21. Bali (B)

79K 7.2K 34
                                    

Dikarenakan tadi malam aku tidak bisa tidur dan baru bisa terlelap pukul satu dini hari, alhasil hari ini aku bangun kesiangan. Namun, untungnya acara pembukaan cabang restoran baru akan dilaksanakan nanti malam. Jadi, aku bebas bangun jam berapa pun hari ini.

Aku meminum air putih yang tersedia di meja nakas, kemudian segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi, barulah aku turun untuk mengisi perutku yang keroncongan.

Sebenarnya bisa saja aku meminta petugas hotel untuk mengantarkan makanan. Tapi ini Bali, coy! Yakali gue cuma diem di kamar! Lagi pula, kebetulan hotel tempat aku menginap begitu dekat dengan pantai Kuta. Aku bisa ke pantai Kuta hanya dengan berjalan kaki sebentar. Sungguh sebuah kerugian jika aku menyia-nyiakan liburan gratis ini walau fokus utamanya tentu saja bekerja.

Sebab bosan dengan makanan hotel yang itu-itu saja, aku pun memutuskan untuk berjalan sebentar ke arah pantai dan mencoba makan di warung lesehan yang ada di sana.

Sesampainya di pantai aroma laut yang khas langsung menusuk hidungku. Ombak yang menari eksotis juga sangat memanjakan mata, mengalirkan rasa nyaman di tubuhku. Membuatku betah berlama-lama di sini. Aku merentangkan kedua tangan, memejamkan mata, dan membiarkan sejuknya angin laut membelai setiap inci kulitku. Ah, rasanya menenangkan.

Kedua mataku sontak terbuka ketika tiba-tiba seseorang menarik tubuhku dan menggenggam tanganku erat.
Aku melotot. “What are you doing, sir?!” seruku marah.

Please, help me,” ujar bule itu memelas. Saat aku hendak memaki pria tak dikenal ini, tiba-tiba seorang wanita cantik mendekat ke arah kami.

Si bule gila—tapi sialnya tampan—ini pun langsung melingkarkan lengannya di pundakku. Dasar bajingan! Aku ingin sekali memberi bogem mentah ke arah pria itu, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya menahanku.

“Udah aku bilang Rola, sekarang aku udah panya pacar. Ini pacarku,” ujar si bule seraya mengeratkan rangkulannya di pundakku.

“Bohong!” Rola menatapku dengan pandangan menusuk. Kalau mata wanita itu laser, tubuhku pasti sudah bolong-bolong sekarang.

“Terserah kalo kamu nggak percaya, yang penting aku udah jujur.”

Rola tertawa mengejek. “Coba buktiin kalo cewek nggak jelas ini emang pacar kamu!”

Aku dapat merasakan tubuh si bule—yang belum aku ketahui namanya—ini menegang, tapi kemudian ia berbisik pas di telingaku. “Sorry,” lirihnya seraya mengecup pipiku cepat. Membuat otakku tiba-tiba nge-blank.

Fuck you, Dave!” Rola memaki. Kemudian gadis itu segera pergi dan aku dapat melihat air mata menggenang di kedua matanya. Setelah tubuh Rola tak terlihat lagi, barulah si bule yang ternyata bernama Dave ini melepaskan rangkulannya di pundakku.

“Maafkan tindakan saya barusan. Saya tau saya benar-benar kurang ajar, tapi saya berani sumpah kalo saya bukan fuck boy atau pun penjahat kelamin. Saya ngelakuin ini karena bener-bener lagi kepepet.” Dave memandangku dengan pandangan memelas, terlihat sekali dari matanya jika ia benar-benar sangat menyesal.

“Oke, kalo kamu mau nampar atau pukul saya silahkan. Saya tau saya yang salah.”

Sejak tadi aku memang ingin sekali menampar Dave, tapi setelah kupikir-pikir, membuat keributan bukanlah hal yang bijak. Apalagi pantai Kuta saat ini begitu ramai, dipenuhi oleh wisatawan domestik atau pun mancanegara. Membuat keributan jelas akan menarik perhatian banyak orang.

Aku menantang mata Dave, kemudian mengambil langkah aman untuk menyita kartu identitas pria itu saja. Kalau memang si bule ini adalah penjahat, kan, aku bisa langsung melaporkannya ke polisi.

Okay, wait!” seru Dave seraya mengeluarkan KTP dari dompetnya.

Dave memberikan kartu tanda penduduknya padaku, dan aku langsung mengecek kartu identitas pria itu. Banyu Davine Prasojo. Begitu membaca nama yang tertera di KTP mataku langsung melotot. Ini Serius?!

Aku berdeham pelan. “Bapak Banyu direktur Grand Luxury?” tanyaku memastikan.

Dave mengerutkan glabela. “Ya?”

Aku tersenyum manis seraya mengembalikan kartu identitas Dave. “Perkenalkan saya Pitaloka Handayu, Pak. Sekertaris bapak Dewangga Nasution dari Nusatara Restaurant,” jelasku.

Dave tampak terkejut, tapi akhirnya tersenyum manis. “Ternyata Ibu Pitaloka, ya? Maaf saya nggak ngenalin soalnya suara di telepon dan aslinya beda.”

Bayu Dave Prasojo adalah pemilik hotel Grand Luxury. Sedangkan Grand Luxury sendiri adalah hotel tempat cabang baru Nusantara Restaurant akan berdiri. Jadi, Dewa dan Dave berkerjasama untuk mendirikan cabang baru restoran Nusantara.

Oleh karena itu, beberapa bulan terakhir aku sering berhubungan via telepon dengan Dave sebagai perantara Dewa. Aku tahu jika Dave atau yang biasa aku panggil Banyu adalah pria keturunan Jawa-Australia, tapi aku tak menyangka jika wajahnya benar-benar westernis sekali. Makanya kupikir tadi Dave adalah bule gila yang sedang liburan di Indonesia.

Aku terkekeh pelan. “Suara Pak Banyu juga beda sama yang di telepon.” Ternyata aslinya lebih seksi, coy!

Dave terbahak. “Kamu ke pantai bareng Dewa?”

Aku menggeleng. “Nggak, Pak. Saya ke sini sendiri. Mas Dewanya mungkin masih ada di kamar,” jelasku.

“Gimana kalo panggil Banyu aja? Saya belum terlalu tua buat dipanggil ‘Pak’, kok!”

Aku menyusupkan rambutku yang tertiup angin ke belakang telinga. “Gimana kalo Mas Banyu aja? Kalo Banyu doang kayaknya kurang sopan.”

Sure,” jawab Dave seraya tersenyum. “By the way, what are you doing here, Pitaloka?”

“Niatnya mau cari sarapan seafood, sih, Mas. Bosen sama makanan hotel,” jujurku.

Dave mengangguk mengerti. “Gimana kalo saya tunjukin warung tenda yang enak di sini? Kebetulan saya juga belum sarapan. Oh, ya, sekali lagi saya minta maaf soal kejadian tadi. Rola is my ex-girlfriend dan kami udah putus sebulan lalu. But you know ... dia nggak mau nerima itu,” jelas Dave frustasi.

Aku mengangguk. “It’s okay. Saya tau, kok, gimana rasanya punya mantan yang annoying,” ujarku seraya terbahak.

Dave mengangguk paham, kemudian pria itu menuntunku ke warung tenda yang katanya punya seafood paling enak di pantai ini.

Sesampainya di warung seafood, aku langsung memesan udang asam manis favoritku. Sedangkan Dave memesan gurame bakar lengkap dengan nasi liwet. Untuk minumnya kami sama-sama memesan teh manis hangat. Tak berapa lama pesanan kami disajikan dan aku pun langsung memakannya dengan lahap.

Harus kuakui makanan di sini memang super enak. Berbeda sekali dengan kebanyakan udang asam manis yang dijual di ibu kota. Mungkin karena udang di sini masih segar kali, ya? Pokoknya aku berterima kasih sekali pada Dave karena mengajakku makan di sini. Tidak cuma kenyang, lidahku juga ikut dimanjakan.

Saat aku sedang makan seraya mengobrol akrab dengan Dave, aku seperti melihat Dewa mengawasi dari jauh. Namun, saat aku ingin memastikan orang itu Dewa atau bukan, orang itu sudah menghilang. Lalu entah kenapa aku jadi merinding sendiri. Nggak mungkin itu setan penunggu sini yang menyerupai Dewa, ‘kan? Hih serem!

***

Trapped  (Terbit) ✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat