24. Pulang

77K 6.9K 132
                                    

Akhirnya aku dan Dewa sampai di bandara Soekarno-Hatta setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dengan pesawat dari bandara Ngurah Rai Bali. Karena kakiku masih sakit—walau sebenarnya sudah jauh lebih baik—aku tetap harus menggunakan kursi roda. Seperti orang punya penyakit parah, walau aku cuma terkilir sedikit.

Aku sempat memohon pada Dewa untuk mengizinkanku menggunakan kruk saja, tapi ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Bahkan, pria itu mengatakan, akan menggendongku saja jika aku tidak mau menggunakan kursi roda. Gila saja kalau ancaman itu benar. Bisa-bisa aku membutuhkan transplantasi jantung segera, disebabkan jantungku meledak karena berdebar terlalu kencang dari kemarin.

Alhasil setelah turun dari pesawat, aku langsung naik kursi roda dan Dewa yang mendorongnya. Sedangkan koper kami dibawakan oleh pak Iyos yang sengaja menjemputku dan Dewa di bandara. Diperintahkan oleh bosku itu tentunya.

Aku tersenyum lebar saat melihat mama di antara orang yang berlalu lalang di bandara. Setelah melihatku, mama dan Gita segera menghampiriku dan memelukku erat. Kemarin aku memang menelepon mama dan mengabari soal musibah yang menimpaku. Mama sempat panik dan berniat menyusulku ke pulau dewata, tapi tentu saja aku larang, sebab kurasa lukaku tidak begitu parah. Walau aku sedikit trauma jika berdekatan dengan kolam renang.

Miss you,” ujar mama pas di telingaku.

Aku mengeratkan pelukan kami. “Miss you too, Mom. So much.”

Mama mengurai pelukannya seraya meringis ngeri saat melihat pergelangan kakiku yang bengkak. “Gimana keadaan kaki kamu? Kayaknya bengkaknya parah, ya?”

“Nggak kok, Ma. Ini udah jauh lebih baik. Bengkaknya nggak separah kemarin. Sekarang aku udah bisa jalan dikit-dikit,” jelasku.

“Pokoknya ayo pulang ke Bandung! Biar diurut mbah Jum.” Mama tersenyum ke arah Dewa. “Terima kasih karena Bapak sudah merawat Pitaloka selama di Bali. Maaf kalo anak saya ini banyak ngerepotin, Bapak.”

Dewa mengangguk seraya tersenyum. “Sama-sama, Bu. Ini sudah tanggung jawab saya sebagai atasan.”

“Kalo gitu kami pulang dulu,” izin mama.

“Mas Dewa, makasih atas bantuannya selama ini. Terima kasih juga karena sudah mengizinkan saya cuti dan pulang ke Bandung. Saya janji, kalo kaki saya udah mendingan saya akan langsung kembali ke Jakarta,” ujarku sebelum berlalu yang langsung direspons anggukan oleh pria itu.

Setelah itu Gita menggantikan Dewa mendorong kursi rodaku, dan mendorongnya ke arah mobil om Wisnu—adik mama. Sesampainya di parkiran, mama langsung membantuku masuk ke mobil sedangkan Gita memasukan koper dan kursi rodaku ke bagasi.

“Maaf, ya, Ma, gara-gara aku Mama jadi harus nyetir Jakarta-Bandung.”

“Nggak papa, Sayang. Mama masih kuat, kok.”

“Padahal aku udah ngajuin diri buat nyetir, lho, Ka. Eh, sama Mama nggak diizinin. Padahal aku, kan, juga bisa bawa mobil,” sambar Gita dengan bibir mengerucut.

“Udah kalian duduk aja yang tenang. Mama belum jadi nenek-nenek karena belum punya cucu. Jadi, kalian nggak usah khawatir Mama kenapa-napa.”

Aku menghela napas pelan. “Tapi kalo nanti Mama capek, gantian aja nyetirnya sama Gita,” ujarku yang langsung diangguki setuju oleh mama.

Trapped  (Terbit) ✓Där berättelser lever. Upptäck nu