3/30

324 52 6
                                    

Semilir angin membelai wajahnya, membawa helai rambut sewarna kayu eboni menari bersama udara.

Sepasang netra pemuda itu menatap kosong pada langit malam yang bersalju, tanpa arah. Hela napas lirih beradu dengan bayu sementara pikirannya jauh berkelana.

Rasa rindunya seperti keping-keping salju yang berjatuhan, tak terhitung besarnya. Ia terus menunggu dan menunggu, melewati musim demi musim dalam hampa sebelum akhirnya tiba saat yang begitu ia tunggu—musim dingin. Waktu di mana ia bisa mengikis rindu yang membuat hatinya membeku.

“Kupikir ketika gadis itu menyelamatkanmu dulu, semua kristal es milikku yang membekukan hatimu sudah hilang …,” terdengar suara dingin yang membuat denyut jantungnya terasa ngilu, “tetapi, mengapa kau masih saja menungguku?”

Pemuda itu, Kai berbalik, menatap seraut wajah cantik yang kini berada tepat di hadapannya dalam tatapan yang pilu. Ia lantas tersenyum pahit.

“Aku pun tidak mengerti, Ratu-ku,” Kai berujar lirih, “meski kupikir Gerda benar mencintaiku dengan tulus, tetapi bahkan setelah bertahun-tahun, yang tak bisa lepas dari akal dan hatiku hanyalah kamu.

“Seolah perasaan itu adalah pecahan es yang menancap di ragaku, membekukanku perlahan. Membuatku terus menunggu dan menunggu … hingga rasanya begitu sakit.”

Ratu Salju masih setia pada sosoknya yang tanpa ekspresi. Bahkan meski begitu besar ia menginginkan Kai untuk berada di sisinya, ia jelas tahu, kenyataan bahwa dirinya yang tak memiliki kemampuan untuk berekspresi maupun mencintai hanya akan membuat pemuda itu semakin terluka.

Walau kadang terbesit di pikirnya, jika itu bukan cinta, lantas atas dasar apa ia menginginkan pemuda itu?

“Ini bukanlah hal yang sepantasnya kau lakukan. Padahal kau sudah terlepas dari sihirku, tetapi … mengapa …?” Ratu Salju berucap gamang.

“Perasaan ini adalah milikku. Benar milikku. Aku sungguh tidak sanggup jika harus menunggu musim dingin selanjutnya untuk bisa bertemu denganmu lagi.

“Ratu-ku, bawalah aku pergi,” Kai berucap yakin, “sehingga aku tak perlu lagi merasakan rindu yang menyiksa ini.”

Ratu Salju menatap lama. Cukup lama hingga sorot sepasang netra yang penuh keyakinan itu mampu membuatnya percaya.

“Ini yang terakhir kali,” putus Ratu Salju, “yang selanjutnya, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dari sisiku, bahkan jika bersamaku akan membuatku mati membeku.”

Kai, dalam senyum hangat yang seolah melelehkan dinginnya salju, ia menjawab, “Tentu saja.”

Salju yang menari dibawa angin kemudian berputar-putar dengan cepat, membawa raga mereka berdua menghilang dari sana.

Menyisakan Gerda yang hanya bisa menatap keduanya dari kejauhan. Segaris senyum pilu dan air mata yang jatuh di pipi menjadi tanda perpisahan terakhirnya, merelakan kebahagiaan orang yang ia cintai.

End

Tema: Musim dingin adalah satu-satunya musim kita dapat bertemu.

(Diadaptasi dari dongeng Ratu Salju karya H.C. Andersen)

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Where stories live. Discover now