01| Dizzle

9.3K 758 29
                                    

Hujan di luar sana semakin deras seiring detik jarum jam bergerak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hujan di luar sana semakin deras seiring detik jarum jam bergerak. Pagi ini lebih hening dari biasanya. Kalau hari-hari sebelumnya Jinae akan membuat sarapan serta membersihkan diri setelah terbangun dari tidurnya. Kali ini, justru Jinae masih merebahkan tubuhnya dengan nyaman seiring tatapan matanya memandang ke arah jendela. Jinae pikir, kejadian tadi malam hanya secuil mimpi indah di antara mimpi-mimpi buruk yang kerap menjamah tidur pulasnya. Meski nyatanya berbanding balik, saat kelopak matanya perlahan terbuka, suara dengkuran halus serta lengan kekar yang semakin merengkuhnya erat. Gadis itu tersadar bahwa semalam bukan mimpi, pria ini memang kembali.

Pria tampan bersama sejuta rahasia tersimpan rapih dalam dirinya dengan Jinae sebagai hidangan pemanis. Mereka sangat bahagia, dulu.

Jinae mulai berpikir, berapa lama mereka tidak bertemu? Apa pria di belakangnya ini menjalani hari-hari dengan baik? Siapa yang mendampinginya selama ia tidak berada di sisinya? Sungguh, Jinae hampir tidak mengenali sebab Jungkook tersayangnya sewaktu dulu hanya seorang pria yang memiliki rambut berantakan namun tetap terlihat menggemaskan dalam sekali waktu, tubuhnya yang kurus, juga begitu mencintai alkohol. Sekarang berubah menjadi pria dengan bentuk tubuh yang luar biasa, rambutnya juga tertata rapih. Hanya satu yang belum berubah, atau barangkali memang tidak pernah berubah. Bagaimana pria itu tersenyum hangat dan memunculkan dua gigi kelinci di bagian depan. Semuanya masih tercetak jelas dalam ingatan Jinae.

Sejauh Jinae bisa mengingat dengan jelas. Mungkin terakhir kali mereka bertemu dengan Jungkook sekitar 4 tahun yang lalu. Tepatnya seminggu sebelum kematian Taehyung.

Apa tujuannya kembali hadir? Berapa banyak luka yang ingin kembali ia torehkan?

Sebelumnya Jinae pernah berkata bahwa ia sulit untuk mengeluarkan air mata meskipun hal buruk sedang terjadi, bukan? Tetapi, semalam. Bahkan sebelum Jungkook membisikan rangkaian kalimat penuh tekanan, irisnya sudah lebih dulu buram. Barangkali air mata yang tersimpan dengan baik memang menunggu hari itu tiba. Hari dimana pria yang sukses memporak-porandakan hidup Jinae kembali menunjukan batang hidungnya, maka saat itu juga tanpa peringatan, air matanya kembali melesak.

Bagaimana Jungkook kembali tanpa sedikit rasa bersalah pun. Air wajahnya begitu tenang hingga rasanya Jinae bisa mati karena pasokan udara yang kian menipis. Pria itu kembali. Atau Jinae bisa menyebut, prianya? Tentu saja tidak. Jangan konyol. Kalau Jinae masih bisa menyembunyikan banyak hal dari Taehyung meskipun mereka begitu dekat. Tapi berbeda halnya dengan Jeon Jungkook. Dulu, Jinae akan berpikir Jungkook bukan manusia sebab tanpa mengatakan apapun, pria itu sudah dipastikan tahu apa yang terjadi dengan gadisnya.

Saat Jungkook mengurai rengkuhan dan menghapus air mata yang terus menerus keluar seolah sudah lelah sebab begitu lama terpendam dalam pelupuk, ia tersenyum hangat, hangat sekali, "Kau bisa menyimpan pertanyaan di dalam kepalamu untuk nanti. Sekarang, masuk, ya. Sudah malam, kau harus tidur, Ji."

Jungkook itu terlalu peka. Ia sangat pemerhati dengan segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Jadi Jinae tidak heran tatkala ucapan itu lolos dari bibir si pemuda.

Gadis itu hanya kurang mengingat bagaimana berantakannya sesuatu yang mereka berdua lakukan setelah pintu terkunci. Kerinduan, kekesalan, amarah, kesedihan, Jungkook dan Jinae meluapkan itu semua dalam hentakan serta getaran yang terus Jungkook beri. Sampai, pria itu sukses memberi kehangatan dalam tubuh Jinae, tepat saat matanya hampir memejam. Jungkook berujar lirih, "Beri aku tempat terbaik seperti dulu, Ji. Kau harus menerima sebab Jungkookmu sudah kembali. Aku mencintaimu."

Jinae mendadak merasa begitu konyol. Bagaimana kalimat itu bisa merubah rasa sakit yang Jungkook tanam bertahun-tahun luluh hanya dengan ucapan singkat itu.

Gadis itu hendak bangkit setelah melirik jam dinding yang menunjukan pukul tujuh. Ia harus segera berangkat kerja kalau tidak ingin di pecat. Memikirkannya saja Jinae sudah kalut kalau harus di pecat untuk yang kesekian kalinya. Namun ia mengurungkan niat saat pria di belakangnya mencekal pergelangan tangan hingga ia kembali pada posisi awal. Pria tersebut mengecup singkat punggung polos Jinae sembari telapak tangannya mengusap hangat perut gadisnya.

"Mau kemana, hm?"

Jinae bergedik ngeri, sebisa mungkin ia menepis segala gejolak dalam tubuhnya, terlebih gadis itu tentu sadar bahwa mereka berdua belum mengenakan apapun sejak kejadian semalam. "Bekerja."

Jungkook membalikkan tubuh Jinae, kembali merengkuhnya, sampai hidung mereka bersentuhan. "Tidak usah bekerja lagi, mulai sekarang. Aku akan bertanggung jawab atas dirimu dan membiayai semua kebutuhanmu. Tidak, maksudku, kebutuhan kita."

"Apa yang kau bicarakan, sialan?" Jinae mendecak jengah, "Bercandamu tidak merubah apapun. Cepat bangun dan pergi dari rumahku."

"Terserah apa katamu. Tapi aku yakin kau sudah paham bahwa aku benci penolakan, Ji."

Jinae mengangguk dengan tatapan mengejek, "Iya. Iya. Tapi kuyakin kau juga paham bahwa aku benci di atur. Kau tidak punya hak atas apapun."

"Aku berhak atas dirimu!" Jungkook naik pitam. Tatapannya begitu mengintimidasi, napasnya berubah menjadi sedikit lebih berat. "Coba saja berani membantah. Kau akan sangat menyesal."

Gadis itu mencoba membaca air wajah Jungkook. Menelusuri setiap sisi wajahnya. Jinae kembali menyadari bahwa tidak hanya badan serta rambut pria ini saja yang berubah. Sikapnya pun jadi lebih kasar. Dulu, Jungkook tidak akan pernah berani membentak Jinae. Kalau pun lelaki itu kesal, ia akan melampiaskan dengan cara mabuk atau mungkin memaksa Jinae bercinta. Tetapi, sekarang melihat bagaimana lelaki itu terbelalak serta berucap dengan nada tinggi. Jinae yakin, banyak yang salah disini.

Tangannya gemetar, ia mengusap pelan pipi Jungkook. Kedua iris yang cukup lelah untuk menangis, kini justru kembali mengeluarkan sebulir air mata yang turun membasahi bantal, "Apa tujuanmu kembali, hm? Kau tahu, banyak hal sulit yang sudah kulewati. Tapi, melihatmu kembali justru semakin menyiksaku. Seharusnya kau tidak perlu datang, Jung." tangisnya kembali pecah seiring tangannya mengusap pipi Jungkook hangat.

Jungkook bergeming tak bersuara. Tenggorokannya tercekat melihat bagaimana sosok Jinae yang begitu cerah seperti pelangi setelah hujan, senyumnya yang mengembang menyerupai bunga sakura yang bermekaran. Kini berubah menjadi seorang gadis dengan banyak goresan luka tertanam di dalam tubuhnya, tidak terlihat. Atau barangkali memang sejak dulu Jinae hanyalah Jinae yang selalu di hantui rasa sakit tanpa henti. Pasti sangat menyakitkan, bagaimana Jinae menjalani semuanya sendirian. Pipinya yang semakin tirus juga menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang membuat hati Jungkook teriris.

Saat Jinae berhenti meracau, dengan sekali cekatan pria itu kembali merengkuh tubuh mungil gadisnya. "Maaf. Tolong maafkan aku. Aku janji akan menjelaskan semuanya, tapi jangan menangis, Ji. Demi Tuhan kau tidak perlu menangis." suara Jungkook turut bergetar. Rasanya dadanya seperti di tekan, "Seberapa banyak rasa sakit yang kau pendam, huh? Tumpahkan sekarang juga sebab aku tak akan pernah pergi, lagi. Aku akan menjagamu dari segala hal buruk di dunia. Sumpah, Ji."

"Banyak sekali. Teramat banyak sampai rasanya lebih menyakitkan dari luka berdarah yang di cipratkan air garam. A-aku takut. Bahkan mati pun terasa sulit." tenggorokannya terasa di cekik. Napasnya pun menjadi sulit, "A-aku sendirian, Jung." ia kembali sesegukan seiring pelukan Jungkook yang mengerat dan kecupan penuh sayang di kepalanya.

"Aku disini, Ji. Tidak akan pergi." Jungkook tersenyum tipis, "Kuusahakan supaya kau tidak tersakiti, lagi." []

FraudulenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang