09. Masalah Ari

94.6K 8K 64
                                    

Ayo Pitaloka lupakan Arjuna Pradipto dan malam itu. Lebih baik turun ke kantin dan makan seporsi nasi padang yang bikin kenyang, yang sudah kamu idam-idamkan seminggu ini.

Aku menghela napas lelah. Sudah kuduga bertemu kembali dengan Arjuna Pradipto bukanlah hal menyenangkan, karena itu membangkitkan trauma masa lalu yang membuatku tidak percaya diri. Sekeras apa pun aku berusaha melupakan, ucapan si tikus got itu terus saja berdengung di telingaku.

Stop it, Pitaloka! Peduli setan sama ucapan si tikus got itu. You’re beautiful, you’re pretty, and you’re amazing!

Sekali lagi aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan semua emosi yang bergojak di dada. Kemudian aku mengetuk pintu ruangan Dewa dan segera masuk saat bosku itu mengizinkan.

Seharusnya Senin ini Dewa dijadwalkan makan siang dengan Anwar Setiawan, tapi tadi pagi Novinka menelepon dan menginfokan atasannya ada rapat penting yang tidak dapat ditinggal. Sehingga makan siang kembali ditunda minggu depan.

“Mas Dewa mau saya pesankan sesuatu untuk makan siang?” tanyaku.

Dewa berhenti mengetik dan melihat ke arahku. “Nggak usah. Nanti saya makan di kantin saja.”

Aku mengangguk mengerti. “Baik, kalo begitu saya permisi dulu, Mas.”

Dewa mengangguk mengiakan sebagai jawaban. Lalu aku segera keluar dari ruangan Dewa dan beranjak ke kantin.

Sesampainya di kantin aku langsung memesan nasi padang lengkap dengan rendang dan lalapan daun singkong, tidak lupa sambal hijau yang menggoda.

Baru saja aku memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut, mejaku yang tadinya kosong kini dipenuhi oleh anak-anak marketing.

“Mbak Pita, numpang, ya!” pinta Jeje.

Aku mengangguk mengiakan seraya mengerutkan glabela saat melihat empat anak marketing yang satu meja denganku ini kompak makan siang dengan gado-gado. “Kalian ditraktir bu Roseeta?” tanyaku kepo.

Indah mengelus dada. “Mimpi aja saya nggak pernah, Mbak.”

“Kalo gue ogah makan bareng mami monster walau ditraktir steak yang tipisnya, kek, kartu ATM tapi harganya selangit. Mending gue makan sama tempe bacem murahan tapi nggak menanggung tekanan batin,” sambar Jeje ngeri yang sontak membuatku terbahak seraya mengangguk-angguk mengerti.

“Pak Dewa ganteng banget, ya!” puji si mbak dengan lipstik menor.

“Buset, dah, pangeran makan di kantin tumben amat....”

“Beuh gila, gila, gila itu dadanya senderable banget!” 

“Astaga kayaknya gue kena serangan jantung, deh. Cuma disenyumin doang jantung gue rasanya mau meledak!”

“Pak Dewa sini dong makan bareng kita!” goda orang-orang di meja sebelah.

“Eh, kira-kira Pak Dewa skinkernya apa, ya? Mukanya bisa kinclong gitu, kek, pantat bayi,” bisik si mbak meja belakang yang sepertinya punya bisnis sampingan jadi reseller skin care.

Dewa terus tersenyum simpul—menyapa semua karyawan di kantin—membuat suasana kantin menjadi heboh. Sedangkan aku hanya memutar bola mata malas, tak habis pikir dengan para karyawati di kantor ini.

Trapped  (Terbit) ✓Where stories live. Discover now