5/30

187 44 0
                                    

Dahulu kala, Matahari dan Bulan selalu berdampingan sepanjang hari.

Sinar Bulan tidak pernah bisa mengalahkan cerahnya cahaya Matahari, tapi Bulan tidak pernah merasa keberatan. Bulan sangat menyukai Matahari yang ramah dan hangat. Bersama-sama, mereka menyinari bumi sepanjang waktu.

Namun sebenarnya, Bumi tidak begitu menyukai Matahari.

Bumi, beserta seluruh makhluk yang ada di dalamnya seringkali mengeluhkan rasa panas yang muncul karena keberadaan Matahari. Mereka juga mengeluh karena sinar Matahari yang sangat cerah membuat mereka tidak bisa beristirahat.

Matahari menjadi sedih.

Ketika Matahari bersedih, awan-awan gelap akan menutupi langit, kemudian hujan akan turun. Jika Matahari sedang sangat sedih dan menangis keras, Bumi akan diterpa badai, dan hal itu justru membuat Bumi semakin tidak menyukai Matahari.

Suatu hari, Matahari berkata kepada Bulan, "Nona Bulan, menurutmu apa yang harus kulakukan agar Bumi tidak lagi membenciku?"

Bulan berpikir, ia tidak tahu harus memberi jawaban apa kepada Matahari.

"Maafkan aku, Tuan Matahari. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang, tapi aku janji, aku pasti membantumu untuk berbaikan dengan Tuan Bumi," kata Bulan kemudian.

Setelah itu, Bulan kembali berpikir dan berpikir. Ia mengamati Bumi dari jauh. Memperhatikan makhluk-makhluk penghuni bumi yang sibuk dengan aktivitas mereka.

Ada petani yang sedang bercocok tanam. Burung kecil yang sedang berkeliling mengumpulkan ranting untuk membuat sarang. Seekor rusa yang memakan rumput. Ikan-ikan yang berenang di laut.

"Padahal setiap saat mereka membutuhkan Tuan Matahari, tapi kenapa mereka selalu mengeluh, ya?" Bulan menggumam.

Tiba-tiba, Bulan tersenyum begitu cerah. Ia baru saja mendapat sebuah ide.

"Tuan Matahari! Tuan Matahari!" panggilnya, "Aku tahu bagaimana caranya agar kau bisa berbaikan dengan Tuan Bumi!"

Bulan kemudian membisikkan sesuatu. Awalnya, Matahari meragukan ide itu. Namun karena Bulan membujuknya, akhirnya Matahari setuju.

Keesokan harinya, Matahari tidak muncul.

Bumi menjadi gelap gulita. Di langit, hanya ada Bulan yang bersinar redup. Suasana di Bumi menjadi dingin dan sedikit menakutkan tanpa keberadaan Matahari. Namun Bumi justru senang.

"Ini sempurna!" kata Bumi beserta seluruh isi bumi.

Untuk pertama kalinya, Bumi bisa beristirahat dengan nyaman tanpa adanya cahaya Matahari yang terlalu terang. Aktivitas-aktivitas makhluk Bumi pun berjalan sebagaimana adanya dengan memanfaatkan cahaya Bulan meskipun terkadang kegelapan membuat mereka sedikit kesulitan.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tanpa disadari, sudah hampir dua bulan lamanya Matahari sama sekali tidak pernah menampakkan diri.

Makhluk-makhluk Bumi mulai merasa ketakutan.

"Bagaimana ini, padiku tidak mau tumbuh, buah dan sayur di ladang juga tidak bisa dipanen," keluh para petani.

"Kami tidak bisa menemukan makanan di hutan karena pohon-pohon berhenti berbuah, rerumputan juga mulai layu." Hewan-hewan turut mengeluh.

"Aku tidak bisa mencari makan untuk anak-anakku karena gelap dan sulit sekali untuk melihat," tambah seekor burung kecil yang anak-anaknya baru saja menetas.

Dalam kebingungan, akhirnya Bumi memutuskan untuk bertanya kepada Bulan, "Nona Bulan, sebenarnya ke mana perginya Matahari?"

"Tuan Matahari sudah pergi ke suatu tempat, sekarang hanya aku yang ada di sini." Bulan menjawab.

"Oh, Nona Bulan, jika kau tahu di mana keberadaan Matahari, bisakah kau memanggilnya untukku?" pinta Bumi kemudian, membuat Bulan menatapnya dengan bingung.

"Kenapa? Bukankah kalian tidak membutuhkan dia?"

Bumi tertunduk malu. "Aku salah, maafkan aku. Tidak seharusnya kami bersikap seperti itu, tetapi kau tahu? Terkadang aku pun membutuhkan waktu tanpa keberadaan Matahari agar makhluk-makhluk yang menghuniku bisa beristirahat."

Bulan mendengus. Melihat bagaimana kondisi Bumi dan seisinya membuat dia merasa sedikit tidak tega.

"Baiklah. Aku mengerti. Akan kupanggil Tuan Matahari," putus Bulan kemudian, "jika kalian mau berjanji untuk berhenti mengeluh dan tidak membuatnya bersedih lagi!"

"Kami janji!" jawab Bumi cepat.

Keesokan harinya, Matahari benar-benar muncul!

Sinarnya yang hangat kembali menyinari Bumi. Membuat tumbuhan dan bunga-bunga kembali bermekaran. Hewan-hewan dan manusia bersorak lega dan bahagia, menyambut kembalinya Matahari.

"Matahari, maafkan aku." Bumi kembali tertunduk malu dan sedih, mengingat sifat sombongnya selama ini.

Matahari tersenyum manis. "Tidak apa-apa, Nona Bulan sudah menceritakan semuanya padaku."

"Mulai sekarang, aku dan Tuan Matahari akan muncul bergantian," kata Bulan, "Tuan Matahari akan muncul dari pagi hingga sore hari, agar makhluk-makhluk Bumi bisa melakukan aktivitas. Kemudian, aku akan menggantikan Tuan Matahari ketika waktu malam tiba, agar kalian bisa beristirahat."

Bumi sangat senang mendengar hal itu, ia pun berterima kasih kepada keduanya.

Sejak saat itu, Matahari tidak lagi bersinar sepanjang hari. Ia akan terbit setiap pagi, kemudian terbenam di sore hari dan membiarkan Bulan menggantikannya di waktu malam.

Sesekali, ketika Bulan merindukannya, ia akan mengunjungi Matahari. Sehingga terkadang di waktu fajar atau petang, Bumi bisa melihat Bulan dan Matahari yang sedang bercengkrama.

End

Tema: Mengapa matahari terbit dan terbenam.

Catatan penulis:

Ehheheh. Ini a/n pertamaku setelah beberapa hari works ini kupublish.

Akhirnya, setelah berhari-hari ada tulisan yang kutulis lumayan serius. //ditimpuk.

Aku selalu pengen nulis dongeng anak yang ringan dan banyak pesan moral macam ini, jadi aku lumayan menikmatinya waktu nulis ini cerita, dan kuharap kalian menikmatinya juga. XD

Omong-omong, tolong maklumi yah kalo tulisanku rada berantakan. Bukan ga niat, cuma di sini bener-bener tulisan yang aku bikinnya gapake mikir mah. //iya, Ceri orangnya deadliner emang. 😂

Terima kasih sudah membaca, see ya~

Best regards, Cherry.

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Where stories live. Discover now