Luka

320 90 114
                                    








Happy reading ♡

























~♥~


“Kakak gak bisa jemput aku lebih cepat ya? Selalu saja terlambat! Gara-gara kakak lama, aku jadi harus berduaan dengan Mark di halte seperti tadi!!”

“Bagus dong!”

Nina mendengus sebal setelah mendengar jawaban singkat yang keluar dari mulut kakak satu-satunya itu. Merotasikan bola mata, lantas tangannya bergerak melepar bantal sofa ke arah sang kakak yang sedang sibuk dengan game online di gadgetnya.

Kim Taehyung yang menyadari itu menghindar dengan sigap, dan tembakan Kim Nina itu tak tepat sasaran. Laki-laki itu tampak tak peduli dengan rancauan sang adik, matanya masih terfokus menatap layar gadget, kemudian tersenyum puas. Tampaknya ia berhasil memenangkan pertarungan pada game online di gadgetnya itu.

“ada apa sih, dek? Kenapa?”, seru Taehyung sembari meletakkan gadgetnya ke atas meja kaca yang berada di hadapannya.

Sementara Nina berdecak, “Tau ah, males!”.

Menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa kemudian, Nina menatap langit-langit ruang keluarga dengan cat bernuansa softcream. Matanya menerawang, lantas mengerjap beberapa kali.

Membuang napasnya ke udara, gadis berusia 18 tahun itu menolehkan kepalanya. Menghadap kepada sang kakak, yang kini sudah beralih menggenggam remote dengan mata yang terfokus pada layar televisi.

“Kakak rindu dia gak sih?”, gadis itu bersuara parau, hampir berbisik.
Pun pendengaran Taehyung tak seburuk itu untuk tidak mendengar suara sang adik.

Laki-laki yang usianya terpaut enam tahun dari Kim Nina itu menghela, memejamkan matanya sejenak setelah merasakan adanya butiran air diujung matanya. Menghembuskan napas berat, Taehyung menolehkan kepalanya kemudian. Menghadap pada sang adik yang ternyata masih menatapnya dengan sendu.

“Buat apa kamu bahas dia sekarang?”, suara laki-laki itu berubah dingin, lantas membuat Nina membeku ditempatnya.

Agaknya gadis itu merasa bersalah telah membahas ‘dia’ disaat sekarang. Karena itu sama saja ia membuka luka  di hati sang kakak dan tentu juga hatinya sendiri, yang mungkin saja belum pulih betul walau tahun sudah berlalu.

“Bunda pulang.....”

Bias suara penuh semangat itu mengalihkan pandangan keduanya, seorang wanita paruh baya memasuki ruangan itu dengan senyum mengembang. Kemudian senyum itu perlahan menghilang digantikan dengan tatapan menelisik pada kedua anaknya, setelah merasakan atmosfer berbeda diantara mereka.

“Ada apa dengan kalian?” wanita itu bertanya, melempar tatapan kebingungan pada putra dan putrinya yang masih mematung di tempat masing-masing. Mereka bungkam, mengatupkan bibir rapat-rapat, tak ada satupun yang mau menjawab pertanyaan yang wanita itu lontarkan.

Taehyung berdeham, “Kayanya aku gak enak badan, Bun”, ujarnya kemudian.

Laki-laki itu melirik adiknya sekilas yang kini sudah merubah posisinya menjadi duduk dengan kaki yang disilangkan. Gadis itu kini menundukkan kepalanya, Taehyung memahami apa yang sedang terlintas di kepala adiknya saat ini.

Taehyung tahu anak itu pastilah tengah berusaha menahan tangis. Menghela napas samar, lantas melangkahkan kakinya menjauhi ruangan itu.

Entahlah, ia tak tahu harus melakukan apa disaat-saat seperti ini.
Bodoh. Kata itu selalu saja terlintas di otaknya, ia merasa dirinya benar-benar bodoh karena tak dapat mengelak bahwa ia juga merindukan ‘dia’ yang disebut-sebut oleh adiknya.

Semesta √Where stories live. Discover now