1 | White Days

6K 396 5
                                    

Jeon Wonwoo tidak tahu bagaimana caranya takdir berjalan. Orang bilang takdir berjalan seperti roda–terkadang berada di atas terkadang pula berada di bawah. Pria itu pikir kita mendapatkan jangka waktu tertentu untuk berada di atas kemudian berada di bawah dan kembali lagi di atas lalu ke bawah begitu seterusnya–begitu yang ia tahu dari yang ia lihat dari orang-orang di sekitarnya dan buku-buku yang ia baca di perpustakaan.

Tapi apakah keberuntungan miliknya memang tidak memiliki jangka waktu dan hanya di berikan untuk di cicipi sedikit alih-alih menghabiskannya?

Hari ini di peringati sebagai hari White Day yang biasanya di lewati tanpa ada kesan apapun baginya tapi kali ini di temani dengan sebuket bunga mawar putih dan sebatang coklat yang sama-sama berwarna putih lengkap dengan surat ala-ala secret admirer dengan inisial M di akhirnya. Seperti kebanyakan pria-pria normal lainnya–Wonwoo mulai berandai-andai siapa pemilik inisial M ini dan apakah ia mengenalnya atau apakah orang itu ada di sekitarnya.

Hingga pemikirannya berubah menjadi pemikiran berkepanjangan yang mengakibatkan keningnya mendapatkan kunjungan dari pulpen mahal milik Mr. Han yang pria itu lemparkan seakan pulpen itu adalah pulpen seharga persediaan ramyeon instan di apartemen Wonwoo.

Hari ini juga ia mendapatkan nilai sempurna untuk tes dadakan yang di adakan pada pelajaran Mr. Kim dan ia memberi nama lukisan itu White Admire sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Lalu berlanjut pada pelajaran Mr. Min yang di liburkan karena guru itu mendadak memilki urusan pribadi yang harus pria itu selesaikan secepat mungkin.

Meskipun mendapatkan tugas merangkum yang harus membuatnya meneguk dua gelas kopi sepanjang malam hingga menjelang pagi Wonwoo tetap merasa bahwa hari itu adalah hari keberuntungan yang akhirnya tiba juga. Ia tidak peduli jika berkesan ia selalu mendapatkan kesialan karena hidupnya berjalan biasa-biasa saja selama delapan belas tahun terakhir.

Kemudian hari ini ia pulang dengan berjalan kaki karena hari belum terlalu gelap dan ia ingin sedikit menghirup udara segar dalam perjalanan pulang sambil mendengarkan musik antik tahun 80-an lewat earphone yang terhubung dengan ponsel jadul keluaran awal tahun dua ribu yang entah bisa bertahan berlama lama lagi hingga ia harus melerakan ponselnya pensiun dan menggantikan dengan ponsel keluaran beberapa tahun lalu lewat kredit pinjaman.

Wonwoo berpikir uang paruh waktunya mana bisa membeli ponsel keluaran baru–ponsel dengan layar yang bisa di geser dengan jari saja ia masih tidak sanggup untuk membayarnya secara kredit. Ia bahkan berkuliah dengan uang yang di tinggalkan oleh kedua orang tuanya yang sudah bersatu dengan bumi ketika ia berumur lima tahun dan bertahan hidup dengan memakan ramyeon instan dan minum air putih.

Wonwoo pikir setelah hari White Day usai keberuntungan masih akan mengikutinya setidaknya hingga beberapa hari lagi tapi dugaannya belum tepat. Bahkan sebelum hari White Day usai keberuntungan itu pergi secara tiba-tiba ketika ia terbangun dengan kondisi yang tidak bisa di katakan baik–kedua tangan dan kakinya diikat bahkan rasanya nyeri karena ikatannya terlalu kuat, kedua matanya juga di ikat dengan sebuah kain dan mulutnya terasa kelu untuk berbicara karena tenggorokan terasa sangat kering.

Wonwoo tidak berdaya seperti seongok kantung sampah yang terbaring di lantai.

“Kau sudah sadar?” sebuah suara menarik atensinya dari aroma pinus yang menguar dari lantai yang menempel dengan pipi kanannya. Suara bariton yang sudah di pastikan milik seorang pria dan Wonwoo tidak mengenal suara itu sama sekali.

“Di mana aku?” tanya pria itu dengan suara tercekat.

“Kau berada di rumahku,” jawabnya.

“Mengapa aku ada di rumahmu? Apakah kau yang membawaku ke sini? Mengapa kau mengikatku? Siapa kau sebenarnya? Apa aku mengenalmu?” tanya Wonwoo lalu ia merasakan sebuah tangan mengelus pipiku kirinya.

“Kau terlalu banyak bertanya sayang,” ucap pria itu. “Aku pikir kau tidak banyak bicara karena aku jarang melihatmu berbicara dengan orang lain. Tapi tidak masalah–aku menyukai segala hal tentangmu.”

Wonwoo menenguk ludah–entah mengapa ada sensasi aneh saat pria itu mengatakan kalimat terakhirnya. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Tapi alih-alih menjawab pria itu malah melontar sebuah pertanyaan. “Kau menyukai hadiah kecil yang aku tinggalkan di lokermu?”

Wonwoo tercekat.

Yang benar saja–hadiah pertama yang ia dapatkan berasal dari pria gila yang telah membawanya ke tempat ini?

“Dan yah aku punya peraturan selama kau berada di sini,” tangan pria itu beralih untuk mengusap-usap kepala Wonwoo. “Pertama kau harus selalu menggunakan penutup mata dan hanya boleh melepaskannya saat kau berada di kamar mandi. Intinya kau tidak boleh melihat wajahku. Kedua kau tidak boleh pergi keluar tanpa ijin dariku dan ketiga kau tidak boleh berusaha atau mencoba untuk melarikan diri dariku. Jika kau menuruti semua peraturan yang aku berikan kau akan baik-baik saja. Mengerti?"

“Mengapa aku harus mengikuti peraturanmu?” tanya Wonwoo. “Mengapa aku harus berada di sini? Mengapa kau membawaku ke sini?”

Lalu ia merasakan benda kenyal membungkam mulutnya. “Kau hanya harus mematuhi peraturanku jika kau masih ingin selamat dan karena kau berani membantah aku akan memberikan satu peraturan tambahan sebagai hukuman. Peraturan ke empat turuti semua perintahku.”

Wonwoo menlongos kasar. “Kalau begitu aku mempunyai satu peraturan jika kau ingin aku menuruti semua peraturanmu. Peraturannya adalah kau tidak boleh menyentuh apalagi menyetubuhiku apapun itu alasannya.”

“Baiklah,” Wonwoo merasakan orang itu berbisik di telinganya. “Tapi peraturanku yang nomor empat telah mengalahkan peraturanmu. Aku dapat melakukan apapun yang aku mau dan kau harus menuruti semua perintahku apapun itu. Dan sekarang aku ingin kau menjadi milikku untuk selama-lamanya. Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku–hanya aku. Kau mengerti.”

“Mengapa kau melakukan semua ini?” tanya Wonwoo entah untuk ke berapa kalinya. “Dan apakah aku harus dalam keadaan terikat seperti ini selamanya.”

“Besok pagi ikatanmu akan terlepas saat kau bangun dari tidur,” jawab pria itu. “Dan sekarang sudah waktunya tidur untuk tuan putri.”

Ia mengangkat tubuh Wonwoo dengan mudah dan membawanya entah kemana–mungkin ke kamar tidur karena dia bilang sekarang waktunya tidur tapi Wonwoo bahkan tidak tahu sekarang jam berapa dan sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri sebelum menyadari bahwa ia berada di tempat yang berbeda.

Menit berikutnya ia merasakan tubuhnya jatuh ke atas tempat tidur dengan gaya pantul ringan akibat per yang berada di dalam spring bed tapi walaupun sudah berada di tempat yang nyaman–kedua kaki dan tangan yang terikat rasanya sama tidak nyamannya dengan keadaan berbaring di atas lantai beberapa menit lalu.

Apa aku harus benar-benar menunggu besok untuk melepaskan ikatan ini? pikir Wonwoo.

“Sekarang kau harus tidur,” Wonwoo merasakan tangan pria itu melampirkan selimut tebal menutupi tubuhnya. “Besok pagi akan menjadi awal perjalananmu bersamaku. Kau harus menyiapkan dirimu. Beristirahatlah.”

“Kau akan meninggalkanku sendirian di sini?”

“Kau ingin aku menemanimu tidur ya?” ia mendengar suara pria itu dengan nada mengoda. “Baiklah aku akan tidur di sampingmu.”

“Bukan begitu maksudku," ucap Wonwoo buru-buru. “Dalam keadaan terikat seperti ini pasti aku membutuhkan bantuan. Misalkan saja saat aku terbangun di tengah malam dan merasa haus. Melihat saja aku tidak bisa.”

“Hm begitu ya,” ada nada kecewa pada kalimatnya. “Aku akan tidur di sofa. Kau hanya perlu memanggilku jika membutuhkan sesuatu.”

“Dan siapa namamu Tuan?” tanya Wonwoo. “Bagaimana aku harus memanggilmu?”

“Mingyu” ucapnya. “Kau cukup memanggilku Mingyu. Hanya Mingyu.”

Tuan Mingyu apa yang kau rencanakan? pikir Wonwoo.
.
.
.
.
.
To be continued..

[✓] Stockholm Syndrome | MeanieDonde viven las historias. Descúbrelo ahora