Preview 2

3.2K 362 67
                                    

Kwon Jinae tersenyum tipis, menahan sesak yang menjalar. Menahan gejolak sakit serta perasaan rindu yang tiba-tiba kembali kepermukaan. Apa Jinae masih diperbolehkan untuk sedikit memperhatikan pria ini? Mengatakan bahwa bermain hujan bukan suatu hal yang baik untuk kesehatannya. Bertanya apa sejauh ini, tidak, maksudnya apa beberapa bulan terakhir dia hidup dengan baik? Bagaimana dengan anak laki-laki tampannya itu? Jinae bahkan tidak tahu mana pertanyaan yang tepat untuk ia lontarkan sejak terakhir kali keduanya berpisah. “Mau masuk sebentar? Kau bisa sakit kalau membiarkan baju basah itu terus menempel di tubuhmu. Aku bisa minta izin pada Jimin supaya meminjamkan baju untukmu?”

Jungkook lagi-lagi mencelos. Bagaimana mungkin seseorang yang telah ia sakiti berkali-kali hatinya malah bersikap sebaik ini padanya? Setelah di amati lebih lama lagi, wajah Jinae terlihat semakin cantik dari yang terakhir kali Jungkook tahu, pipinya juga jadi lebih chubby. Dan perutnya, ah, iya. Apa anak itu baik-baik saja? Bisakah Jungkook menyebutnya begitu? “Apa kabar?”

“Hah? Oh, ya. Tentu saja. Baik, aku baik-baik saja, Jungkook.”

Kwon Jinae bisa merasakan tatapan menyesal yang Jungkook layangkan terpancar jauh dari dalam kedua bola pria itu. Bagian mana yang tengah Jungkook sesali kalau Jinae boleh tahu? Ah, seandainya sekali saja diberi kekuatan lebih untuk bisa menyelam isi kepala Jungkook, si wanita akan menggunakan kekuatan itu sekarang supaya ia tahu seberapa besar penyesalan yang Jungkook miliki sekarang.

Jauh disana, Jungkook ingin menangis. Tidak apa-apa barangkali ia akan di teriaki atau hal lain. Jungkook ingin kesempatan terakhir untuk memeluk Jinae, mencium keningnya, mencium perut buncit itu, membisikan banyak kata penyesalan serta permohonan maaf yang kemungkinan besarnya akan di tolak mati-matian oleh gadis ini. Kalau bisa pun, Jungkook ingin bersujud di depan kedua kaki wanita itu dan meminta ampun atas segala hal yang terjadi. Mungkin benar, bukan takdirnya yang kejam, tapi memang pada dasarnya Jungkook yang teramat sangat berengsek.

“Apa kau menjaganya dengan baik?”

Jinae sontak menunduk—mengikuti arah pandang Jungkook pada perut besarnya. Kemudian mengangguk, “Ya, tentu saja dia baik dan sehat.”

“Kapan kelahirannya?”

“Mungkin dua bulan lagi?”

“Bisa aku menemuinya saat ia lahir?”

Antusias, Jinae mengangguk. Ah, tolol. Bagaimana mungkin gadis lemah ini memperlihatkan wajah senangnya pada seseorang yang telah menggores luka, “Tentu, Jung. Kau bisa bertemu dengannya kapanpun kau mau. Kau memiliki hak penuh atasnya,” Apa-apaan?! Jinae bahkan tidak tahu apakah ia masih sanggup untuk bertemu Jungkook setelah ini.

Setelah beberapa menit terlewati dan membiarkan gerimis melanda dan mengisi keheningan, Jungkook sekali lagi mendongak, menatap Jinae untuk yang kesekian kali. Mungkin benar kata kebanyakan orang, setelah kalian berpisah orang yang kau tinggalkan akan seratus persen membuatmu setengah mati menyesal sebab mereka terlihat tampak lebih baik tanpamu. Dan, ya. Jelas Jinae baik-baik saja tanpa Jungkook. Kendati jelas, jauh di masa lalu Jinae membutuhkan banyak cara untuk bertahan. “Ji... Maafkan aku,”

Ah, benar. Tentu saja Jungkook akan mengatakan hal ini.

“Apa yang kau maksud dengan kata maafmu?” Si wanita lantas sedikit menyandar pada pintu, menahan kram kesemutan yang mulai menjalar di area kakinya. “Permintaan maafmu ditujukan karena kau menyakitiku? Permintaan maafmu ditujukan karena kau menghancurkan kepercayaanku? Permintaan maafmu ditujukan karena kau telah menghempasku jauh kebawah dari ketinggian? Kira-kira permintaan maafmu tertuju kemana? Karena kau tahu, Jung. Kata maaf yang kau tujukan tidak bisa memperbaiki kerusakan di masa lalu. Kau meninggalkanku setelah melihat tubuhku hancur berserakan di tanah dan berharap bahwa aku bisa memunguti sisa-sisa kepingan tubuhku sendiri di saat kau bahkan sedang sibuk dengan wanita lain. Tidak, itu lebih tepatnya istrimu sendiri.” Jinae menatap sorot Jungkook dalam, berusaha memberitahu bahwa yang ia lakukan terakhir kali pada hidup Jinae adalah sesuatu yang teramat buruk dari yang terburuk. “Kau memiliki istri tapi datang padaku, Jungkook. Kumohon coba bayangkan sendiri sekarang.”

Jungkook tak bisa berkata-kata lebih banyak lagi. Karena mungkin benar, pada dasarnya mereka tidak akan pernah bersama di akhir cerita. Mungkin ini cara terbaik yang Tuhan beri sebab secara tidak langsung banyak pelajaran yang dapat di ambil. Jungkook mendongak menahan air mata yang barangkali akan tumpah di detik itu, kini yang tertinggal hanya sebuah penyesalan yang Jungkook tahu itu akan mengikis hilang untuk waktu yang cukup lama.

“Sekarang sudah tidak apa-apa, Jungkook. Kau bisa hidup bahagia dengan istri dan anakmu disana. Aku disini dengan anakku, dan Park Jimin. Tentunya. Aku tidak keberatan kalau kau berkunjung kesini bersama istri dan anakmu kelak. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi. Untuk permintaan maafmu, kau bisa menyimpannya baik-baik untuk kau ucapkan pada dirimu sendiri kemudian berpikir dan tak mengulangi hal serupa pada siapapun.”

Belum sempat menjawab atau mengecap kalimat perpisahan, seseorang membuka pintu pelan sebelum memasangkan jaket tebal pada bahu Jinae, “Sudah tiga puluh menit lewat dua belas detik. Itu artinya waktumu sudah habis, oke? Sekarang tidur, kau tidak bisa begadang terus. Hm?” Jimin mengecup kepala Jinae tepat di hadapan Jungkook, “Dan kau, Tuan Jeon Jungkook yang terhormat, silahkan pergi dan usahakan jangan kembali lagi, ya?” []

“Maybe someday we’ll meet again and explain to each other what really happen. Maybe one day we’ll finally understand about us in the past.
Until then, I hope you live your best life. And I hope you really do all things you always said you wanted to do.”


—r.m.drake

⊠⊠⊠

\FULL PART WILL BE AVAILABLE
FOR BOOK VERSION ONLY/


[Preview ini gak nentu/beraturan, ya. Aku ambil secara acak dari tengah-tengah Chapter!]

FraudulenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang