah jalan menuju kantin sekolah.

"Mau nyusul Jihan sama Nadia."

"Katanya gak laper? Tadi diajak mereka gak mau" cibir Muti.

"Lo juga ngapain tadi gak ikut?"

"Hmm, udah-udah. Gue males ngomong mulu."

Fera langsung menarik lengan Muti menuju kantin, ketika melihat keberadaan Jihan, ia berjalan kearahnya untuk gabung.

"Wihh, baksoo. Pengen gue, pesen ah." Fera tertarik dengan bakso yang dimakan Jihan, bakso super enak di SMA Darmawangsa.

"Gue juga mau Fer, satu" seru Muti, mengambil kursi, duduk di hadapan Jihan dan Nadia.

"Tadi katanya gak ma---"

"Kasihan para cacing penghuni perut gue. Dari tadi meronta pengen keluar," potong Muti.

"Fera kok mukanya agak pucet ya?" tanya Nadia setelah menatap Fera berjalan kearahnya membawa nampan berisi dua mangkuk bakso super pedas. Jihan dan Muti menoleh kearah Fera.

"Dia lagi sakit kayaknya, sakit jiwa" celetuk Muti.

"Entar lo bayar sendiri ya Mut, yang lain gue traktir." Fera meletakkan nampannya dimeja, menghirup aroma bakso yang memabukkan. Membuatnya ingin segera mencicipi.

“Yah masa gue gak ditraktir nih?” Muti mengembungkan pipinya seperti anak kecil.

Fera menarik kursi di sebelah Muti lalu duduk. "Gak jadi traktir, bayar sendiri aja. Oh iya, minuman nya lupa. Mut lo pesen dong es jeruk" suruhnya.

Muti beranjak dari tempat duduknya dengan malas dan berjalan kearah penjual es.

Jihan mengamati wajah Fera, ia mengecek apakah wajah Fera benar pucat.
"Yaampun Fer, muka lo pucat amat kaya mayat hidup."

Fera melotot ke arah Jihan dengan mengangkat sendoknya keatas. Rasanya ingin menggampar Jihan seketika.
"Gue lempar nih sendok, mau?!" ancamnya.

Jihan menutup wajahnya dengan tertawa pelan."Ehhh becanda gue hehehe.”

My Husband Is A Math Teacher Kde žijí příběhy. Začni objevovat