Semesta dan Terik

9 2 0
                                    

Aku sudah terbiasa kamu anggap tak ada. Bahkan kamu menyapa semua temanku, tapi tidak dengan aku. Lalu kemudian apa? Tawa-tawa yang berhambur karena hal itu?

Atau koridor. Mari kita tunjuk sebagai saksi dari sebuah perkara. Kita berjalan berlawanan arah, kemudian bertemu di satu titik meski hanya beberapa sekon. Tapi lagi-lagi seperti tak ada. Kamu melewatiku begitu saja. Seperti tak pernah ada aku. Baik di Bumi, Mars, dan planet-planet lainnya.

Sehabis hujan terbit terik, bukan? Sore itu kemilau senja terpantul oleh keramik-keramik basah di depan kelas. Aku sudah melihatmu kejauhan, tapi semangatku menguap. Aku hanya berani menunduk sambil memandang sepatuku yang lusuh.

Kamu lewat tepat di depanku, kemudian memelankan langkahmu dan menyebut namaku. Sehalus kapas. Damai.

Aku mendongak, terpaku pada wajah dengan sisa senyuman itu. Ah, kamu menyebut namaku dengan sangat sempurna. Rasanya namaku sangat pantas bila disebut dengan suaramu.

Pulang (Aksara Rindu Di Detak Jantungmu)Onde histórias criam vida. Descubra agora