8 | Over Protective

2.2K 237 2
                                    

Pagi itu Wonwoo terbangun dengan perasaan yang tidak biasa–mungkin karena itu adalah kali pertamanya ia kembali terbangun di apartemennya yang kecil dan mungkin itu menjadi kaki terakhirnya Wonwoo mendapati dirinya terbangun di sana. Tirai putih di jendela kamarnya yang memang sengaja ia biarkan terbuka sepanjang malam melambai-lambai menyapanya–mungkin juga hanya memberikan Wonwoo salam perpisahan sebelum Mingyu menjemputnya nanti. Wonwoo tidak tahu bagaimana pria itu atau apa yang dia lakukan sekarang–setelah Wonwoo meminta satu malam untuk ia habiskan sendirian di apartemennya yang sudah ia tempati nyaris tujuh tahun lamanya ia sudah menghilangkan Mingyu dari kepalanya.

Namun pagi itu di iringi suara kicauan burung yang biasanya bertengger pada ranting pohon di luar sana–Mingyu dengan mudahnya masuk kembali ke dalam kepalanya dengan hanya Wonwoo melihat ke luar jendela bahwa malam sudah berakhir dan pagi menyambutnya dengan kenyataan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Matanya kemudian menemukan kalender pemberian Nyonya Jeon yang tinggal di bawah masih tertempel dengan apik di dinding–Wonwoo menyadari mungkin suatu hari saat ia melihat kalender itu benda itu akan memperlihatkan tanggal yang sudah kadaluarsa dan mungkin Wonwoo tidak akan pernah bisa menggantinya dengan kalender tahun depan sekalipun.

Wonwoo ingat pagi ini dia memiliki kelas Mr. Min yang kemungkinan besar akan mencarcinya karena absen di kelasnya cukup lama–karena dirinya malas berdebat dan menceritakan kronologis ulang kenapa ia harus meninggalkan kuliahnya untuk sementara Wonwoo memutuskan untuk membolos hari ini. Lagipula ia mempunyai kegiatan yang sangat penting–menikmati detik-detik terakhir di apartemennya sebelum Mingyu membawanya pergi dengan koper besar berwarna hitam yang kini tergeletak di sudut ruangan itu. Mingyu sudah membuat kesepakatan dan peraturan baru dan Wonwoo tentunya sudah menyetujuinya–meski mungkin saat itu otak Wonwoo tidak berfungsi dengan baik.

Wonwoo menuangkan air ke dalam teko dan menyalakan kompor di bawahnya–tangan kurusnya kemudian menarik pintu lemari penyimpanan dan menemukan stick mie instannya di sana–Wonwoo mengambil satu untuk sarapannya pagi ini dan memasukkan sisinya ke dalam koper untuk ia bawa nanti. Sambil menunggu air di dalam teko mendidih Wonwoo memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada temannya yang juga akan hadir di kelas Mr. Min pagi itu–bukan pesan SOS hanya pesan untuk mengabari bahwa ia tidak akan bisa datang ke kampus hari ini untuk kelas manapun. Pikirannya sudah cukup kalut tanpa mendengarkan penjelasan dari dosen sekalipun.

Wonwoo ingat mereka akan membawa barang-barang Wonwoo ke apartemen Mingyu saat pria itu selesai dengan kelas terakhirnya dan kemudian mereka akan kembali menjalani hubungan mereka yang tidak biasa. Terkadang selalu ada pemikiran untuk membawa kasus ini ke kantor polisi terbesit di benak Wonwoo namun karena ia terlalu malas berurusan dengan hukum dan segalanya akan semakin rumit saat Mingyu menggunakan pengaruhnya untuk memenangkan kasus itu–bisa salah Wonwoo yang di tahan atas kasus pencemaran nama baik. Lagipula Wonwoo tidak memiliki bukti pasti atas kejahatan Mingyu–ia sendiri juga tidak tahu bagaimana ia bisa masuk ke dalam lingkaran pria itu.

“Bagaimana bisa hidupku menjadi serumit ini?” Wonwoo bermonolog sambil menatap keluar jendela.

Suara nyaring dari teko menandakan bahwa airnya sudah siap–Wonwoo kemudian menuangkan air panas itu cup mie instan-nya dan asap langsung mengebul dengan aroma khas yang Wonwoo ingat di luar kepalanya. Ketika kembali meletakkan teko itu di atas kompor aroma mie instan itu masih bisa memanjakan indra penciuman Wonwoo dengan sensasi bergejolak di perutnya–detik berikutnya ketika Wonwoo mengambil sumpit dari laci penyimpanan ia merasa bahwa ia merindukan aroma steak daging dan juga aroma pinus yang melekat pada tubuh Mingyu.

“Aku ini kenapa?” Wonwoo mengampit mie-nya dengan sumpit dan menikmati sarapannya pagi itu dengan pemikiran tentang Mingyu.

Ketika pagi menyingsing dan sore datang dengan rintik hujan yang turun membahasi jalanan kota–Wonwoo mendengar sebuah ketukan di pintu apartemennya. Pria yang pernah mengklaim dirinya sebagai pria yang berbeda pada Wonwoo kini berdiri di hadapan Wonwoo dengan kegusaran yang terpampang jelas di raut wajahnya–Wonwoo pikir pria ini kesal karena hujan yang belum memberikan tanda-tanda akan berhenti atau karena Wonwoo yang tidak beranjak sedikitpun dari apartemennya. Sebuah payung merah di tangan kanannya membuat sebuah genangan kecil di depan pintu apartemen Wonwoo tapi bukan itu fokusnya–di samping ujung payung itu bercak darah menghiasi sepatu hitam Mingyu.

“Kau sudah siap?” pertanyaan itu sebenarnya bukan pertanyaan yang ingin Wonwoo dengar dari Mingyu–jadi ia hanya mengangguk pelan sebagai jawab.

“Aku akan mengambil barangku lebih dulu,” Wonwoo mundur selangkah. “Kau masuklah selagi menunggu aku bersiap.”

“Barangmu hanya segitu?” mata Mingyu menunjuk pada koper besar yang Wonwoo tarik dan Wonwoo hanya mengangguk. “Bagaimana kau bisa bertahan di tempat sekecil ini dengan tetangga yang sama sekali tidak ramah Wonwoo-ssi–beruntungnya kau akan tinggal bersamaku setelah ini. Ayo kita pergi dari tempat ini sayang.”

Wonwoo mengikuti langkah Mingyu meninggal apartemennya–ia menggenggam erat kunci di tangannya sepanjang jalan menuju mobil Mingyu yang terparkir di depan bangunan apartemen Wonwoo. Ketika mobil itu melaju membelah hijau yang turun di depan mereka Wonwoo tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya tentang bercak darah pada sepatu Mingyu–salah satu kesepakatan mereka untuk tidak menyembunyikan apapun pada masing-masing membuat Mingyu tanpa beban menjawab. “Aku habis membunuh–itu bukan masalah bukan bagimu?”

“Mingyu astaga!” Wonwoo memekik. “Mengapa kau melakukan ini?”

“Kau tidak bertanya siapa yang aku bunuh?”

“Siapa?”

“Park Soobin.”

Wonwoo tercekat di tempatnya.

“Gadis yang kau kirimi pesan pagi ini,” Mingyu melanjutkan. “Sekarang bersama dengan kita di dalam mobil. Dia di belakang–maksudku di bagasi.”

Wonwoo enggan bertanya lebih lanjut–sensasi aneh itu sudah terlanjur menyebar di perutnya. Ia tidak habis pikir mengapa Mingyu melakukan hal itu–apakah karena Wonwoo mengirimkan pesan pada gadis itu tapi perjanjian mereka Wonwoo hanya tidak boleh berhubungan dengan pria manapun selain Mingyu. Seakan bisa membaca isi kepala Wonwoo–Mingyu berucap saat mobil yang mereka tumpangi sampai di depan bangunan apartemen Mingyu. “Aku hanya memberikannya pelajaran karena telah menyukaimu Wonwoo-ssi. Tidak ada yang boleh mencintaimu selain aku–kau dengar itu?”

Wonwoo memutuskan untuk tidak menghiraukannya–pria itu mengambil koper yang semula Mingyu letakkan di kursi belakang. Kini ia tahu alasan mengapa Mingyu meletakkan kopernya di sana alih-alih di dalam bagasi–karena tempat itu sudah penuh sekarang. Penuh dengan hasil kejahatan yang telah pria itu lakukan–Wonwoo pikir hanya sampai di situ kejahatan Mingyu hari ini tapi tubuhnya langsung melemas seketika saat Mingyu menuntun Wonwoo menuju kamar yang akan mereka tempati berdua. Wonwoo membeku menatap borgol dengan perak mengkilap yang tergantung di ujung headboard-nya. Wonwoo juga merasakan desiran aneh saat Mingyu yang berdiri di belakangnya mendekat ke telinganya. “Ini kamar untuk kita berdua. Sebuah kamar yang hanya kita tempati jika aku ingin melakukannya dan sekarang aku ingin melakukannya sayangku.”

“Apakah peraturannya masih sama?” Wonwoo menoleh sedikit pada Mingyu.

“Hm,” Mingyu mengangguk. “Aku pikir kau akan lebih menyukai borgol daripada tali sayangku.”

Untuk selain kalinya Wonwoo memohon padanya. “Tolong lakukan dengan cepat Mingyu-ssi.”
.
.
.
.
.
To be continued..
.
.
.
A/n ;
Sekarang kalian tahu alasan kenapa Wonwoo diem ajah walaupun Mingyu atur dia ini-itu kan?

[✓] Stockholm Syndrome | MeanieDove le storie prendono vita. Scoprilo ora