Dear, Ren

154 33 122
                                    


I'm back wuhuuuuuyy 🎉🎉/ga ada yang nungguin padahal// awowkwkw

Harusnya up besok, tapi tangan aku gatel pengen cepet-cepet up. Rindu spam coment dari kalian huhuhu~

Dahlah, daripada banyak bacot cus baca aja.

Happy reading, guys ♥













~♥~












"Kalian darimana?"

Bias suara itu menyapa indra pendengar dua pemuda yang baru saja menutup pintu utama rumah. Seorang wanita paruh baya menyapa mereka seraya tersenyum ramah.

Jimin membungkuk sepintas, "Tadi kami mengantar teman tuan muda, setelahnya singgah ke krematorium nyonya Ella." Jelasnya.

Renjun di sebelahnya bergeming, enggan menyapa walau hanya menolehkan tempurungnya.

"Papa menunggumu di ruang kerjanya, Ren. Pergilah, temui dia." Wanita itu -Choi Saera- kembali bersuara.

Pemuda Huang mengendikkan bahunya lantas mengurai jarak mereka, disusul Jimin yang mengekor lepas membungkuk pada Saera.

Dua pasang tungkai itu melangkah pelan, berbelok pada simpang ruang yang bersinggungan.

Renjun mendengus kasar kala tangannya mendorong pintu fiberglass coklat tua yang menjadi penghalang. Di belakangnya Jimin berhenti, tak lagi mengekori sang tuan muda yang telah menderap masuk ke dalam petak sang pimpinan.

Pemuda Huang bergumam, netranya tak meluputkan pandang tajam pada pria berusia setengah abad di meja kerja. Menyadari eksistensinya, pria berasma Huang Minho itu merekahkan senyum di bibir tipisnya.

Lengannya bergerak naik, menunjuk sofa berwarna legam di sudut ruangan, mengisyaratkan pada Renjun untuk duduk di sana. Selepasnya ia beranjak, mendekat pada putranya yang baru saja mendarat.

"Aku tidak suka basa-basi, Pa." Pemuda Huang menegaskan. Padahal Minho sendiri belum membuka pembicaraan.

Terdengar helaan dalam dari Minho di sofa seberang, "Papa rindu pada putra papa, apa itu salah?"

Renjun berdecih samar, pikirnya memuai, mengira suara sang papa hanya kelakar semata. Tak masuk akal jika pria itu merindukan putranya yang tak pernah ia anggap ada, bukan?

"Memang sejak kapan papa punya putra?" Suara pemuda Huang terdengar datar. Mana tahu dia tengah menyembunyikan kegeraman yang mengikatnya selayak akar.

Minho kembali menghela, agaknya ia sedikit tak menyangka Renjun akan bertanya demikian padanya. Ia memangut sepintas, mengingat-ingat memoar usang yang membekas. Dahulu Renjun sangat manis, hingga ia cukup tercengang melihat pemuda itu yang telah berubah sinis.

Beberapa tahun ke belakang, ia sungguh tak memahami apa yang terjadi pada sang putra. Bagaimana perkembangannya? Apakah ia mampu beradaptasi di lingkungan sang mama?

Katakanlah ia tidak becus menjadi orang tua, sebab memang benar begitu adanya. Setidaknya itu yang tengah menggelayuti akal serta batinnya.

"Apa yang salah pada diri Papa, nak?" Minho mulai bertanya, menilik ekspresi Renjun yang tak jua meluruhkan raut datar pada parasnya.

Bola mata Renjun berotasi malas, sedikit terkekeh seraya menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa yang empuk.

"Baiklah, to the point saja." Ujarnya kemudian.

Semesta √Where stories live. Discover now