Kepingan Bulan

49 6 4
                                    

Malam itu terang.
Tidak terlalu pekat.
Ada sebuah kepingan bulan bertengger indah di atas hitam.
Sebersit awan berwarna kelabu diam-diam merayap melewati bulan, menyapa kawanan para  bintang.
Angin semilir bertiup lirih, mengikuti suasana sunyi malam itu.

Shilla terus menatap bulan dari balkon kamarnya.
Mark mencoba mengetuk pintu, namun Shilla berada di jarak yang tak bisa menggapai suara.
Mark pun membuka pintu kamar perlahan lalu memanggil Shilla.
Ia melihat Shilla berdiri di balkon sambil menatap langit, sendiri.

"Hei." sapa Mark.

Shilla tersadar, ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
Ia pun menoleh dan mendapati Mark di pandangannya.

"Kak." ujar Shilla.

Mark mendekati Shilla dan berdiri di sisi Shilla.

"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Mark.

"Iya." ujar Shilla sambil tersenyum kecil.

"Boleh aku bertanya tentang suatu hal? " tanya Mark ragu.

"Tentang?" tanya Shilla penasaran.

"Setelah semua yang selama ini mereka lakukan padamu, begitu saja kau memaafkan mereka?" tanya Mark.

"Iya." jawab Shilla tegas.

"Kenapa?" tanya Mark.

"Karena..."

...

Shilla menatap gadis berwajah kusut di hadapannya.
Kedua matanya terlihat sembab.
Kantong mata hitam menggantung di bawah matanya.
Gadis itu,  Maia,  sahabat Shilla.
Ia adalah orang yang selama ini mendalangi semua penderitaan Shilla.
Ia adalah seorang sahabat yang dengan diam-diam menikam pelan sebuah pisau tajam tepat ke punggung Shilla.

Jemari Maia tergerak,  menyentuh lapisan kaca yang membatasinya dengan Shilla.
Shilla mencoba menggerakkan jemarinya mencoba menyentuh tangan Maia namun ia urungkan.
Shilla juga terisak,  beruraian air mata.

"Kenapa? " tanya Shilla dengan suara lirih.

"Maaf. " ujar Maia dengan suara parau dan tatapan melas dari kedua matanya yang memerah.

"Kenapa? " tanya Shilla sekali lagi.

Ia masih tak habis pikir dengan apa yang telah sahabatnya itu perbuat padanya.

"Karena.. Egoku.
Maaf. " ujar Maia sambil terisak dan menunduk.

Kini tangannya mengepal erat.
Mencoba menahan rasa sakitnya.
Shilla melakukan hal yang sama.
Ia mencoba menahan air matanya agar tak mengalir lebih deras.

"Katakan padaku. " ujar Shilla terbata.

Maia mengusap wajahnya yang basah,  lalu kembali menatap Shilla.

"Maaf.
Karena aku menyukai Jason.
Maafkan aku. " ujar Maia terisak.

Shilla terhenyak mendengar alasan Maia.
Kedua matanya terbelalak menghadap Maia,  berkilauan,  pandangannya mengabur.
Air matanya semakin deras saja mengalir.

"Kenapa?
Kau tak bilang padaku? " tanya Shilla dengan suara berat.

Maia kembali menunduk penuh rasa bersalah.
Ia menangis tersedu-sedu.

"Jika kau menyukai dia,  kenapa kau tak katakan padaku?
Kau lebih penting bagiku,  aku bisa saja menyerah pada perasaanku terhadapnya untukmu.
Tapi kenapa dengan cara ini?
Kenapa? " tanya Shilla sedikit nada tinggi.

"Maaf,  aku minta maaf.
Aku minta maaf. " ujar Maia dengan suara parau.

Maia tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Ia terus mengucapkan kata maaf,  mungkin sudah ratusan kali,  namun ribuan kali dalam hatinya.
Shilla menatapnya penuh kasihan.
Ia tahu sahabatnya sedang tersesat kala itu.
Ia mencoba berjuang mengalahkan emosinya.
Shilla mencoba menenangkan hati dan pikirannya.

"Tante masih di rumah sakit.
Aku akan merawatnya selama kau di sini. " ujar Shilla sambil beranjak dari tempat duduknya.

Maia terhenyak mendengar mamanya disebut.

"Mama?
Bagaimana keadaannya? " tanya Maia dengan tatapan berat dan sedih.

"Dia sudah lebih baik jika sedang tidak memikirkan perbuatanmu. " ujar Shilla sambil berlalu.

Dada Maia semakin sesak.
Ia meremas pakaiannya,  dan menangis histeris.
Ia tak ingin menyakiti mamanya.
Ia merindukannya.
Ia menyesal dengan semuanya.

Shilla meninggalkan ruangan itu lalu mencari Mark dan Eric.
Saat ia menemukan mereka,  ia berbicara serius pada Eric.

"Aku ingin mencabut tuntutanku terhadap mereka. " ujar Shilla.

Eric dan Mark terkejut mendengarnya.
Mereka tak percaya dengan apa yang mereka dengar.

"Tapi kenapa? " tanya Eric.

"Karena,  aku sudah memaafkan mereka. " ujar Shilla sambil berjalan ke arah pintu keluar.

Mark mengikutinya dari belakang.
Tak lama kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu kembali ke rumah.

...

"Karena semuanya sudah berlalu.
Aku tak ingin menyimpan dendam maupun membenci orang lain, karena itu hanya akan semakin menyakitiku.

Aku tak layak marah, tak juga layak membenci, karena aku sendiri seorang pendosa, bukan manusia yang sempurna.

Setiap hari aku berdoa pada-Nya supaya dimaafkan kesalahanku sebagaimana aku memaafkan orang lain yang bersalah padaku.
Dengan ini aku berharap dosaku pun terampuni saat aku berusaha memaafkan mereka.

Lagipula, Ia telah memberikan kebahagiaan yang besar padaku.
Harusnya aku lebih bersyukur, bukan malah kecewa." ujar Shilla sambil menatap Mark dan tersenyum.

"Bahagia?" tanya Mark.

"Aku jadi tahu siapa yang benar-benar peduli padaku saat aku jatuh dan siapa yang meninggalkanku.

Dan juga, karena aku bertemu denganmu.
Setiap hari, tanpa henti aku bersyukur karena Ia telah mengirimkanmu padaku.
Dalam sesakku, dalam sakitku, kau selalu ada untuk menghiburku, menemaniku dan mempercayaiku.
Kau, satu-satunya seseorang yang menepis air mataku.

Kau juga yang sudah mencari kebenaran tentang diriku.
terima kasih.
Aku sangat bahagia bersamamu, ada engkau di sisiku, sangat membuatku bahagia.
Inilah kebahagiaanku.

Kamu." ujar Shilla sambil menatap lembut kedua mata Mark.

Mark terperangah sesaat.
Ia menatap dalam kedua mata Shilla dengan mata yang berkilauan.
Ia sadar perasaannya kepada manusia di hadapannya ini terlalu dalam.
Dengan cepat tangan Mark menggapai leher belakang Shilla dan menariknya.
Ia menempelkan bibirnya langsung ke bibir Shilla.
Mengulumnya lembut sedalam perasaannya kini.

Shilla sempat terkejut namun ia langsung memejamkan mata.
Mengikuti alur ciuman Mark.
Kedua tangan Shilla menggapai baju Mark dan meremasnya kuat.

Di bawah sinar bulan.
Dua jenis makhluk yang berbeda asal, saling menunjukkan perasaan mereka.
Sebuah rasa dimana ingin memiliki, ingin melindungi dan membahagiakan satu sama lain.

Dua makhluk berbeda yang tak menyadari bahwa waktu tak bisa mereka kendalikan begitu saja hanya karena ego.
Dua makhluk yang tak sadar bahwa mereka sebenarnya tak akan pernah bisa bersama di dunia ini.
Dua makhluk yang sedang di uji oleh perasaan itu, dimana manusia menyebutnya " Cinta ".

Markhiel ( The End )Where stories live. Discover now