9

194 44 22
                                    

4 hari setelah kejadian itu, Darin masih tetap enggan berbicara. Mungkin— gadis itu shock berat tentang kejadian kemarin.

Tbh, Minhee jadi sedikit menyesal memberi tau Darin. Tadinya pemuda itu pikir, Darin tidak akan seperti ini. Tapi nyatanya ia salah.

Dimeja makan, Minhee terus memperhatikan gadis itu yang sedang mengaduk-aduk makanannya tidak semangat.

"Darin kenapa? Kok ibu perhatiin dari kemarin lesu banget? Kamu sakit?" Tanya ibu.

Gadis itu menggeleng, tersenyum seperti orang tidak ikhlas. "Gapapa kok, bu."

Bohong.



Barulah seusai makan malam, gadis itu menghampiri Minhee. Menatap intens kearahnya.

"Kasih tau gue, semua hal yang lo tau tentang panti ini." Ucapnya pelan.

Minhee meneguk salivanya, gugup. Suara Darin benar-benar terdengar serius. "Gue gabisa ngomong disini, terlalu bahaya. Besok, pulang sekolah bakal gue ceritain semua yang lo mau."

Dan setelahnya Darin langsung melengos pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Hei, kemana perginya sifat Darin yang cerewet itu!?





























Sesuai perkataan Minhee semalam, sepulang sekolah Darin menuntut penjelasannya. Kini keduanya tengah duduk dibangku pojok perpustakaan.

Minhee lalu menyodorkan sebuah buku bersampul kusam. Terlihat seperti— buku jurnal?

"Ini apa?" Tanya Darin.

Minhee menggidik. "Lo pingin tau semua hal yang gue ketahui tentang panti itu kan? Coba baca buku ini."

Gadis itu terlihat mengernyit heran, sebelum akhirnya membuka buku jurnal itu.

"Ritual penyembahan," ejanya.

Darin menatap kearah Minhee. Yang ditatap, hanya menggidikkan bahu sambil melafalkan kata 'baca' tanpa bersuara.

"Dibutuhkan tubuh 12 remaja yang akan digunakan sebagai pengikut awal." Darin lalu lanjut membaca.

"Sang penyembah harus mengadopsi dan merawat 7 orang remaja. Ketujuh orang remaja ini akan menjadi generasi pertama yang di adopsi oleh sang penyembah. Anak terakhir yang di adopsi harus seorang laki-laki."

"Sang penyembah harus mempersembahkan tubuh 6 orang remaja, yang sudah terpisah dengan jiwanya. Dengan kata lain, mati."

Darin tersentak kaget membaca kalimat terakhir pada buku itu, "w-what?! Jadi remaja yang di adopsi ini bakal dijadiin tumbal, dengan syarat dia harus mati dulu!?"



Minhee mengangguk memberi jawaban.

Darin menghela napas, lalu mulai membaca buku itu lagi. "Anak terakhir yang diadopsi harus tetap dibiarkan hidup."

"Setelah itu, sang penyembah harus kembali mengadopsi 7 orang remaja. Ketujuh remaja ini akan menjadi generasi kedua. Anak terakhir yang di adopsi haruslah seorang perempuan."

"Sama seperti generasi pertama, 6 orang remaja generasi kedua harus disembahkan tubuhnya dengan syarat sudah terpisah dari jiwanya. Atau kata lain mati."

"Anak terakhir yang di adopsi juga harus tetap dibiarkan hidup."

"Setelah 12 tubuh itu disembahkan, maka ritual selanjutkan akan dimulai. Tubuh anak terakhir yang di adopsi akan menjadi wadah—"





Tulisan terhenti sampai disitu, karena lembaran buku itu tersobek setengahnya.

"Wadah apaan?" Tanya Darin.

Minhee kembali menggidikkan bahu. "Tulisannya hilang setengah, karena dari awal gue nemuin buku itu, kertasnya emang udah robek."

"Jujur deh min, lo dapetin buku ini darimana? Dan— ini buku siapa?" Darin mengernyit menatap Minhee.

Minhee menghela napas, terdiam sebentar sebelum akhirnya berbicara.

"Ini buku ibu. Ga sengaja gue temuin dibawah kolong kasur kamar gue."

Darin mangut-mangut memahami perkataan Minhee.

"Trus tolong jelasin ulang, maksudnya semua tulisan ini apa?! Otak gue masih ga nyampe untuk ngertiin semua tulisan ini," rengek gadis itu.

Minhee geleng-geleng, kembali menghela napas. Ia pikir, Darin sudah mengerti maksud semua tulisan ini.

"Jadi yang dimaksud generasi pertama itu, gue sama temen-temen gue yang tinggal dipanti ini dulu. Dan generasi kedua itu, lo sama anak-anak panti yang sekarang. Kita semua bakal ditumbalin untuk ritual penyembahan, yang entah apa itu," Jelas Minhee.

"Dengan syarat korbannya udah ga bernyawa lagi, baru bisa ditumbalin. Dan anak terakhir yang diadopsi dari dua generasi itu—"

"Anak terakhir itu lo sama gue?" Potong Darin.

Minhee mengangguk mengiyakan. "Kita berdua spesial, rin. Mereka gaakan berani macem-macem ke kita berdua, karena mereka butuh kita. Tubuh kita akan jadi wadah atau semacam poin penting dari ritual ini."

Sontak perkataan terakhir Minhee, membuat Darin terkejut. "Trus kita berdua bakal diapain?"

Minhee hanya menggeleng memberi jawaban.

"Gue juga gatau, rin."

Terdengar helaan napas gusar dari sang gadis. Jarinya terus mengetuk-ngetuk meja, memikirkan sesuatu.

"Kalo gitu, artinya kita semua harus kabur dari panti ini. Mungkin temen-temen lo itu udah jadi korban. Jadi sekarang, diantara kita gaada yang boleh jadi korban selanjutnya." Ucap Darin menggebu-gebu. "Iya min! Kita harus kabur dari panti sialan ini!"

Minhee tersentak kaget mendengar perkataan Darin.

Hening cukup lama, karena tidak ada respon dari Minhee. Pemuda itu menatap intens kearah lawan bicaranya.

Sebelum akhirnya ia menghela napas, dan menggeleng pelan.

"Gabisa, rin. Kita semua udah terikat sama ritual ini. Sejauh apa pun kita lari, pada akhirnya mereka pasti bisa nemuin kita. Karena mereka bersekutu dengan iblis."

Red summer | Kang minheeWhere stories live. Discover now