16. Berdebar (lagi)

84.1K 7.4K 50
                                    

“Ya, Mas?” tanyaku ramah.

“Ke ruangan saya sekarang!” judes Dewa.

Hari ini bos kampretku itu terus marah-marah. Sepertinya pria itu sedang dalam fase IMS* ( Irritable Male Syndrom) atau PMS versi cowok. Sungguh aku benci ini, karena Dewa yang biasanya menyebalkan kini seribu kali lipat lebih menyebalkan.

“Baik,” ujarku seraya mematikan telepon.

Aku menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Seharian ini aku dikerjai Dewa habis-habisan dan sumpah kalau punya kesempatan aku ingin sekali menimpuk kepala bocah tengik itu dengan stilleto. Seperti tadi pagi, Dewa memintaku membuatkan ia teh hangat dengan takaran satu sendok gula.

Aku mengikuti kemauannya, tapi tetap saja pekerjaanku salah. Karena rasa teh di pantry tidak seperti teh chamomile yang biasa pria itu minum.

Demi Keanu Reeves yang gantengnya nggak abis-abis itu. Jelaslah bos tehnya beda. Teh di pantry, kan, cuma teh murahan yang belinya aja pas ada diskonan. Jadi, jangan berharap rasanya enak kaya teh chamomile yang biasa lo minum kampret!
Setelah emosi yang bergejolak di dadaku memudar, aku segera mengetuk pintu ruangan Dewa dan segera masuk saat bosku itu mengizinkan.

“Ada yang bisa saya bantu, Mas?”

“Tolong carikan laporan penjualan tahun lalu di ruang arsip!” perintahnya tanpa repot-repot melihat ke arahku. Sepertinya kertas-kertas di mejanya lebih menarik.

“Baik.” Setelah itu aku segera keluar dari ruangan Dewa dan segera turun ke ruang arsip yang ada di lantai empat.

“Eh, Mbak Pita, ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya Rama—petugas ruang arsip.

Aku mengangguk dengan senyuman lebar. “Iya, Ram. Tolong cariin laporan penjualan tahun lalu, ya!” seruku.

Pria berkemeja biru itu mengangguk mengerti. “Tunggu sebentar, ya, Mbak,” ujarnya.

Pria itu pun mulai mencari dokumen di rak atas. Tak menunggu lama arsip yang berisi laporan penjualan ditemukan dan Rama langsung memberikannya padaku.

Thanks, Ram,” ujarku setelah menerima map berwarna kuning itu.

Rama mengangguk. “You’re welcome, Mbak Pita.”

Aku segera pergi dari ruangan arsip dan segera menaiki lift menuju lantai lima. Setelah itu aku segera masuk ke ruangan Dewa dan memberikan berkas yang diminta oleh bosku itu.
Dewa mengangguk. “Thanks,” ujarnya. “Oh, ya, Pitaloka bisa tolong cocokan dokumen ini dengan data yang ada di laptop saya? Kalo ada yang beda langsung coret saja.”

Aku mengangguk mengerti, kemudian segera mengerjakan tugas yang diberikan Dewa. Beberapa hari ini pria itu memang sedang dipusingkan oleh masalah penjualan restoran tahun lalu, karena data penjualan yang dimiliki Dewa justru bertolak belakang dari data yang dipegang tim penjualan. Membuat laporan keuangan berantakan dan restoran mengalami kerugian yang memang tidak terlalu banyak, tapi juga tidak bisa dibilang sedikit juga.

Aku memijit leherku yang pegal karena terlalu lama menunduk melihat laptop. Setelah itu aku melirik jam tangan yang melingkar di lenganku. Pukul 12:10 WIB, tandanya jam makan siang sudah lewat sepuluh menit lalu.

Setelah membereskan dokumen dan mematikan laptop, aku segera menghampiri meja Dewa untuk menginfokan jika sekarang sudah waktunya makan siang. Pria itu sejak tadi begitu fokus dengan pekerjaannya. Aku yakin dia tak sadar jika jam makan siang sudah lewat sepuluh menit lalu.

“Mas, sudah waktunya makan siang,” infoku.

Dewa melihat arloji yang melingkar di lengan kiri, kemudian melepas kacamata dan memijat pangkal hidungnya. “Kamu makan duluan saja, Pitaloka. Saya masih ada pekerjaan yang belum selesai. Tanggung,” ujarnya.

Trapped  (Terbit) ✓Where stories live. Discover now