10 | Still Same

3.1K 262 3
                                    

5 tahun kemudian..

Wonwoo duduk di salah satu bangku cafe yang terdapat di luar ruangan–secangkir green tea latte yang isinya tinggal setengah cangkir sudah mendingin terkena tiupan angin sore yang berhembus menerbangkan anak-anak rambut Wonwoo yang berwarna sekelam malam. Sepiring beef stroganoff-nya hampir tidak tersentuh sedikitpun karena tangannya yang telaten sibuk melukis seorang pria di meja sebelah yang memiliki berambut pirang yang tengah memangku putrinya yang sama-sama berambut pirang sambil menunjuk beberapa bentuk awan berbentuk menarik–sesekali si bocah cekikikan saat sang ayah mengatakan hal yang lucu dalam bahasa yang tidak terlalu Wonwoo pahami.

Ketika sang pria memutuskan untuk meninggalkan meja dan pesanannya yang terbilang masih banyak–Wonwoo memutuskan untuk melanjutkan sketsanya dengan menggunakan metode mengingat-ingat alih-alih mengikuti kemana pria dan anaknya itu pergi.

Selesai menggambarkan sketsanya hari itu Wonwoo segera membubuhkan tanda tangannya di sudut kertas sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup kembali buku gambarnya. Seorang pelayan terlihat membereskan piring dan gelas bekas si pria dan anaknya yang sudah pergi entah kemana–Wonwoo melihat tangan pelayan itu memasukkan uang tips ke dalam saku celemeknya sebelum akhirnya masuk ke dalam dan meninggalkan Wonwoo dalam keheningan sekali lagi. Walaupun Wonwoo memilih untuk duduk di luar–jalanan kota itu cenderung menggunakan kendaraan umum yang tidak menimbulkan suara yang mengganggu dan orang-orang juga lebih memilih berjalan kaki sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalanan.

Wonwoo sendiri menikmati acara jalan kakinya untuk sampai ke cafe ini.

Ketika tangan Wonwoo menyenggol sebuah pisau hingga terjatuh–pria itu menyadari seharusnya ia tidak menyia-nyiakan makanannya yang mulia mendingin. Daging itu ia beli dengan uangnya dan mendapatkan uang untuk membeli sepiring daging Wonwoo harus menjual setidaknya lima gambar sketsa. Beruntung orang-orang di sini lebih menghargai seni yang di tuangkan di atas secarik kertas daripada seni yang di tuangkan di dalam sebuah alunan nada yang kemudian di nyanyikan oleh orang-orang berparas rupawan di atas panggung. Kuas, kanvas dan cat sudah menjadi keseharian Wonwoo dan benda-benda itu memenuhi kamarnya begitula dengan buku dan pensil yang selalu ia bawa kemana-mana–semua hal itu sangat berarti baginya.

Ketika Wonwoo membersihkan pisaunya yang terjatuh dengan tisu kemudian memutuskan untuk menghabiskan pesanannya agar ia bisa pergi ke taman dan menemukan lebih banyak obyek gambar. Pada potongan kelima yang masuk ke dalam mulutnya–mata rubah Wonwoo menangkap seorang pria tinggi menempati meja yang sebelumnya di tempati seorang pria dan anaknya. Tidak butuh waktu lama untuk sang pelayan menghampiri mengunjung baru itu dan memberikan buku menu pada pria berpakaian formal itu–turtel neck berwarna putih, newsboy hat berwarna hitam dan juga coat coklat yang serasi dengan warna musim gugur terlihat cocok pada pria itu.

Wonwoo memperhatikan sepatu pria itu yang berwarna hitam mengkilap bergerak-gerak seiring dengan matanya yang bergerak mengikuti kendaraan-kendaraan yang lalu lalang. Sedikit ketertarikan untuk menggambar postur tubuh si pria asing dari samping–akan terlihat sempurna bagi sketsanya berikutnya. Jadi Wonwoo memutuskan untuk mengambil buku gambarnya dan mulai melukiskan wajah si pria dari tempatnya duduk alih-alih mengabaikan steak stroganoff-nya. Tapi di pertengahan ujung pensil Wonwoo patah dan sialnya ia lupa membawa serutan pensil–Wonwoo memutuskan untuk menghentikan kegiatannya.

Tangannya terangkat kemudian membuat seorang pelayan yang baru saja mencatatkan pesanan di meja sebelahnya terpogoh-pogoh mendatanginya. “Boleh aku meminta bill-nya?” tanya Wonwoo dalam bahasa asing yang lancar.

Si pelayan mengangguk sebelum kembali masuk ke dalam.

Wonwoo memutuskan untuk membereskan barang-barangnya dan menunggu si pelayan kembali sambil memperhatikan si pria asing yang diam sambil memperhatikan jalanan–mungkin merasa bahwa dirinya di perhatikan si pria asing kemudian menoleh ke arah Wonwoo dan mata mereka beradu pandang. Ada keterkejutan di wajah si pria asing dan rasa sakit yang menjalari hati Wonwoo–seorang pelayan memotong arah pandang mereka dengan meletakkan pesanan si pria di atas meja. Momen itu di manfaatkan Wonwoo untuk meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan berlari meninggalkan pelantara cafe.

Melihat Wonwoo yang telah berlari–Kim Mingyu segera meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan berlari mengejar Wonwoo tanpa memperdulikan pesanannya lagi. Tapi Mingyu kalah cepat dengan Wonwoo tag segera menaiki transportasi umum–Wonwoo memperhatikan tubuh tinggi Mingyu yang berdiri dengan kaki di pinggir jalan melewati jendela bus. Pria itu menghembuskan nafas berat dan menyadarkan punggungnya pada kursi tanpa memperdulikan pandangan terakhirnya ketika melihat Mingyu yang sempat menendang udara kosong–Wonwoo memejamkan matanya yang terasa berat.

“Mengapa aku harus melihatmu lagi Mingyu?” gumam Wonwoo.

Bukan salahnya jika ia mencoba melupakan Mingyu–alasan Tuan Park mendatanginya di apartemen Mingyu dan kertas cek yang sudah membuatnya bisa terbang meninggalkan Korea sudah cukup membuatnya sakit hati. Untuk menghilangkan rasa sakitnya Wonwoo bahkan berusaha membuka hati untuk orang lain–di mulai dari gadis-gadis yang rela menanggalkan seluruh pakaiannya untuk ia lukis hingga para gadis di tempat umum yang menarik perhatiannya untuk ia lukis.

Tapi kembali lagi pada hati Wonwoo–semuanya berjalan buruk karena ia menyadari bahwa hatinya masih milik Mingyu. Satu hal yang membuat Wonwoo menolak kehadiran Mingyu–untuk apa mengharapkan sesuatu yang hanya menimbulkan rasa sakit? Walaupun pada hubungan mereka yang lalu rasa sakit bukankah hal yang asing terlebih saat Mingyu mengikat tangannya pada borgol atau menamparnya setiap kali kelepasan menyebutkan namanya–hubungan percintaannya sepertinya tidak ada yang berjalan baik sekalipun ia menjadi dominan untuk gadis-gadis itu.

Ketika bus berhenti di halte terdekat dengan apartemen mungil Wonwoo–pria itu segera turun dan membayar ongkos kendaraan. Setelah meninggalkan Korea dan segala kenangan buruknya Wonwoo menempati sebuah apartemen yang hanya memiliki dapur, kamar mandi, ruang tidur dan ruang kosong tempat semua lukisannya berada. Wonwoo pikir apartemen kecil itu cukup karena ia tidak berminat untuk membangun sebuah hubungan keluarga atau mengajak seorang gadis untuk tinggal bersama meskipun dapat di pastikan hubungan mereka tidak akan lebih dari satu malam saja.

Wonwoo menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit. Kepalanya entah mengapa menarik momen-momen lama yang sudah ia lupakan–mulai dari bagaimana ia memulai hidup setelah lepas dari panti asuhan, bertemu dengan Mingyu dengan cara penculikan, bercinta untuk pertama kalinya, melihat pembunuhan pertamanya, merasakan isi hati terdalam Mingyu, mengetahui bahwa Mingyu kembali membunuh, melihat Mingyu di tangkap polisi atas kasus pembunuhan Soobin dan meninggalkan Korea demi meninggalkan semua kenangan yang ia tahu–Wonwoo telah melewati banyak fase dalam hidupnya.

Ketika Wonwoo baru memejamkan matanya telinganya mendengar sebuah ketukan di pintu apartemennya–dengan berat hati Wonwoo meninggalkan kasurnya dan membuka pintu untuk siapa saja yang telah datang pada saat yang tidak tepat. Wonwoo sedang tidak ingin menerima tamu atau bertemu siapapun–bahkan jika itu adalah petugas pos Wonwoo masih akan meruntukki orang itu karena telah mengganggu harinya. Pintu terbuka perlahan dan menampilkan sosok Mingyu dalam balutan coat dan kerinduan di matanya. “Hai Wonwoo lama tidak bertemu,” sapanya basa-basi.

“Hai Mingyu apa yang membawamu kemari?”

“Rindu sepertinya,” Mingyu tersenyum dan menunjukkan gigi taringnya. “Aku mengejar bus yang kau tumpangi dan berhasil menemukanmu di sini. Aku nyaris mengetuk semua pintu yang ada di gedung ini kau tahu?”

Rahang Wonwoo mengeras. “Jika kau tidak keberatan aku sedang tidak ingin menerima tamu.”

Mingyu melangkah mendekat dan berbisik di telinga Wonwoo. “Tapi aku bukan tamu Wonwoo–aku kekasihmu dan masih akan tetap menjadi kekasihmu sayang.”

Saat itu juga Wonwoo menerjang tubuh tinggi Mingyu dan memejamkan kepalanya pada dada bidang sang kekasih–bagaimanapun ia masih mencintainya.
.
.
.
.
.
Fin
.
.
.
.
.
A/n ;
It's crazy ending actually but I loved it. This is my favorite part tbh..

[✓] Stockholm Syndrome | MeanieHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin