03| Queitude

5.7K 598 32
                                    

Jinae tersenyum kecut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jinae tersenyum kecut. Maniknya menatap lurus ke arah matahari yang sedang bergerak turun meninggalkan bumi. Langit oranye berpadu dengan biru muda serta hiruk pikuk bocak cilik yang berlari kegirangan memberi kesan tersendiri untuk gadis itu. Beriringan dengan helaan napas gusar yang berasal dari seseorang di sebelahnya, Jinae berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk di ucapkan.

"Jinae, brengsek. Suruh bajingan itu buka pintu apartemennya atau aku akan menghancurkan pintu ini dan membuatnya mati di tanganku sekarang juga. Kau tidak mendadak konyol amnesia kan, Ji? Kau itu milikku"

Kepalanya menunduk saat mengingat kalimat tersebut. Brengsek katanya? Yang benar saja.

Sejujurnya, Jinae merasa sedikit beruntung sebab Jungkook tidak benar-benar membuat Jimin mati di tangannya setelah melihat Jinae keluar hanya dengan kemeja tanpa pakaian dalam.

Well, tidak cukup baik juga, sih. Sebab, sebelum Jimin sempat memakai baju, Jungkook sudah lebih dulu memberi dua pukulan keras ke rahangnya. Bahkan gadis itu tidak tahu apa Jimin baik-baik saja disana.

"Ji, ayolah. Bicara saja, jangan diam seperti ini. Aku jadi takut." Jungkook melipat bibirnya ke dalam.

Jungkook merasa frustasi karena gadisnya tak kunjung bicara sejak satu jam lalu. Bagus sekali. Benar. Harusnya Jungkook yang marah. Ia sudah melarang Jinae kuliah tapi gadis ini tetap memaksa dan pergi begitu saja.

"Harus mulai darimana, pertanyaan apa yang pantas di keluarkan lebih dulu, apa aku berhak marah, atau pertanyaan lain seperti, haruskah aku lari saat melihatmu?" Jinae menoleh pada sosok pria itu, "Mana yang lebih baik untukku ucapkan?"

Jungkook terpaku. Irisnya menatap pancaran cahaya terang dari kedua mata Jinae, berapa kali Jungkook harus mengatakan bahwa gadis ini sangat cantik. Takdir terdengar tidak adil sebab mereka harus berpisah dan bertemu dengan cara buruk begini. Pria itu jadi berpikir untuk kembali melawan takdir dan memilih tinggal bersama si cantik ini seperti dulu. Rasa-rasanya Jungkook ingin kembali lagi. Bagaimana kehidupan sederhana yang mereka rakit dengan baik sekarang terlihat kacau. Lebih tepatnya hancur.

Pria itu pernah bersumpah, apapun akan ia lakukan selama hubungannya dengan Jinae baik-baik saja maka tidak masalah. Hanya saja, sialnya, sumpah ituㅡbarangkaliㅡmalah menjadi perisai yang siap menusuk Jinae sewaktu-waktu. Jadi, daripada melihat gadis tersayang terluka, Jungkook memilih opsi lain. Well, kendati keadaan berbanding balik dari perkiraan, Jinae semakin hancur saat Jungkook melenggang pergi.

"Kau tahu, Jung?"

Jungkook kembali tersadar, ia mengangguk setelahnya.

"Kau mengajariku banyak hal. Sadar, atau tidak, semakin banyak hari yang terlewati, ternyata pengorbanan, rasa sakit, kebaikan, kesabaran, air mata yang kerapkali jatuh. Hal-hal seperti itu tidak bisa menjadi tameng untuk keburukan yang sering kali datang." Jinae menautkan telapak tangannya erat, "Kwon Jinae, bocah cilik yang tidak beruntung sama sekali dan memiliki keluarga jauh dari kata harmonis, bocah itu sudah menangis, menjerit, merapal segala macam doa. Tidak ada yang berubah ternyata, bocah cilik itu tetap menyedihkan. Lalu, Kwon Jinae sudah dewasa, memiliki dua manusia yang mampu membuatnya bertahan hidup, namun di kemudian hari mereka pergi. Gadis itu tidak menangis, tidak berdoa. Tetap tidak ada yang berubah, gadis itu semakin terlihat menyedihkan."

Jinae tertawa getir, perasaan semacam ini sudah sering kali ia rasakan.

Bagaimana kau hidup namun napas begitu sulit untuk di lakukan. Bagaimana kau hidup dengan rasa sakit yang bertengger cantik dalam tubuh.

Tidak semua orang sanggup menahannya. Sungguh.

"Ji dengar, ya." Pria itu bangkit dan berlutut di atas rumput yang sedikit basah, menggengam kedua tangan gadisnya erat, "Kita bisa melewati ini. Kau tidak harus melampiaskan hal buruk yang terjadi dengan cara bercinta dengan Park brengsek itu."

"Aku tidak berniat kasar padamu. Tapi kau sudah dengar bahwa aku benci penolakan, kan. Kau tidak perlu bekerja bahkan kuliah. Kau memiliki aku, Ji. Kalau kau bosan di rumah katakan padaku, kita bisa pergi kemana pun kau mau. Selama ada aku, tentu saja."

Gadis itu balik menggengam tangan Jungkook erat, "Kau membuatku takut kalau berkata seperti itu. Itu terdengar seperti setelah kau berhasil masuk ke dalam hidupku lagi, maka kau akan pergi, lagi." Ia tersenyum kecut sebelum melanjutkan, "Aku berhak atas hidupku, Jung. Masalah melampiaskan apapun, itu hakku. Jimin juga sudah berdiri kokoh di sana sejak kau pergi. Konyol kalau aku harus menjauhinya hanya karenamu."

Haruskah Jungkook marah sekarang melihat bagaimana gadisnya mempertahankan pria lain?

Mereka bisa melakukan seks sepanjang hari kalau memang itu masalahnya. Jinae sama sekali tak butuh Jimin kalau Jungkook bisa memuaskannya, kan? Tetapi, mendengar bagaimana si gadis menjawab penuh penekanan, Jungkook mendadak jadi mengurungkan niat.

"Tetap saja, mulai besok. Berhenti bekerja dan kuliah. Tidak ada penolakan, kau harus menurut." Jungkook berdiri dan mengambil tas Jinae lalu menyampirkan di pundak kokohnya. "Malam ini kita pindah, kau akan menetap di apartemenku."

[]><[]

Langitnya cukup menarik untuk di pandang, taburan bintang pun menyempurnakan hamparan langit di atas sana. Jinae jadi kesal saat melihat pemandangan di atas sana begitu cantik dan indah.

Bukankah tidak adil? Disini Jinae sedang bertahan dengan masa sulit, tetapi mereka tetap memancarkan cahaya yang berkilau.

Gadis itu terkadang berpikir, apa garis takdir yang Tuhan berikan pada setiap makhluk hidup memang semenyakitkan ini kalau mereka memiliki orangtua yang melakukan perbuatan terlarang? Apa memang diharuskan si anak merasakan pahit kehidupan sedang mereka tidak mengerti apapun?

Tidak adil. Benar.

"Kau suka rumah baru kita?"

Gadis itu terperanjat. Jungkook mendekap erat dari belakang. Bibirnya terus menjelajah di sekitar pundak Jinae, mengecupnya penuh sayang. Ah, Jungkook rindu sekali.

Jinae tidak menjawab namun kepalanya mendongak seiring tangan Jungkook yang mulai menelusuri tubuhnya.

"Aku merindukanmu, Ji." pria itu membalikkan tubuh Jinae dan mendorongnya ke dindjng. Bagaimana tubuh kekar itu menghimpit tubuh mungil Jinae, bagaimana Jungkook mulai menggerakan tubuhnya dengan sensual. Astaga, dampak gadis ini begitu besar. Jungkook bahkan tidak butuh persetujuan untuk menggendong Jinae dan membantingnya dengan penuh gairah ke sofa.

Napasnya tersengal, Jinae bahkan tidak bisa berpikir jernih saat Jungkook mulai bergerak. mengirim getaran bersamaan dengan keringat yang melekat di tubuh keduanya. Jungkook tidak berhenti mengecup pelipis Jinae saat gadisnya berhasil mencapai pelepasan.

"Hhh...Ji, k-kau luar biasa mengurasku, sayang." Jungkook semakin gencar bergerak.

Jinae memejam, ia tahu bahwa Jungkook tidak akan berhenti sebelum pria ini mencapai pelepasan. "J-jungㅡHhh."

Tubuhnya bergetar, dan Jungkook menyeringai.

Bagus, sayang. Benar begitu. Keluarkan semuanya.

"Kau ingin keluar, sayang?" Jungkook memperlambat gerakannya. Sengaja membuat si gadis frustasi.

Jinae menarik tengkuk Jungkook. Mencumbunya bergairah, ia butuh pelampiasan, pria ini benar-benar menyiksa. "Jung, jangan bercanda," katanya merengek.

Jungkook terkekeh sebelum kembali bergerak, pelepasannya pun sudah terasa begitu dekat, pria itu mengaitkan jemari mereka satu sama lain, "Keluarkan, Ji."

Dua kali hentakan terakhir, tubuh mereka sama-sama bergetar. "Oh, shh."

Saat Jungkook merasakan semua isi miliknya menjalar masuk bersamaan dengan milik Jinae yang mencengkramnya kuat, Jungkook berbisik lirih. "Mulai sekarang, jangan pernah coba mengkonsumsi pil pencegah kehamilan." []

FraudulenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang