9

79 17 3
                                    

Kim Taehyung itu pandai berkelahi. Sebagai no.2 di family, bukankah sudah menjadi sebuah keharusan?

Namun kepandaiannya tidak akan berlaku jika dihadapkan jumlah musuh dengan perbandingan 1:50. Hal yang mustahil untuknya.

Tidak heran bagaimana Jungkook menghabisi orang-orang berjas hitam di dalam basement setelah mendapati kondisi mengerikan Taehyung. Bersandar di dinding bersimbah darah.

Menggenggam potongan jari kelingking kirinya.

Jeon Jungkook menggila. Melepaskan seluruh peluru revolver sebelum menarik pisau kecil dari balik mantel. Hoseok datang menyusul setelah ia membawa Jimin ke luar gedung dan menunggu Namjoon datang untuk membawa pemuda pucat di gendongannya itu pergi dari sana.

Giliran Taehyung. Sempat berpikir untuk membantu Jungkook, namun si manis itu justru berteriak di tengah kegiatannya menghabisi satu-persatu musuh.

Bawa Taehyung pergi, katanya.

Jika saja Hoseok tidak melihat pengkhianatan Jungkook beberapa menit lalu, mungkin ia akan berdebat penuh umpatan dengan yang lebih muda terlebih dahulu. Namun alih-alih melakukannya, ia memilih segera mengangkat tubuh Taehyung dan membantunya berjalan keluar.

Sekali pun pemuda Kim itu meraung, meneriakkan nama Jeon Jungkook parau.

Menenangkan Taehyung lebih penting, karena itu ia mengatakan jika dirinya dan Yoongi akan kembali ke dalam membantu Jungkook. Menambahkan kenyataan bahwa Park Jimin berhasil di selamatkan.

Sukses tanpa hambatan.

Meskipun faktanya, Hoseok memilih mengendarai mobilnya pergi dari tempat itu. Setelah sebelumnya, memastikan mobil yang ditumpangi anak buah Namjoon dan Taehyung telah menjauh.

.

Pekikan jangkrik mengisi kesunyian saat petang. Menemani tiap langkah Jungkook yang terseok menuju jalan raya. Berusaha meninggalkan gedung yang hampir menjadi tempatnya menjemput maut.

Kemejanya yang compang-camping penuh goresan membuat dinginnya angin malam serasa menusuk tulang, sehingga ia berhenti sejenak untuk mengeratkan mantelnya yang basah karena darah.

Bingung.

Ia tidak mungkin muncul di jalan raya penuh keramaian dengan keadaan meresahkan seperti itu. Meneguk liurnya dengan berat sebelum memutar tubuh menuju sungai. Setidaknya, sungai di dekat tempatnya berada saat ini bukan tempat wisata, sehingga tidak akan ada banyak orang menghabiskan waktu disana.

Rumah persembunyiannya dengan Taehyung adalah tujuan Jungkook saat ini.

.

Hanya ada kegelapan yang dapat ditangkap netra jelaga Jungkook. Sedang sinar rembulan dari balik jendela membuat siluet sempurna dari 3 entitas yang berada di dalam ruang yang sama dengannya.

Tidak terlihat, namun aura penuh ancaman sukses mengintimidasi Jungkook. Kakinya yang terluka semakin lemas saja rasanya.

"Taehyung?" cicitnya, mencoba tidak peduli dengan tatapan-tatapan tajam itu.

Hoseok yang pertama maju. Melepaskan diri dari sandaran dinding, melangkah diiringi ketukan pantofel kulit hingga berada tak lebih dari 2 meter di depan pemuda yang penuh luka. "Kojo."

Beban seolah kembali jatuh ke atas bahu dislokasi Jungkook, makin bertambah hingga rasanya ia ingin terduduk di lantai dan menunggu ajal.

"Kontrak berakhir. Rekeningmu akan penuh besok pagi." lanjut Hoseok, seraya mengeraskan kepalan tangannya.

Jungkook menggeleng ribut. Perlahan menengadah, sehingga mereka dapat melihat jelas luka dan lebam yang terbalut darah serta keringat di wajah putih kelewat pucatnya.

"Tidak." manik bak mutiara hitam itu melirik Namjoon, yang paling bijaksana di antara mereka. "Maafkan aku. Kumohon."

Jeon Jungkook tidak pernah memohon, dan prinsipnya tidak akan pernah mau melakukannya. Harga diri yang selalu ia junjung tinggi kecuali untuk keluarganya.

Sebijaksana apapun seorang Kim Namjoon, persoalan mengenai Park Jimin merupakan hal yang berbeda. Ada yang lebih berhak memutuskan dibanding dirinya. "Memohon lah pada Yoon-"

"Kau tahu aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Ruangan temaram itu semakin mencekam. Jungkook dapat merasakan dendam mendalam sosok termungil di antara mereka padanya. Min Yoongi, kekasih Park Jimin.

Dari samping, Hoseok tertawa remeh. Ia menyayangi Jungkook, namun family tetaplah keluarga utamanya. Meskipun kepercayaan terbesarnya telah diserahkan pada sang anak buah kesayangan, Jeon Jungkook si petarung.

"Kau dengar itu? Sepertinya sudah tak ada tempat untukmu, Jeon." ungkapnya lugas, bertepatan dengan mimik wajahnya yang kembali menajam hingga rahang tajam itu seolah siap menyayat Jungkook kapan saja.

Jungkook bisa saja menghabisi 3 orang berkedudukan tinggi di dunia bawah itu sekarang juga. Namun, urusannya adalah dengan Jimin. Bukan orang lain. Lagi pula, ada Yoongi disini. Tidak dengan keadaannya yang sekarat.

Menyerah bukanlah pilihan yang diinginkannya saat ini. Masih banyak tujuan yang belum terselesaikan. "Biarkan aku tetap menjadi bagian dari kalian."

"Sejak kapan kau bagian dari kami?"

Memang, Jungkook pernah dengar sekali dari Hoseok tentang mulut pedas si pemuda Min, tapi tidak menyangka akan sepedas ini.

Pandangannya semakin memburam. Hanya ada sedikit waktu bernegosiasi sebelum kakinya tidak sanggup menopang dan akhirnya ambruk.

"Sebagai bawahan, bukankah termasuk bagian dari kalian?"

Kali ini Yoongi terkekeh. Tawanya terdengar seperti mimpi buruk bagi Jungkook. "Percaya diri sekali. Bawahan seperti kalian, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kami." jelasnya lagi. Di belakangnya, Namjoon masih dengan tatapan datarnya.

Sungguh, Jungkook butuh jahitan sekarang.

"Lupakan." ucapnya cepat. Suaranya serak, ketiga orang di depannya terlihat seperti sensor di film dewasa. "Mari buat kontrak baru, dengan aturan baru yang bahkan tak masuk akal untukku."

Hoseok tak setuju. Bagaimanapun, Jungkook masih memiliki tempat dalam hidupnya meskipun hanya sekecil biji kenari. Lagi pula, apa yang lebih tak tak masuk akal setelah nyawa? Namun suara Yoongi di belakangnya terdengar begitu mematikan hingga ia bahkan tak berani membuka mulut seinci pun.

"Tak ada penolakan setelah aku mengatakan hal berikutnya."

Anggukan spontan Jungkook membawa smirk yang terlihat samar di wajah manis Yoongi.

"Nyawa."

Jungkook mengernyit. Nyawa adalah bahan taruhan yang sama dengan kontrak mereka sebelumnya.

"Itu sudah pasti, bukan?"

Seharusnya, Jungkook memilih untuk memanfaatkan kemampuan serba bisanya untuk bekerja sendiri. Kesalahan sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri. Ucapan terakhir Yoongi sebagai penutup dari negosiasi mereka saat ini seolah neraka baru untuknya.

Terjatuh semakin dalam.

Bahkan tak tahu akan jatuh sedalam apa lagi.

Bahkan tak tahu apa yang ada di dasar sana.

Seiring tiap kata yang diucapkan Min Yoongi, Jeon Jungkook semakin membenci dirinya sendiri.

"Bukan hanya nyawamu-"

"-namun juga nyawa si tunanetra."

"Siapa namanya?"

"Ahh- benar.

"Kim Seokjin."


~•~

THANK YOU

EPITOME: LUNISOLAR [TAEKOOK/VKOOK]Where stories live. Discover now