Jaket

801 117 123
                                    





~♥~


Hujan gerimis mengguyur kota sore itu, padahal langit sedang cerah tanpa awan mendung. Seorang gadis berbalut seragam sekolah berlari menuju halte terdekat untuk berteduh.

Tangannya bergerak menepuk-nepuk seragamnya yang sedikit basah terkena hujan. Dalam hati ia jadi menyesal telah menolak tawaran salah satu teman untuk diantar pulang. Kalau saja ia mau, mungkin sekarang ia sudah berada di jalan. Bukan malah sendirian di halte bus, menunggu jemputan sang kakak yang entah kapan akan tiba.

Ponsel ditangan kanannya berdering, kemudian dengan tergesa ia menggeser tombol accept tanpa melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.

"Halo, kak", ujarnya malas.

"Hey, Kim Nina. Kau dimana? Aku udah menunggumu di depan gerbang sekolah tapi kau malah tidak datang-datang", suara di ujung telfon terdengar menahan kesal.

Gadis itu menjauhkan ponselnya sebentar, merasa terkejut dengan suara yang baru saja ia dengar. Ia pikir kakaknya yang menelfon, tapi ternyata malah laki-laki yang siang tadi menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

"Maaf ya, Mark. Kau sudah pulang, kan? Aku terjebak gerimis sekarang", Gadis itu memelas, membuat laki-laki di seberang menjadi iba dan luluh hatinya.

Gadis itu terdiam sejenak, "Halo", ujarnya lagi setelah tak mendengar suara dari seberang. Dan ya, sambungan telefon itu diputus sepihak. Benar-benar menyebalkan, batinnya.

Ia sekarang menyesal -lagi telah mengangkat telefon dan membuat dirinya terlihat menyedihkan setelah menolak ajakan Lee Mark untuk pulang bersama. Oh astaga, teman-temannya juga tahu bagaimana ia menolak habis-habisan laki-laki yang seringkali mengaku sebagai pacarnya itu.

Sekarang ia bahkan merasa malu untuk bertemu Mark. Bagaimana bisa ia memelas seperti itu pada orang yang telah ia tolak berkali-kali.
Sungguh kebodohan seorang Kim Nina yang hakiki.

Ditengah kemelut rasa malu Kim Nina, sebuah motor sport berwarna merah metalic merapat ke bibir trotoar, tepat di depannya berdiri sekarang. Nina hafal betul siapa pengendara motor itu, hanya saja ia sudah tak tahu lagi harus melakukan apa. Kabur membelah gerimis? Tentu saja ia tidak mau melakukannya, karna itu akan membuat seragamnya basah dan berakhir dengan ia yang terkena omelan sang kakak.

"kenapa kamu gak nunggu kakak di halte aja? Kenapa kamu malah berkeliran dengan baju basah?"

Tidak, Nina tidak mau itu terjadi. Membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Bagaimana tidak, omelan kakak berarti juga omelan bunda. Paham kan maksudnya, beli satu gratis satu.

Alih-alih diomeli kakak dan bundanya, lebih baik Kim Nina tetap berdiri disana. Menahan rasa malunya dengan mencoba bersikap biasa saja.

"Hai", si pengendara itu menyapa, setelah melepas helm yang berwarna senada dengan motornya.

Nina kelimpungan, tiba-tiba saja kalimat yang sudah ia siapkan menjadi berantakan. Otaknya tak bisa diajak berkompromi memang. Dalam hati ia berdoa agar sang kakak segera datang menjemputnya, ia sudah malu berhadapan dengan laki-laki yang kini sedang berdiri di hadapannya.

"Mark, aku minta maaf tad--"

"Ini, pakai saja jaketku", laki-laki bernama Mark itu menyela.

Nina terdiam sebentar, memandangi jaket yang Mark ulurkan padanya. Ia bingung harus melakukan apa. Ia benar-benar sudah malu jika menerima bantuan Mark, tapi di sisi lain ia juga butuh jaket itu untuk menutupi seragamnya yang sedikit basah.

"Tidak usah, terima kasih", Nina berujar sembari mundur satu langkah dengan kepala tertunduk. Entahlah, ia sendiri tak mengerti kenapa ia melakukan hal itu.

Melihat itu, Mark mengembuskan napasnya berat. Kemudian kakinya maju satu langkah, untuk mengembalikan jarak berdiri mereka seperti semula. Tangannya terulur lagi memindahkan jaket itu ke tangan Nina.

"Kau tidak lelah ya menolakku terus?"

Suara Mark itu sukses membuat Nina mengangkat kepalanya dengan sigap. Mata Nina kini menatap lekat wajah Mark, sepertinya rasa bersalah sudah mulai memeluk batinnya.

"Kalau begitu, biar hari ini aku yang menolakmu", Mark menjeda kalimatnya. Sebenarnya ia senang dengan respon yang Nina berikan, ia juga merasa bangga sudah membuat Nina menatapnya dengan lekat seperti sekarang.

Aneh memang, tapi begitulah Lee Mark. Ditolak oleh Nina tak lantas membuatnya jera dan berhenti, justru ia makin menjadi-jadi. Mengikuti Nina kemana pun -kecuali toilet, makan bersama Nina, belajar bersama Nina. Entahlah. Bahkan diomeli Nina pun sudah menjadi candu baginya. Yah, namanya juga sedang jatuh cinta, kopi pahit pun akan jadi manis. Betul, kan?

Seperti yang ia lakukan sekarang, padahal ia tengah kecewa sebab Nina lagi dan lagi menolak untuk dia antar pulang. Tapi rasa kecewanya itu seolah tak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan cintanya untuk Nina.

(Mark : bucin mode on)

"Jangan pulang bersamaku, sedang hujan nanti kau bisa basah kuyup. Tunggu aja kakakmu disi--"

'Siapa juga yang mau pulang bersamanya?' batin Nina.

"Mark", kini giliran Nina yang menyela, membuat Mark menghentikan kalimat penolakannya.

Nina terdiam sebentar, bingung apakah ia harus melanjutkan kalimatnya atau tidak. Sementara Mark terdiam sebab menunggu Nina kembali berucap.

"A-aku, pin-jam jaketmu, ya? Besok, besok aku kembalikan", ujar Nina gugup. Sesungguhnya ia benar-benar malu untuk mengatakan hal itu. Tapi bagaimana lagi, ia tidak mungkin membiarkan seragamnya tetap basah terkena hujan yang mulai menderas.

Mark tertawa sembari mengusak surai hitam milik Nina. Menurutnya Nina terlihat menggemaskan saat gugup seperti itu. Padahal ia paham betul bahwa Nina gugup karena malu, bukan karena jatuh cinta. Tapi, Mark sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk menunggu Nina hingga gadis itu bisa menyukainya.

"Aku pergi duluan ya, takut hujannya makin deras. Kasihan motorku", Mark berujar setelah menyelesaikan tawanya.

Nina menggangguk tanda setuju sembari tersenyum kaku. Mark melajukan motornya membelah hujan dan jalanan basah kota, setelah sebelumnya memakai helm dan melambai pada Nina. Sementara Nina hanya memperhatikan hingga motor sport merah metalic itu menghilang di persimpangan jalan.

"Kenapa dia malah kasihan pada motornya?", Nina bergumam sembari menatap jaket Mark yang masih berada di tangannya.

Ada sedikit rasa penyesalan yang menyesakkan dadanya. Ia jadi menyesal sering mengucapkan kata-kata yang cukup kasar dan melukai hati Mark. Ia sadar, meminta Mark menjauhinya dengan cara seperti itu bukanlah keputusan yang benar.

Apalagi, Mark tak pernah terlihat kecewa dan selalu memperlakukannya dengan baik, walau dia sering bersikap menyebalkan. Rasa bimbang sedikit tumbuh di hatinya, apakah ia harus mulai membuka hati untuk Mark?

Tint... Tintt...

Suara klakson mobil memecah lamunan Kim Nina. Tanpa sadar sebuah mobil Mercedes Benz berwana hitam sudah terparkir rapi di hadapannya. Seorang laki-laki keluar dari sana dengan hoodie yang menutupi kepalanya.

"Maaf ya, tadi kakak harus ke supermarket dulu untuk beli snack. Hehe", laki-laki itu berujar sembari nyengir kuda, berharap sang adik tidak memarahinya karena terlambat menjemput. Sementara Nina sudah berjalan memasuki mobil tanpa menjawab penjelasan kakaknya.



***









@hinjn
@hd117618

Semesta √Where stories live. Discover now