Terima atau Terima

115 24 216
                                    

• jangan berekspetasi terlalu tinggi pada cerita ini📌
















Happy Reading♡

.

.

.

.

.

Detak waktu pada barisan angka dalam putaran hari masihlah merujuk pagi buta. Namun selayak bumi yang berputar pada porosnya, areal yang kerap dikenal sebagai lapangan penerbangan itu terus beroperasi tanpa jeda. Sepagi ini, saat gelap bahkan belum sepenuhnya terusir oleh surya, berbagai sudut ruangan luas itu sudah dipenuhi sesak masa.

Gadis bersurai sebahu adalah salah satunya, menyisir langkah sembari menggiring koper di sisi kanan tubuhnya. Diikuti sosok pemuda yang berjalan di belakangnya —berpostur lebih tinggi namun terpaut lebih muda dalam usia.

Gerak tungkai si gadis memelan kala netranya menilik padat antrean untuk chek in di hadapan. Ia menghela pelan, menyerong kiri guna bertatap dengan pemuda bergelar adik tiri yang tengah sibuk dengan gawai penuh kecanggihan.

"Terimakasih sudah mengantarku." Gadis itu —Huang Haejin— berujar.

Menyadari nada interupsi tersebut menyapa telinga, pemuda Huang lekas menyimpan ponsel ke dalam saku jas almamaternya. Mendongakkan hulu sebelum memberi anggukan seadanya. Sekadar menghormati sang kakak tiri sebagai tanda perpisahan yang bersifat sementara.

Lagipun dia berada di sana sekarang bukan tanpa alasan. Papa dan Mamanya sedang pergi ke luar kota, lantas siapa lagi yang akan mengantar kepergian gadis itu jika bukan dirinya. Mengingat hanya ia satu-satunya anggota keluarga, walau ada setitik rasa belum bisa menerima.

"Bagaimana keadaan Kim Nina?"

Pemuda Huang tampak menghela singkat, "Aku tidak yakin dia bisa datang ke sini, mungkin juga dia tidak datang ke sekolah nanti." jelasnya.

"Seharusnya semalam aku mengucapkan salam perpisahan yang baik padanya, kan? Bukannya malah membuatnya salah paham." tutur Haejin merasa bersalah.

Senyap pikir si pemuda memutar insiden semalam, saat bagaimana ia berlari membelah lengang di bawah langit hitam. Memberanikan dirinya demi bertemu gadis yang mengisi penuh kapitanya tanpa sedikitpun memberi celah ketenangan. Bagaimana, ya, keadaan gadis itu sekarang?

Terakhir kali berkabar selepas pulang, Renjun hanya mengucap selamat terpejam, seusainya dia malah tak bisa lekas terlelap. Masih sempat menggantungkan harap di atas langit-langit ruangan sebelum berhambur bersama dirgantara legam.

Jika diingat, Renjun sebenarnya enggan memberi maaf pada Haejin dengan cuma-cuma. Tapi harus bagaimana? Bukankah dikirim ke luar negeri sudah sangat menyedihkan baginya? Setidaknya pemuda Huang masih memberinya kesempatan untuk memperbaiki hubungan dalam artian bersaudara.

"Bukankah kau harus segera check in?" tanya Renjun mengalihkan topik perbincangan.

Haejin terkesiap, "Ah, i-iya." ujarnya seraya mengusap tengkuk, diserang rasa kikuk.

Sepintas netranya memandangi paras tampan si pemuda, menjatuhkan tatap pada sepasang obsidian kecoklatan itu dengan maniknya sendiri yang mulai berkaca-kaca. Titik air di pelupuknya tumpah tanpa aba-aba, membuat pemuda Huang refleks membawa Haejin ke dalam dekapnya.

Jangan kira Renjun sebegitu dingin hingga tak memiliki rasa iba, sebab pada kenyataannya ia begitu memahami apa yang Haejin rasa. Menitikberatkan pada titik balik kala ia diasingkan oleh sang Papa di Kanada sekian tahun lamanya, dari itu ia mencoba untuk menenangkan si gadis yang memiliki gelar sebagai kakak tirinya.

Semesta √Where stories live. Discover now