Sebuah Janji

107 12 0
                                    

Shilla mengerjapkan mata perlahan.
Samar-samar ia melihat langit-langit di atasnya yang nampak sedikit asing dalam pandangannya.
Lalu terlihat buram bayangan seseorang yang sedang duduk di sampingnya.
Perlahan pandangannya menjadi semakin jelas.
Dengan raut wajah cemas, Mark duduk di sampingnya sambil menggenggam erat salah satu tangan Shilla.

"Kau sudah sadar?" tanya Mark cemas.

"Ehmm...aku dimana kak?" tanya Shilla sedikit linglung sambil berusaha duduk di ranjangnya.

"Kau di rumahku." ujar Mark.

"Aku kena..." ujar Shilla terhenti saat kelebatan ingatan terlintas begitu saja dalam otaknya.

Kedua matanya berkaca-kaca, wajahnya memerah.
Aliran air mata kembali membasahi kedua sisi wajahnya.
Ia ingat saat itu, saat api berhasil dipadamkan oleh semua pihak pemadam.
Mereka menemukan sesosok mayat yang sudah mereka bungkus dalam kantong jenazah.

Shilla perlahan mendekatinya, membuka kantong itu dengan tangan gemetar.
Tak bisa dikenali lagi, terlalu hancur tubuh mayat itu.
Namun Shilla tahu itu ayahnya, dari sebuah cincin yang masih merekat membalut daging yang sudah hangus mengering.
Cincin itu adalah cincin yang sama dengan milik mamanya dulu.
Ayah Shilla selalu memakainya saat merindukan mama Shilla.

Pandangan Shilla langsung mengabur.
Kedua lututnya seakan tak bertulang.
Lalu yang ia ingat hanya kegelapan.

Shilla menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Ia menyembunyikan wajahnya yang telah basah oleh aliran air mata.
Ia terbiasa untuk menyembunyikan lukanya sendiri.
Itu karena ia terbiasa tak dipedulikan oleh siapapun kala ia terluka.
Ia juga menahan suaranya agar tak terdengar lebih menyedihkan.

Mark memahaminya.
Ia pun duduk di dekat Shilla lalu langsung merengkuhnya erat.

"Tenanglah, aku masih ada di sini untukmu.
Maaf, kali ini aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa untukmu.
Maafkan aku.
Tapi aku berjanji padamu.
Sekalipun itu aku tak akan pernah meninggalkanmu.
Aku akan selalu ada untukmu.
Oleh karena itu, jangan menangis." ucap Mark lembut dengan mata yang sedikit berkilauan.

Shilla hanya mengangguk pelan, namun terus menyembunyikan tangisnya.
Hatinya masih kelu.
Meratapi kenyataan pahit yang sekali lagi menimpanya.
Ia harus kehilangan seorang lagi yang begitu ia sayangi.
Sekali lagi.
Dan terasa begitu menyakitkan.
Bahkan suara isak tangis yang coba ia tahan terasa menyedihkan.

Kedua mata Mark memerah.
Ia merasakan perih yang dirasakan Shilla.
Entah mengapa kala gadis itu terluka, ia terasa ikut merasakan sakitnya.
Setetes air mata meluncur pelan di salah satu sisi wajah Mark.
Ia menepuk-nepuk pelan punggung Shilla mencoba menenangkannya.

"Aku akan selalu menjagamu.
Dimanapun itu, kapanpun itu, aku akan selalu ada di sisimu.
Lain daripada tugasku.
Ini adalah janjiku." ujar Mark dalam hati.

...

Gundukan tanah yang masih basah, dikelilingi beberapa orang, senja itu.
Perlahan waktu membuat mereka pergi, meninggalkan Shilla dan Mark berdua di pemakaman itu.
Mark menggenggam erat salah satu tangan Shilla, menyalurkan kehangatan yang membuat hati Shilla sedikit damai.
Sambil terus menatap makam di hadapannya, saat itu juga Shilla terus bersikeras berseteru dengan pikiran dan hatinya.

Ia pun menunduk sambil menghembuskan nafas berat.
Lalu ia mencoba tersenyum.

"Ayo kak, kita pulang." ajak Shilla.

Sedikit terkejut dengan ajakan Shilla, namun Mark tahu, gadis di sampingnya itu sedang belajar mengikhlaskan sesuatu yang memang seharusnya pergi.
Ia pun mengangguk lalu menemani Shilla melangkah, meninggalkan pemakaman itu.

Senja telah memudar, langit malam bertabur bintang menggantikannya.
Suara-suara serangga kecil memandu malam.
Desir angin mengiringinya.
Langit sangat hitam, hingga bintang-bintang kecil nampak begitu berkilauan.
Sebersit garis tercipta, dari sebuah bintang yang jatuh memasuki atmosfer bumi.

Sebuah janji pun telah tercipta.
Tulus dari hati seorang malaikat, kepada seorang manusia.
Dimana hanya waktu yang menentukan sampai kapan mereka akan bersama.

Markhiel ( The End )Where stories live. Discover now